ADA serombongan remaja sedang berebut peran. Mereka akan menjadi pelakon sandiwara dalam perayaan Agustusan tingkat RT. Peran konglomerat, menteri, dokter, mahasiswa, semua mereka borong. Ada pun peran petani, buruh, tukang becak, supir angkot, tidak dilirik sama sekali. Pelatih sandiwara mereka dibuat geleng-geleng kepala.
Peran yang tersedia tidak semua terisi, padahal jelas dalam menggerakkan cerita tentang kemerdekaan yang hendak mereka pentaskan membutuhkan “sekrup-sekrup kecil”. Inilah yang akan menghidupkan cerita, membuatnya bermakna. Apa jadinya kemerdekaan tanpa peran orang-orang kecil? Tanpa mereka, kemerdekaan boleh jadi hanya sekedar sandiwara!
Persoalan tersebut diangkat secara menarik oleh Aant S. Kawisar dalam salah satu cerita yang terhimpun dalam buku kumpulan cerpennya, Sandiwara Kemerdekaan (Akar Indonesia, 2016). Cerita di atas jelas merepresentasikan situasi lebih luas di panggung kebangsaan di alam kemerdekaan. Orang cenderung memandang peran dan profesi tertentu sebagai jalan emas mengisi kemerdekaan, yakni peran dan profesi yang dianggap lebih prestise (gengsi) sekaligus cepat mendatangkan materi. Ujung-ujungnya kerja di belakang meja, mengandalkan otak, bukan otot, kata mereka.
Terjadi segregasi sosial atas peran dan posisi kita. Tidak heran kemudian, dunia pendidikan yang dianggap jalan mulia melahirkan manusia bertanggungjawab dan berdedikasi dalam bidang apa pun, kini dipenuhi beban-beban sosiologis yang sempit dan terbatas.
Universitas kerap diasumsikan sebagai sarana untuk membuat seseorang eksis memegang peranan dalam profesi tertentu. Bahkan dari kecil, misalnya, anak-anak sekolah lazim diarahkan pada cita-cita dengan citra mentereng; menjadi dokter, pilot, dan sejenisnya. Seiring dengan itu tertanam di kepala mereka bahwa citra profesi tersebut lebih tinggi dibanding yang lain. Ini membuat mereka banyak—meski tidak semua—yang tak berjejak di bumi, dokter bukan jalan untuk mengabdi namun jalan mendongkrak status sosial.
***
KIRANYA, apa yang dinamakan “sekrup-sekrup kecil”, sebagaimana diistilahkan sejarawan Sartono Kartodirjo, kini mulai pudar. Padahal dalam masa merebut kemerdekaan, sekrup-sekrup kecil seperti petani, nelayan, pedagang, buruh, sopir, prajurit, pelajar, dan seterusnya bahu-membahu, menyatu membentuk bangun kebangsaan yang besar dan bergerak bersama.
Jika satu atau dua sekrup hilang, maka pasti ada yang rumpang, goyah dan punya celah untuk runtuh. Oleh karena itu, semua sekrup mesti terisi sepenuh-penuh hati sebagai jalan pengabdian pada perjuangan kemerdekaan. Tapi kini sekrup-sekrup kecil itu kerap tersisih atau disisihkan oleh derap pembangunan, kebijakan yang tidak bijak dan pudarnya keberpihakan.
Semua itu dengan satire dan ironi berhasil digambarkan Aan Kawisar, membuat kita merasa kecut sekaligus terdorong untuk berefleksi lebih dalam. Situasi ini setali tiga uang dengan ceritanya yang lain, misalnya, “Kursi Itu Masih Bergoyang”. Bercerita tentang sebuah kursi goyang tua peninggalan kolonial yang dibeli oleh seorang nyonya besar.
Dari kursi goyang itu Sang Nyonya Besar mengatur segala sesuatu dengan telunjuknya, mulai dari urusan rumah tangga, jabatan suami hingga bisnisnya. Di sini, kursi goyang menjadi simbol beralihnya kepemilikan atas sebuah benda pra-kemerdekaan ke alam kemerdekaan, namun sifatnya masih mewariskan pola hidup feodal-kolonial.
Kritik sosial yang tajam melalui pengelolaan simbol-simbol tak terduga ini, menjadi benang merah simultan atas 18 cerita Aan, membuatnya tampil utuh sebagai satu-kesatuan. Gayeng dibaca dan perlu, terlebih dalam momentum Hari Kemerdekaan kita yang ke-71 ini. (T)