SETIAP orang pasti pernah merasakan takut, tidak peduli tua atau muda. Rasa takut adalah salah satu emosi dasar sama seperti bahagia, sedih, marah dan sejenisnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia “takut” berarti perasaan gentar atau ngeri menghadapi sesuatu yang dianggap akan mendatangkan bencana.
Ngomongin soal takut ternyata tidaklah sederhana. “Takut” bisa dibedakan dalam beragam bentuk, sebab dan jenisnya. “Takut” sering begitu nyata dan banyak juga yang tersamar.
Misalnya suatu hari seorang karib saya mengaku takut pulang kampung (desa). Saya pikir dia sedang bermasalah dengan tetangganya. Atau dia masih banyak punya tunggakan cicilan di tukang kredit keliling.
Oh, ternyata tidak. Setelah lama dicermati dan didengar alasannya, rupanya kawan saya takut pulang kampung karena dia mempersepsikan bahwa di kampung dia merasa tidak akan bisa berbisnis dan mencari penghidupan untuk keluarganya. Padahal faktanya banyak orang yang tinggal di kampung bisa hidup mapan secara ekonomi, sosial maupun budaya.
Belakangan saya bertemu lagi dengan seorang teman yang mengaku “takut” tinggal di rumah saat jam kerja. Salah satu alasan ketakutannya adalah karena banyak punya utang. Dia pun bingung karena takut didatangi oleh orang bank atau rentenir untuk membayar pinjaman.
Setelah dicermati dan ditanya secara mendalam ternyata saya melihat ada dua persoalan yang dihadapi oleh kawan saya itu yaitu; pertama bingung memahami utang dan kedua bingung tidak mampu membayar utang. Menurut saya “memahami” dan “mampu” adalah dua persoalan yang berbeda.
“Memahami” lebih pada kesadaran dan pengetahuaan seseorang, sedangkan “mampu” lebih pada nilai uang nominal yang cukup untuk membayar utang. Kedua faktor tersebut sama-sama membuat dia merasa takut. Sebaliknya sering terjadi, banyak orang “mampu” membayar utang tetapi belum tentu dia “memahami” utang.
Ketidakpahaman terhadap “utang” sering kali membuat seseorang terus berutang alias gali lobang tutup lobang. Uang yang diperoleh dari ber-“utang”, sering kali dikelola dengan tidak diikuti oleh perubahan pola konsumsi atau pola hidup yang sesuai. Demi gengsi atau tuntutan profesi, sering kali rasa takut karena berutang disembunyikan dan lama-lama seolah-olah tidak takut.
Dalam modus ini akhirnya ada rasa takut yang tersamarkan. Persoalan pun menjadi bertambah mulai dari soal pemahaman, kemampuan dan ketakutan soal utang. Lalu seperti apakah mengatasinya?
Kemampuan mengatasi rasa takut sangat penting, karena tanpa sadar akan ada jalan keluar. Salah satu solusinya adalah “mendatangi” tempat atau sumber yang membuat rasa takut. Makna mendatangi itu tidak selalui dalam bentuk tindakan teknis, bisa juga dalam bentuk psikis yaitu dengan jalan “memahami” atau “menyadari” sumber ketakutan tersebut.
“Dengan sadar merasakan berat tentu akan terasa jauh lebih ringan dari pada merasakan berat dengan ketidaktahuan. Ketidaktahuan bisa membuat bingung karena tidak sadar. Sadar atau kesadaran jelas harus didukung oleh pengetahuan. Sadar dan tahu itulah membuat kita jadi merasa ringan”.
Misalnya semua itu terasa pahit, minimal kita sadar dan paham apa itu pahit. Sembahyang adalah salah satu cara untuk membangun kesadaran sehingga lama-lama bisa paham apa masalah dasar yang kita hadapi sebenarnya.
Takut dalam Ranah Budaya
Dalam kehidupan masyarakat Bali kekininan kita mengenal banyak ungkapan rasa “takut”. Bahkan banyak rasa takut yang tidak jelas sehingga berkembang menjadi “nakut-nakutin”. Rasa takut bisa kita pilah menjadi dua yaitu rasa takut karena psikologis dan rasa takut secara budaya.
Dalam ranah budaya ada banyak rasa takut yang “dipelihara” oleh orang Bali antara lain :
- Takut karena tenget, karena ada tempat suci
- Takut ke geriya, karena tidak bisa bahasa Bali halus
- Takut belajar dan membaca sastra kerana takut kepongor atau ajewera
- Takut karena sesuatu itu suci atau pingit, tidak boleh sembarangan
- Takut tulah, misalnya mencukur rambut orang tua
- Takut ngadol tanah duwe karena ada Bhisama
- Takut dengan waktu sandikala/sandikaon atau tengai tepet
- Takut karena sedang rerahinan
- Takut tidak melakukan yadnya (panca yadnya)
- Takut karena tidak ada dewasa, jika hendak melaksanakan yadnya
- Takut menebang pohon beringin karena tenget
- Takut ngemaling pratima bisa kepongor
- Takut “ngajeng kitiran” (makan daging burung Kitiran) karena Bhisama
- Takut menerima nak memadik, karena Bhisama.
- Takut makan be julit atau be kidang, karena Bhisama
- Takut sing ngelah panak muani (takut tidak punya anak laki) alias tidak punya kepurusaan.
- Takut tidak mebanten, karena adanya keyakinan terhadap aktivitas alam. Tidak membanten diyakini bisa diganggu oleh kekuatan alam (bhuta).
- Takut cacapan rumah melewati batas pekarangan/lahan (keyakinan astakosala kosali).
- Takut ngutang tali pengingkat padi bali/sigih (etika/keyakinan budaya subak)
- Takut ngencehin pelinggih (etika/kepongor)
- Takut lelipi mecelep ke paumahan.
- Takut cicing kaung-kaung, ada leak atau ada nak mentas di peteng.
- Takut ningeh munyin celepuk (takut mendengar suara burung hantu), diyakini ada nak hamil/beling/ngidam) yang takut pasti tidak paham.
- Takut munyin kedis kedasih malam-malam (kir..ti ti kirr r r)
- Takut mancing di tibu (lubuk sungai yang dalam), ada tonyo.
- Takut nyamat sara /menyapa orang yang berangkat ke tajen, bisa kalah.
- Takut main judi ngelawan nak ngelah belingan. Sering kalah.
- Takut makan sumping waluh, don kelor, biu mas, karena ilmu kewisesaan bisa lemah.
- Takut menggunakan bunga gumitir warna tertentu untuk banten (banten wangke).
- Takut nyuang nak beda soroh/kasta, konon manesin.
- Takut meli kopi yen dagange dadong-dadong, bisa kene cetik/bise ngeleak
- Takut bulan kepangan (ada mitos kalarau) dulu orang memukul kentongan.
- Takut mecukur yen ngelah belingan (takut pang sing ganteng karena istri lagi hamil)
- Takut makan nenas muda. Janin bisa gugur.
- Takut misuh bikul, konon bikul bisa tambah ngerusuhin.
- Takut salah ngomong (etika bahasa/sor singih).
- Takut merantau (karena kewajiban ngayah ring merajan/ pura dadia/kawitan)
- Takut pelih ngawiwit padi.
- dll
Masih banyak lagi rasa takut dalam “ranah budaya” yang hingga saat ini diyakini oleh orang Bali. Memelihara rasa takut ternyata salah satu bentuk memelihara dan meyakini budaya sehingga rasa takut secara budaya diwariskan dan diyakini secara turun-temurun.
Rasa “takut” secara budaya membuat Bali menjadi lestari karena orang tidak berani sembarangan dalam mengubah, memanfaatkan, memungsikan, membicarakan dan sebagainya terhadap sesuatu. Di Bali rasa takut ada dalam kesadaran dan pemahaman baik di wilayah Parahyangan, Palemahan dan Pawongan.
“Ternyata takut secara budaya berposisi dan berfungsi benar, rasa takut secara budaya membuat Bali menjadi “lestari” alias “sing bani dan sing dadi ngawag-ngawag”.
Takut di Zaman Modern
Lain lubuk lain ikannya, lain zaman lain keyakinannya. Masa kini di zaman yang disebut “modern” ini rasa takut pun berubah, antara lain :
- Takut sing ngelah pipis.
- Takut sing ngelah mobil.
- Takut sing maan suara saat pemilu.
- Takut sing ada investor.
- Takut teken kolektor.
- Takut nganten.
- Takut nengil ajak matua/mertua.
- Takut nengil di desa/pakraman, karena ngelidin pengayahan tertentu, ada juga karena tidak ada waktu untuk ngayah.
- Takut tidak bawa uang kemana-mana.
- Takut ke rumah sakit karena urusan administrasi dan birokrasi ruwet.
- Takut ada temuan oleh BPK.
- Takut pertubuhan ekonomi atau PAD rendah
- Takut tidak dapat penghargaan Muri, dan sebagainya.
- Takut sing ngelah HP terbaru.
- Takut mebrata
- Dll.
Ternyata rasa takut bisa bermakna bermacam-macam. Rasa “takut” adalah sesuatu yang alami. “Takut” terjemahannnya belum tentu “jejeh” atau tidak berani, dua hal yang berbeda. Dari penjelasan di atas mudah-mudahan bisa dipahami apakah rasa takut karena tidak sadar dan tidak tahukah? Atau rasa takut karena ditakut-takutikah?
Di Bali, rasa takut ternyata salah satu bentuk menghormati kekuatan alam. Tentunya banyak juga rasa takut yang salah kaprah. Membedah rasa takut sangat penting untuk membangun kesadaran sehingga bisa sebagai dasar memahami sesuatu. Perlu dikupas lebih jauh adalah : “takut karena tidak sadar tidak tahu sehingga ketakutan”.
Ada bermacam-macam rasa takut yang salah kaprah membuat budaya Bali meredup. Ketika ada kesalahan terhadap sesuatu, timbul rasa “takut”, sering terjadi kita malah meninggalkan sumber ketakutan tersebut, bukan datang memahami dan menjaganya.
Misalnya, takut pulang kampung (desa pakraman) karena banyak ada upacara adat atau ngayah, akhirnya benar-benar meninggalkan kampung, bukannya merawat (mengelola) agar tatanan budaya di desa pakraman tetap terjaga. Yah, begitulah masih banyak lagi ketakutan yang salah kaprah. (T)