IGAU
andaikata rumput berwarna merah muda, sapi-sapi mungkin saja berwarna jingga. dan kau berdiri di atas batu kuning mengenakan sepatu hijau, menembaki aku dengan senapan buru laras ganda berpeluru coklat muda. sementara itu di televisi presiden kita berpidato tentang rencana kenaikan harga warna-warna. anak-anak, anak-anak kita, berpendaran ditelan cahaya matahari putih pucat.
pagi-pagi, pagi-pagi sekali tuhan turun di halaman belakang rumahku yang berwarna tanah. aku suguhkan segelas kopi merah muda + sebungkus rokok bermerek abu-abu + cerita kesedihanku yang tak begitu cermat. alam sekitar terasa ungu. kadang hijau kelon. sesekali berwarna cemas.
tuhan adalah seksama yang menerima ceritaku, atau mungkin cerita kita. segalanya dimasukkan dan disimpannya di dalam tas plastik berwarna hitam. mungkin warna misteri, karena hanya nabi-nabi yang tulang lidahnya dilenturkan. kita, kita diberi lidah tanpa tulang yang sekaligus tanpa berdaya.
nabi-nabi, nabi-nabi tidaklah secermat tuhan. tapi nabi-nabi jelas lebih cendekia. mereka menciptakan tuhan di mana-mana dengan satu nama: kegagalan. di situlah persoalan(nya).
RUMAH LUKISAN
kepada pelukis made wianta
di manakah asalku ketika kau buka pintu?
halaman kecil itu pun telah menjadi cakrawala
menelan atmosfir di luar tubuhku
aku datang bergelimang biji-biji tumbuhan
tunas-tunas bunga ajaib, bahkan
debu yang sebagiannya tak kukenali
siapa di antara kita yang menggali
atau tergali?
di tembok putih – tempat sebagian langit
melabuh, hal-hal kecil berbiak liar
pikran-pikiran besar merunduk
tertinggal jauh oleh diam yang
diciptakan riuh rindu percakapan warna
sementara itu
usiaku yang terlambat menancapkan akarnya
selalu tersipu di atas garis gairah
kelahiran yang ditinggalkan tanah
perjalanan yang digoda
banyak sekali persimpangan
sebelum usai kanvas terbingkai
di manakah asalku ketika keluar
dari pintu itu?
MENEMPUH WAKTU
ketika usia jadi ruang tunggu senyap nan kaku
waktu tak pasti
perasaan tak menjanjikan apa-apa
: aku terlempar lagi dalam kerinduan padamu
dunia
seperti cermin tua tak jernih lagi
dan patah-patah
tiba-tiba memantulkan seraut wajah
seseorang yang baru saja belajar bersisir sendiri
pada masa di mana ia mulai tersipu-sipu
melihat bayangan dirinya telanjang.
“alangkah menyenangkan wajah nakal
di cermin itu,” – gumamku suatu ketika.
waktu menjadi tak pasti
sesaat merayap bagai cecak kurus dan merana
mengendap-endap mencoba bertahan
di sela-sela baju kotor yang tersisih
di dinding
bagai kecoa terseok-seok
di kaleng-kaleng bekas kehilangan bentuk
di sepanjang lorong-lorong, pantai, trotoar
parit, kali, rel kereta api
stasiun bus, pedagang kaki lima
rumah-rumah pelacuran, kantor, lipatan dasi
sepatu, kaos kaki
sampah-sampah yang tak selesai dibakar
waktu menjadi tak pasti
sesaat berlari
melampaui seluruh pemikiran dan kata-kata
meninggalkan luka-luka dan memar
di sekujur tubuh yang mulai membiasakan diri meniru
binatang-binatang peliharaan
berciuman di jalan-jalan umum
di pusat-pusat pertokoan
dengan bangga dan sepenuh cinta
o, apa lagi
yang harus aku rahasiakan di sini?
aku tak yakin untuk memalingkan muka
sebab semuanya telah membangkitkan kembali
kerinduanku padamu
engkau pernah tak menangis
tetapi pucat dan gemetar mendengar mimpi-mimpi
yang ingin kujadikan kenyataan
betapa aku lupa memandang wajahmu lebih seksama saat itu
satu hal yang akhirnya harus aku sesali
setiap kali aku ingin melukis dirimu
di setiap permukaan air yang kutemui
ketika waktu berlari
betapa cepat segalanya berlari
jalan-jalan raya yang megah
berita-berita, sanak saudara semuanya berlari
dan aku tak pernah dapat mengejarnya
tiang-tiang listrik berlari
jauh mendahuluiku tiba di bukit-bukit
sebelum sempat kuperingatkan burung-burung
agar paham dan menepi
jeritanku pun tak sekuat yang pernah aku duga
betapa gemuruhnya suara-suara
pohon-pohon yang terbanting
beradu dengan tangis hutan yang setiap hari
merasa kehilangan sesuatu
siapa sih pencurinya?
kenyataan-kenyataan diam dan kaku
membentur tembok-tembok
wahai tembok-tembok!
tembok-tembok tak pernah aku duga bisa berlari
bahkan lebih cepat dari mahluk-mahluk berkaki
aku kehilangan arah
seperti seseorang yang
memegang gagang telepon umum
pada saat ia tak tahu harus bicara dengan siapa
sementara nomor-nomor tersambung sendiri
halo, di manakah engkau?
sudah membaca beritakah engkau hari ini?
aku membaca iklan saja
aku menyukainya
sebab iklan lebih memberi harapan
daripada membaca berita-berita buruk
yang kadangkala berakhir dengan timbulnya
kebencian kepada siapa-siapa
dan berita buruk pun
telah berlari dari segala macam penyelesaian
berperanglah! berperanglah sampai jemu
biar ada kerjamu yang berarti! – inilah iklan
yang paling aku suka
di mana setelah membacanya
aku dapat merasakan dan memahami bahwa sesungguhnya
setiap orang adalah calon seorang pahlawan
dengan perasaan seperti ini
aku jadi lebih bisa menghargai dan menghormati sesama
niat yang pada mulanya ingin menyalah-nyalahkan orang
seketika sirna
dari setiap wajah akhirnya dapat kutangkap
cahaya keakraban
kemesraan dalam mencari kesempatan
untuk lebih dulu menikamkan belati
aku juga paling suka iklan kematian
– telah mati dengan gagah:
nenek moyang – buyut – kakek – bapak
paman – suami – kakak – ipar – adik kami!
semoga tuhan…
o, alangkah mulianya kematian
sebuah kesempatan di mana segala kesalahan
kekeliruan dan penyesalan berakhir
segala kecantikan, kecurangan
angan-angan dan cita-cita berakhir
segala kebencian berakhir
di mana segala-galanya berakhir
alangkah mulianya kematian
kalau aku mati
biarlah mati seperti aliran listrik yang putus
pada saat televisi sedang menyala
dimana orang-orang sedang mewarnai mimpinya
biar mereka untuk terakhir kali masih sempat memaki
mengumpat dan melampiaskan
segala beban hatinya yang menggumpal
biar orang-orang untuk terakhir kali
sempat merenungkan kembali
apa-apa yang dikiranya telah beres
kematian seperti ini
tentu tak terlalu buruk
untuk diiklankan atau diberitaacarakan
atau diagendakan dalam kalender kerja
waktu menjadi tak pasti
dan aku terlempar dalam kerinduan padamu
terkutuk sebagai seorang anak nakal pongah dan kacau
dan sekarang sedang belajar menjadi santun
di tengah-tengah suara gemuruh
tunggu!
jangan kau kira aku sedang putus asa
aku biasa-biasa saja
bahwa aku sedang mencoba belajar santun
dengan satu cara
yang tak akan mengganggu siapa-siapa
: aku sedang menertawakan diri sendiri.
menertawakan diri sendiri
kaleng-kaleng bekas yang aku tendangi
di sepanjang trotoar, rel kereta api, stasiun bus
kali, parit, pantai, rumah-rumah pelacuran
juga menertawakan dirinya sendiri
kenapa mereka hanya menjadi kaleng-kaleng bekas
di situ?
begitu jauhkah bedanya dengan
botol-botol bekas parfum, bekas anggur
bekas pinisilin, bekas endrin
yang terpajang anggun di etalase selebritis?
seorang naturalis tentu akan melukis semua ini
lalu memberinya judul life style
kemudian pemilik galeri akan memasanginya
harga sebanding status sosial pembelinya
sementara si pelukis
terpeleset oleh sakit maag di masa muda
dan mayatnya nyasar
menjadi kaleng-kaleng bekas yang kutendangi
di sepanjang trotoar waktu
oh!
aku jadi ingin menelepon engkau untuk hal ini
tapi aku telah lupa nomor-nomor
yang kau katakan dulu
seseorang telah mengambilnya diam-diam
dari bilik jantungku ketika aku muntah-muntah mabuk
karena tak begitu tahan berdesakan
di pintu-pintu bus kota
pintu-pintu kereta api, pintu taksi
pintu supermarket
pintu hati para pelacur
pintu segala pintu
aku tak tahu entah untuk apa
angka-angka itu diambilnya
barangkali ia jatuh cinta padaku
atau angka-angka itu telah dijualnya
di pasar-pasar yang dihuni
orang-orang pintar berspekulasi
memainkan hidup dengan hitung-hitungan
baiklah. aku kira ini
tak perlu terlalu dirisaukan
dengan kehilangan angka-angka itu
aku jadi merasa diriku
telah pernah menjadi seorang dermawan
dan tanpa menelepon engkau pun
nyatanya aku mampu merindukanmu lebih sempurna
tapi pernahkah engkau juga merindukan aku?
astaga! engkau tak pernah menjawab pertanyaan yang kutulis
dalam setiap kartu pos hari raya
: bahwa masihkah engkau menari?
masih? tentu saja.
tapi tentunya ini juga merupakan saat-saat
yang sulit bagimu
sebab aku ingat
engkau tak dapat lagi menari di kampungmu sendiri
meskipun engkau tak perlu dibayar
tak seorang pun akan punya waktu
menontonmu
engkau harus menari di luar negeri sekarang
jika ingin ditonton dan dihargai
iya, kan? iya,kan?
sepanjang trotoar waktu
aku tendangi kaleng-kaleng bekas
suaranya gemuruh melengking-lengking
menertawakan dirinya sendiri
sesekali terbentur pada tiang-tiang
atau rambu-rambu.
o, ya, ini adalah kesenangan baruku
kaleng-kaleng bekas itu ketika membentur
akan cukup untuk menarik perhatian
orang-orang yang kaku dalam penantiannya
beberapa saat mereka akan menoleh
dan yakin bahwa sebenarnya akulah yang gila
bukan mereka
bukan mereka!
engkau pikir untuk menjadi gila sama mudahnya
seperti berbasa-basi di depan para dewa
nanti dulu!
menjadi gila juga memerlukan
keberanian dan keuletan yang tak sepele
salah langkah engkau bisa terperangkap
dimasukkan ke rumah sakit jiwa.
tapi ini masih lebih beruntung
daripada engkau terjaring lsm atau lembaga ham
sebab di sana engkau terus akan menjadi objek
penyaluran rasa belas kasihan atas nama masyarakat
maukah engkau dikasihani terus-menerus?
dalam kegilaan waktu menjadi tak pasti
setiap tarikan nafas
berarti usaha untuk tak terperangkap
setiap kedipan mata
berarti perjuangan hitam dan putih
seperti permainan sepak bola
orang-orang menendang, mengejar, mengganjal
menangkap dan berusaha menguasai permainan
kalau engkau beruntung
sempat menggiring bola dan membobol gawang
engkau akan menjadi bintang
engkau dirangkul, digotong keliling arena
tapi jika permainanmu jelek dan banyak kesalahan
maka engkau di-kartu merah
dikeluarkan dari arena
maka jadilah engkau semacam ban serep
pada sebuah truk pengangkut barang
sebuah ban yang digantung begitu saja
tidak ikut berputar
tapi ikut kecipratan
apabila truk melindas lumpur atau tai
aku tak bisa bermain sepak bola
maka aku tendangi kaleng-kaleng bekas
yang kehilangan bentuk di sepanjang trotoar waktu
di sampah-sampah yang tak selesai dibakar
waktu menjadi tak pasti
sesaat berlari
melampaui seluruh pemikiran dan kata-kata
menjelmakan kaleng-kaleng bekas
dan dari sudut ke sudut jalan
aku hindari seluruh kesangsian
bahwa aku sedang menempuh waktu
pulang ke pelukanmu