“DENGAN melewati tahapan hidup dari Sudra menuju Wesya, dari Wesya menuju Satria, dari Satria menuju Brahmana, seseorang mencapai Moksha,” guru saya pernah berucap demikian suatu hari.
Kalimat beliau“bersayap.”
Sudra, Wesya, Satria, Brahmana, adalah kesadaran manusia, bukan urusan darah daging manusia.
Manusia yang hanya tenggelam mengandalkan tubuh untuk berkarya kasar mencari penghidupan (Sudra) tentu tidak dapat mencapai Moksha. Manusia yang orientasinya masih selisih sisa hasil penjualan, apalagi berjiwa maklar yang pikirannya dipenuhi dengan persenan penjualan tanah, mana mungkin mengapai Moksha.
Pintu moksha tidak juga ‘hadir’ untuk insan yang masih sibuk saling sikut ingin terus bergelimpang kekuasaan dan perebutan tahta (kursi) jabatan (Satria). Hanya dalam jiwa seorang yang tulus berdoa kepada semua, tanpa memikirkan selisih penjualan, tanpa mencari kuasa dan ketenaran, ada harapan pintu Moksha terbayangkan. Malam gelap kerja kasar tanpa kesadaran hati, awan pekat keuntungan penjualan, kabut tebal libido kekuasaan, akan menutup dan menjauhkan pintu itu.
Di keluarga latar belakang sosiologis atau golongan apapun seseorang lahir, walaupun dikatakan ia terlahir dalam garis silsilah keturunan pendeta tertinggi di masa silam, ia harus melewati tahapan Sudra-Wesya-Satria-Brahmana yang laten dalam diri setiap manusia.
Bekerja kasar dan hidup kasar (Sudra) harus dilampaui ke tahap pekerjaan managerial; mengelola pikiran agar beruntung dan mampu menghasilkan keuntungan berlipat (Wesya). Siapapun, sekalipun secara secara genetik konon terlahir dari keluarga Brahmana, jika pikirannya dipenuhi selisih dan persentase keuntungan semata, memperkaya diri dan keluarga, ia sesungguhnya seorang Wesya.
Dari tahap Wesya, seseorang diharapkan terlahir kembali secara kesadaran dalam hidup ini dengan meninggalkan orientasi hidup mencari keuntungan dan laba, menuju ‘pengabdian kemasyarakatan’, mengerjakan dan memikirkan masyarakat, turut serta dalam menata kehidupan manusia, menjadi Satria.
Setelah tahapan Satria dijalani, jika mampu pikirannya terlahir dalam kesadaran Brahmana, ia baru mungkin menapaki jalan setapak menuju pintu Moksha.
Dalam satu kehidupan, seseorang bisa berjuang menjadikan dirinya terangkat dari kesadaran Sudra menuju kesadaran Brahmana. Sebaliknya, bisa juga seseorang terjatuh dari kesadaran Brahmana menuju kesadaran pedagang atau pemimpi kemasyuran dan kekuasaan belaka.
Dari pengabdian berbasis kekuasaan, kedudukan dan kehormatan, menuju pengabdian batiniah, dalam doa dan dalam pelayanan, menahan diri dan mengendalikan pikiran, mewujudkan dan menggali potensi terdalam diri, memahami ruh dan nyawa sendiri, sedalam-dalamnya, seutuh-utuhnya, sejujur-jujurnya, maka ia baru mencapai tahap terlahir dalam kesadaran Brahmana.
Mereka yang pikiran dan kesadarannya telah mencapai mencapai kesadaran Brahmana berpeluang menuju ke jenjang perjalanan berikutnya, perjalanan menuju pintu Moksha.
Beberapa tokoh yang melintas jalan dari silsilah dan garis kelahirannya. Mereka manusia sujati:
Walmiki diceritakan menjalani hidup sebagai perampok, lalu tercerahi karena mendapat ‘mantra’ dan menjalani tapa, sehingga ia dikerubungi semut dan tubuhnya terkubur rumah semut. Walmiki berarti rumah semut. Sebagai pertapa tercerahi ia menuliskan Kisah Ramayana.
Lubdakadalam kisah Siwalatri Kalpa, terlahir menjadi pemburu dan tercerahi lewat ‘renungan malam Siwa Latri,’ mencapai ‘Siwa Loka’ atau ‘alam tertinggi’ setelah kematiannya.
Satyakama Jabala, seorang anak pembantu yang tidak jelas siapa ayahnya, muncul dalam Chandogya Upanishad, bab IV, pergi mencari seorang guru yang akan membimbingnya mencapai tujuan tertinggi kehidupan. Kepada Rishi Gautama Haridrumata, ketika ditanya asal muasal keluarga dan garis silsilah keluarganya, Satyakama Jabala mengakui bahwa ia bahkan tidak tahu siapa ayahnya. Ibunya menjadi pembantu dari rumah ke rumah dan berbuah melahirkan dia. Menurut Rishi Gautama Haridrumata, karena Satyakama Jabala berbicara kebenaran maka dia seorang Brahmana. Chandogya Upanishad IV 4,1-5, menyebutkan: ‘Kebenaran adalah kebajikan tertinggi, kebajikan moral yang memungkinkan seseorang untuk mencapai Yang Absolute’.
Sidhartha Gautama terlahir sebagai Satria, ia meninggalkan tahta dan kemewahan. Memasuki kehidupan tapa dan kesucian. Ia bergerak dari Satria menuju kesadaran Brahmana. Lewat jalan asketime dan perenungan dan mendalam ia mencapai Nirbana yang sempurna. Ia bukan saja mencapai yang entitas yang tertinggi, bahkan menjadi pembuka jalan dan mahaguru diantara para brahmana.
Apa yang disampaikan guru saya dalam pembuka tulisan ini, sangat menarik untuk dibandingkan dengan apa makna Brahmana dalam kitab suci Dhammapada, bagian Brahmanavagga XXVI:
(411) | Seseorang yang tidak mempunyai nafsu keinginan lagi, yang telah bebas dari keragu-raguan karena memiliki Pengetahuan Sempurna, yang telah menyelami keadaan tanpa kematian (nibbana), maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(412) | Seseorang yang telah mengatasi kebaikan, kejahatan dan kemelekatan, yang tidak lagi bersedih hati, tanpa noda, dan suci murni, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(413) | Seseorang yang tanpa noda, bersih, tenang, dan jernih batinnya seperti bulan purnama, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(414) | Orang yang telah menyeberangi lautan kehidupan (samsara) yang kotor, berbahaya dan bersifat maya; yang telah menyeberang dan mencapai ‘Pantai Seberang’ (nibbana); yang selalu bersemadi, tenang, dan bebas dari keragu-raguan; yang tidak terikat pada sesuatu apa pun dan telah mencapai nibbana, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(415) | Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah-tangga dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan nafsu indria akan ujud yang baru, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(416) | Seseorang yang dengan membuang nafsu keinginan kemudian meninggalkan kehidupan rumah-tangga, dan menempuh kehidupan tanpa rumah, yang telah menghancurkan kemelekatan dan kerinduan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(417) | Seseorang yang telah menyingkirkan ikatan-ikatan duniawi dan juga telah mengatasi ikatan-ikatan surgawi, yang benar-benar telah bebas dari semua ikatan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(418) | Seseorang yang telah mengatasi rasa senang dan tidak senang dengan tidak menghiraukannya lagi, yang telah menghancurkan dasar-dasar bagi perwujudan, dan juga telah mengatasi semua dunia (kelompok kehidupan), maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(419) | Seseorang yang telah memiliki pengetahuan sempurna tentang timbul dan lenyapnya makhluk-makhluk, yang telah bebas dari ikatan, telah pergi dengan baik (Sugata) dan telah mencapai ‘Penerangan Sempurna’, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(420) | Orang yang jejaknya tak dapat dilacak, baik oleh para dewa, gandarwa, maupun manusia, yang telah menghancurkan semua kekotoran batin dan telah mencapai kesucian (arahat), maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(421) | Orang yang tidak lagi terikat pada apa yang telah lampau, apa yang sekarang maupun yang akan datang, yang tidak memegang ataupun melekat pada apapun juga, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(422) | Ia yang mulia, agung, pahlawan, pertapa agung (mahesi), penakluk, orang tanpa nafsu, murni, telah mencapai penerangan, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
(423) | Seseorang yang mengetahui semua kehidupannya yang lampau, yang dapat melihat keadaan surga dan neraka, yang telah mencapai akhir kelahiran, telah mencapai kesempurnaan pandangan terang, suci, murni, dan sempurna kebijaksanannya, maka ia Kusebut seorang ‘brahmana’. |
Sudra, Wesya, Satria, Brahmana, adalah kesadaran manusia, bukan urusan darah daging manusia, bukan urusan historis atau sosiologis tubuh. Ini adalah urusan spiritual. Hanya dalam cahaya dan kesadaran Brahmana terbuka jalan setapak menuju pintu Moksha. (T)