BALI merupakan kepulauan seribu pura yang telah terkenal sejak zaman dahulu. Masyarakat Bali tak lepas dari Tri Hita Karana yang merupakan landasan kehidupan beragama dan beradat. Ketiga konsep menuju kerukunan dan kebahagiaan itu salah satunya adalah palemahan. Hubungan harmonis manusia dengan alam, begitu mereka menyebutnya.
Ketika kita melihat media sosial saat ini banyak sekali artikel yang beredar, entah itu hoak atau memang berita itu benar, dari berita provokasi hingga berita kebencian. Kebencian akan tindakan pemerintah mengeliminasi anjing di Bali seakan menjadi booming di kalangan pecinta satwa. Caci maki tersurat di media yang dipenuhi dengan dengki. Seakan semua tindakan yang dilakukan itu salah.
Ya, mereka salah, mereka yang membunuh adalah sebuah dosa jika kita pandang dari ajaran Ahimsa (tidak membunuh), namun dilain pihak kita dapat melihat bagaimana sebuah keluarga yang meninggal karena gigitan anjing rabies. Seberapa pilu penderitaan mereka karena anggota keluarganya meninggalkan mereka karena sebuah gigitan anjing. Kita tak bisa menyalahkan mereka yang menjadi korban dan membenci akan keberadaan anjing.
Fanatisme berlebih akan kecintaan terhadap anjing menjadi cikal bakal kebencian program eliminasi. Ya, mereka memang cinta terhadap satwa, itu adalah salah satu proyeksi ajaran palemahan, saling cinta terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan. Namun ketika kecintaan itu menjadi berlebihan sehingga menimbulkan suatu kebencian, bukanlah sebuah cinta lagi. Melainkan adalah sifat fanatisme.
Kita sebagai pecinta satwa haruslah logowo, mencari solusi, mencari jalan, bukan menghujat, membenci dan hanya menyalahkan. Cukuplah kita sebagai pecinta satwa merawat dengan baik peliharaan kita, karena dengan itu kita akan benar mencintai satwa.
Masyarakat Bali, anjing di Bali, memiliki hubungan yang telah terjalin sejak lama. Ketika anjing kintamani Bali menjadi maskot daerah Kintamani dan dinamai anjing gembrong oleh masyarakat lokal. Anjing gembrong merupakan anjing ras asli, yang telah ditetapkan dunia.
Masyarakat Bali terkenal dengan kearifan lokalnya, memelihara anjing sebagai penjaga rumah, dilepasliarkan namun akan kembali pada pemiliknya. Mereka dipelihara untuk mengatasi kesunyian di rumah, menjaga harta majikannya, dan ada yang percaya sebagai penjaga dari hal – hal gaib.
Namun benarkah peran mereka telah dibalaskan oleh pemiliknya? Mungkin ya, mungkin juga tidak. Zaman dahulu anjing diberimakan seadanya oleh pemiliknya. Karena zaman itu semua masih dalam keterbatasan. Saat ini tidak, banyak pecinta anjing telah sadar dan telah merawat dengan baik, pakan yang sesuai, hingga diperlakukan seperti manusia, seperti sahabat dan peneman hidup.
Salahkah? Salah jika sesuatu yang berlebihan menjadi kebencian, tapi benar ketika itu didasari rasa cinta kasih terhadap makhluk Tuhan.
Anjing adalah ternak. Mungkin pecinta anjing tidak akan setuju dengan itu. Mungkin mereka akan mencaci orang yang berkata seperti itu. Anjing adalah ternak, anggapan itu lebih tepatnya disampaikan oleh masyarakat desa yang memelihara hanya untuk kebutuhan, seperti halnya celeng, ayam dan sapi. Mereka adalah ternak.
Anjing adalah ternak dan jika beranak kita berhak untuk membuang anaknya di pasar, Kita berhak membunuh mereka dan menyiksa mereka untuk berfoya – foya ditemani miras. Kita berhak memukul mereka, menendang mereka, menabrak mereka saat berkeliaran di jalan. Kita berhak membunuh mereka saat mereka dalam keadaan belatungan dan kesakitan. Kita berhak, ya kita berhak karena kita adalah majikan.kita berhak melakukan apapun.
Tenanglah, mari kita kembali lagi pada paragraf pertama dari artikel ini, Tri hita karana merupakan landasan masyarakat Bali. Apakah sesuai apa yang kita perbuat dengan landasan tersebut? Apa masyarakat Bali percaya dengan Karma?
Sebagian orang pasti akan menolak anggapan tersebut, “Tidak semua seperti itu?”
Memang tidak semua namun sebagian besar.
“Tidak, hanya sebagian kecil saja pastinya” tolak mereka.
Bukti konkretnya adalah lihatlah di jalanan, di pasar, seberapa banyak anjing yang berkeliaran? Mereka apakah benar liar? Ataukah mereka dibuang sejak kecil? Bagaimanakah kehidupan mereka sebenarnya?
Mungkin tidak banyak orang berfikir seperti itu. “Toh juga tidak ada hubungan dengan saya” seseorang akan menyeletuk seperti itu.
Kita telah mendapatkan Karma, Rabies merupakan pala dari perbuatan kita masyarakat yang telah membuat sebuah karma itu. Ada sebab ada hasilnya.
Kini eliminasi menjadi cekaman bagi pecinta anjing di Bali, mereka menghujat, mereka mencaci, membenci. Sedangkan penjalan program tersebut membela, mereka hanya menjalankan tugas mereka, menjaga keselamatan masyarakat dari rabies dan seterusnya.
Apapun yang mereka lakukan dianggap salah oleh pecinta anjing. Sedangkan apapun protes dari pecinta anjing lakukan, dianggap salah dan penggangu oleh pelaksana tugas. Konflik yang tak akan selesai. Karena asas kebencian adalah pondasi pereteruan, bukan asas kritis mengkritisi sesuatu.
Ketika pemerintah bertanya pada pecinta anjing, apa yang harus kami lakukan? Mereka bungkam. Sedangkan pecinta satwa selalu mengatakan “Tidak ada cara lain?”, “Tidak adakah cara lain selain eliminasi?”
Tentunya ada, namun membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Caranya adalah pemerintah harus mengkarantina anjing liar, bukan hanya satu, tapi semua. Bayangkan, mensteril semua anjing liar, memvaksinasi anjing liar, bukan hanya sebagian, tapi semuanya. Apakah bisa dilakukan? Bisa. Berapa anggaran yang harus dikeluarkan? Banyak, Apakah ada dananya? Sebenarnya ada. Lalu kemana dananya? Pertanyaan umum dengan jawaban umum, Korupsi.
Belahan pane belahan paso, ade kene ade keto yang artinya di dunia ini ada bermacam-macam hal. Lalu apakah kita akan serta merta menolak semua hal dan menerima semua hal? Humans have brain, hearth and feeling to think and feel. Hanya saja semua itu ditutupi oleh dengki. Let’s do the best. (T)