POLEMIK drama gong tampaknya terus berlanjut, dan tentu saja akan bagus jika polemik itu terus berlanjut sampai seni pertunjukan itu benar-benar lahir kembali dan hidup. Jika ada “Warkop DKI Reborn” dan sukses, kenapa tak ada “Drama Gong Reborn” yang juga sukses?
Polemik ini bermula dari krengkengan dramawan Putu Satria Kusuma di media sosial tentang keharusan drama gong Buleleng ikut pakem (sesuai saran pembina) dalam pentas Pesta Kesenian Bali (PKB) Juni-Juli 2016. Putu bahkan menulis krengkengan-nya secara lebih serius dengan menulis surat terbuka di media sosial.
Banyak orang tergelitik dan mendukung Putu. Sampai akhirnya dilakukan pertemuan di Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali. Saat itu polemik tampaknya akan reda, namun ternyata tidak. Putu Satria tetap tak puas karena tak ada semacam kesepakatan apakah pakem drama gong itu benar-benar ada dan berlaku mutlak, atau justru sebenarnya memang tak ada tetek-bengek yang bernama pakem dalam seni drama gong.
Akhirnya Rabu, 14 September 2016, diadakan diskusi kembali di Dinas Kebudayaan Bali. Kali itu diskusi menghadirkian Prof. Dr. I Made Bandem serta sejumlah seniman dan pemerhati drama gong lain dari kabupaten-kabupaten di Bali, termasuk Putu Satria Kusuma yang menjadi peniup suling polemik untuk pertamakalinya.
Berdasar tuturan Putu Satria Kusuma, ternyata diskusi itu belum mampu merumuskan pakem drama gong. Diskusi itu hanya mampu menampung pikiran-pikiran seputar drama gong pada masa lalu dan masa kini serta masukan untuk perkembangan drama gong di masa depan.
Dalam pertemuan itu Prof. Bandem memaparkan hasil pengamatannya terhadap drama gong yang kemudian disebut sebagai pakem. Meskipun ia ragu itu bisa disebut pakem, karena istilah pakem tidak ada dalam kesenian Bali. Ia lebih memilih istilah kempe atau semacam pedoman dasar.
Putu Satria Kusuma tetap bertahan pada pendapatnya. Bahwa jangan sampai ada pakem dalam drama gong. Yang dirumuskan sebaiknya hanya ciri-ciri drama gong, atau semacam pedoman dasar. Jika ada pakem, drama gong Buleleng dipastikan tak akan ikut pakem. Biarlah pakem itu berlaku untuk drama gong di Bali bagian selatan saja, Buleleng sing milu-milu. Karena pakem yang disebut-sebut selama ini lebih banyak mengacu kepada gaya drama gong yang berkembang di Bali Selatan.
Putu Satria yang baru saja menerbitkan buku kumpulan naskah teater “Cupak Tanah” itu tetap konsisten bahwa gaya drama gong Bali Utara berbeda dengan Bali Selatan. Bedanya bukan sekedar drama gong Bali Utara memakai tenda bergambar untuk menunjukkan lokasi atau setting sebuah peristiwa. Tapi juga soal artitistik, dan soal berbahasa dalam dialog.
Yang juga berbeda adalah akting dalam drama gong Bali Utara yang lebih realis karena drama gong Buleleng dipengaruhi drama stambul. Sedangkan drama Bali Selatan dipengaruhi sendratari dan bondres.
Untuk itu, ia mempertanyakan soal pakem berbahasa Bali bagi drama gong yang harus menggunakan bahasa Bali sor-singgih dan bahasa sejenisnya. Menurut Putu, bahasa adalah alat komunikasi. Bagaimana jika drama gong dimainkan di Jakarta, apa harus memakai bahasa Bali demi pakem?
Atau bagaimana jika kelak ada grup drama gong pentas di Australia atau di negara asing lain? Apa harus memakai bahasa Bali?
Putu Satria sudah memiliki tekad dalam dirinya: “Kalau pakem drama gong itu dirumuskan, silahkan teman-teman memakai pakem itu di Bali Selatan, jangan paksakan ke Buleleng, biarlah drama gong Buleleng tumbuh bebas dengan ciri yang sederhana, yaitu membuat pertunjukan drama yang diiringi gong kebyar sesuai dengan apa yang sudah dikreasikan oleh para pendahulu drama gong gaya Buleleng.”
Agung Bawantara, seorang sastrawan dan jurnalis yang juga pendiri Denpasar Film Festival (DFF), memberi dukungan kepada Putu Satria Kusuma. “Semangat, Komandan! Maju terus,” katanya lewat Facebook.
Menurut Agung Bawantara, yang harus dirumuskan sebagai kriteria dalam lomba drama gong adalah pakem besarnya saja. Misalnya pilihan cerita, gaya bertutur, gaya penyutradraaan, kesesuaian musik (gong), dan lain-lain yang semacam itu. Soal jumlah pemain, jenis adegan yang ada di dalamnya, tak usah diatur. Dengan begitu drama gong akan berkembang seperti teater modern atau film. “Pembatasan yang terlalu ketat akan membuat drama gong menjadi kerdil,” ujarnya.
Sebagaimana dalam pentas Parade Cak yang kerap diposting sastrawan Mas Ruscitadewi di media sosial. Parade cak yang dipentaskan di Ardha Candra pada bulan September ini menjanjikan kekayaan kreasi dan pembaruan. Dan ia membayangkan jika para seniman drama gong dibebaskan berkreasi akan lahir berbagai pembaruan yang menjawab tuntutan zamannya. Bisa jadi nantinya akan ada kombinasi drama gong-pencak silat, drama gong sulap, dan lain-lain.
Mas Ruscitadewi secara lebih bijaksana mengatakan memang seperti itulah yang diharapkan semuanya. Hanya dengan memahami makna seni sebagai sesuatu yang sangat kecil maka ia bisa menembus ruang dan waktu. Semestinya serupa seni itulah seniman berlaku. Seniman menjadikan diri sekecil-kecilnya sehingga akan bisa membuat karya seni besar. “Sebenarnya semua menuju ke sana hanya cara pengungkapan dan posisi yang berbeda,” katanya.
Menurut Mas, sebagai pembuat kebijakan, pemerintah penting juga membuat rambu-rambu sebagai pedoman bagi pemula untuk membedakannya dengan seni pertunjukan yang lain, agar seniman bisa konsisten di jalurnya. “Dengan pikiran dan niat baik pasti semua akan baik, salam,” tutupnya. (T)
Catatan: Tulisan ini disarikan dari sejumlah komentar dalam polemik drama gong di media sosial (facebook) dan hasil dari beberapa kali ngobrol dengan Putu Satria Kusuma