Cerpen: I Putu Supartika
TIDAK ada yang tahu sejak kapan pura kecil di tengah sawah itu berdiri. Yang pasti orang-orang di sekitar pura tahu pura itu sudah ada sejak kelahiran mereka. Bahkan orang tua mereka juga tidak tahu kapan persisnya pura itu dibangun. Dan mereka hanya tahu pura itu sudah berusia sangat tua, bahkan ratusan tahun ataupun bisa jadi ribuan tahun. Ini bisa dilihat dari keadaan pura yang sudah ditumbuhi lumut hampir di seluruh bagiannya. Mulai dari tembok penyengker-nya hingga ke bagian atap pelinggih pura. Orang-orang di sana menyebut pura itu Pura Subak, yaitu pura yang disungsung oleh para petani yang menggarap sawah di sekitar pura.
Memang pura itu memiliki keanehan, karena dari sekian banyak keturunan yang bermukim di sekitarnya, termasuk para penggarap sawah yang bekerja di sana secara turun-temurun tidak ada yang tahu asal-usul pura itu. Siapa yang mendirikan, atas dasar apa pura itu didirikan, dan bagaimana sejarah persisnya pura itu dibangun. Mungkin ini kesalahan leluhur terdahulu yang tidak menceritakan asal-usul pura itu. Atau mungkin pura itu memang berdiri karena kehendak alam dan bukan didirikan oleh manusia, dan atau mungkin pura itu dibangun untuk menciptakan ketentraman para petani di sana. Hanya cerita-cerita aneh saja yang beredar di sana tentang berdirinya pura itu dan tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Sungguh-sungguh itu menjadi teka-teki sepanjang masa dan menyimpan sebuah keanehan karena tidak ada yang tahu asal-usul berdirinya pura itu.
Hal lain yang mejadi teka-teki dan dianggap sebagai keanehan selain asal-usul berdirinya pura itu yang tidak diketahui adalah keberadaan pohon beringin yang ada di sebelah kiri pemedal pura. Tetapi bukan pohon beringin itu yang membuat keanehan, melainkan kera yang tinggal di pohon beringin itu.
Padahal di daerah itu tidak ada gunung, dan juga tidak ada habitat kera. Bahkan hingga radius 10 kilometer dari daerah itu tidak ada habitat kera. Yang ada hanyalah burung-burung kecil, musang, ataupun landak. Sedangkan kera sama sekali tidak ada. Nihil dan bisa dibilang kosong. Tetapi kenyataannya pada pohon beringin di pura itu tinggal seekor kera, dan ini kemustahilan atau ini memang keajaiban dari Sang Hyang Widhi.
Jika pagi hari di saat para petani berangkat ke sawah dan melewati jalan di depan pura. Kera itu turun dari pohon beringin dan kera itu bermain-main ke halaman pura. Kadang-kadang petani melihat kera itu duduk di atas atap pelinggih pura, kadang-kadang juga di penyengker pura, atau jika tidak kera itu berayun-ayun di akar-akar beringin sambil membawa pisang lungsuran yang diambilnya di pelinggih Pura Subak. Para petani melihat seakan-akan kera itu sangat betah tinggal di sana. Kadang-kadang juga kera itu terlihat seperti bercengkrama dengan seseorang, namun petani itu tidak melihat siapa yang diajaknya. Mungkin kera itu bercengkrama dengan Dewa yang berstana di sana, atau kera itu bercengkrama dengan leluhurnya terdahulu. Tapi entahlah, petani itu juga tidak mengerti. Dan petani itu lebih memilih melanjutkan perjalanannya menuju ke sawah garapannya, daripada melihat keanehan dari seekor kera.
Ketika siang menutup pagi, dan para petani dibawakan makanan oleh istri-istri mereka, maka kera itu selalu menghadang istri para petani di tengah jalan hanya untuk meminta sekadar makanan. Sepotong singkong, ataupun sebiji pisang. Dan para istri petani sudah tahu hal itu. Bahkan setiap hari mereka telah mengalaminya, maka tak lupa jika akan pergi ke sawah membawakan suaminya makanan istri petani itu selalu menyediakan sepotong singkong, atau sebiji pisang, ataupun makanan lain untuk kera itu. Sampai di depan pura istri para petani akan menghaturkan sepotong singkong, atau sedikit makanan yang dibawanya dahulu di pelinggih depan pura, setelah itu baru memberikannya untuk si kera.
Pernah dahulu ada suatu kejadian, ketika seorang istri petani yang bernama Men Suci membawakan suaminya makan siang melewati jalan depan pura itu. Tiba-tiba ia dicegat oleh kera penjaga pura itu dan kera itu meminta makanan. Karena Men Suci lupa membawa makanan untuk kera itu, maka ia meninggalkan kera itu. Sontak saja kera itu menjambak rambut Men Suci, hingga ia tersungkur jatuh, lalu kera itu mencabik-cabik tubuh Men Suci hingga berdarah. Untung saja ada petani yang lain yang menemukan kejadian itu sehingga Men Suci diselamatkan dari keganasan kera yang marah itu. Sehingga sejak saat itu semua orang yang lewat di depan pura tersebut yang membawa makanan pasti akan memberikannya sedikit untuk kera itu setelah dihaturkan di pelinggih depan pura. Tidak hanya untuk istri-istri petani, tetapi juga semua orang.
Selain itu orang-orang di dekitar sana percaya bahwa kera itu adalah penjaga pura itu dan kera itu juga yang menyebabkan sawah di sana terbebas dari hama, sehingga hasil yang diperoleh petani selalu memuaskan.
Selama berpuluh-puluh tahun juga telah beredar cerita tentang kera itu. Tapi tidak ada yang dapat menyimpulkan kebenarannya. Dan cerita ini konon juga berkaitan dengan berdirinya pura itu. Tapi tidak ada yang bisa memastikan apa itu benar atau salah.
***
KONON kera itu adalah jelmaan seorang manusia yang mendirikan pura itu.
Karena hasil pertanian semakin hari semakin menurun akibat serangan hama, maka para petani banyak yang merugi. Hasil panen yang mereka dapatkan tidak sebanding dengan apa yang telah mereka lakukan. Hal semacam ini terjadi secara berlarut-larut tanpa henti dan tidak ada yang bisa mengatasinya. Sudah banyak orang pintar yang mereka tanyai, namun tidak ada yang memberikan jawaban atas masalah yang mereka hadapi. Hingga semakin lama petani yang bekerja di sawah itu banyak berhenti mengolah sawahnya. Dan mereka memilih berpindah profesi menjadi buruh di pasar tradisional yang letaknya di perbatasan desa. Lama-kelamaan hanya tersisa seorang petani yang masih menggarap sawahnya dengan alasan sulit mencari pekerjaan lain. Petani itu konon bernama Pan Karta.
Karena hasil panennya tak kunjung membaik, maka pada suatu hari ia masesangi akan membangun sebuah pura di areal sawah itu, jika hasil panennya kembali seperti semula dan hama wereng tidak lagi menyerang sawahnya dan sawah warga lain di sekitarnya. Dan ia pula berjanji akan menjaga dan menyungsung pura itu hingga akhir hayatnya.
Tidak berselang lama setelah sesangi itu diucapkannya, semuanya menjadi terkabulkan. Hasil panennya telah kembali seperti semula dan bahkan mengalami peningkatan yang tajam, bahkan menjadi dua kali lipat dari biasanya. Hama yang menyerang sawahnya dan juga sawah warga lainnya seketika itu menghilang. Warga yang sudah beralih profesi menjadi buruh di pasar, kembali berbondong-bondong mengolah sawahnya. Sehingga kehidupan bertani kembali hidup dan kehidupan petani di sana menjadi sangat tentram.
Menyadari permohonannya telah terkabul, Pan Karta pun membayar sesangi-nya. Dia mendirikan sebuah pura di areal sawahnya sendiri, tepatnya di bawah sebuah pohon beringin yang besar dan lebat. Untuk membangun pura itu, ia dibantu oleh petani lain. Tetapi hanya bantuan tenaga saja, sementara biaya dan bahan bangunan Pan Karta sediakan sendiri.
Setelah dikerjakan selama dua bulan, akhirnya pura itu rampung, lalu dipelaspas pada hari Purnama. Sejak saat itu pura itu telah diresmikan, dan mulai saat itu juga para petani setiap hari baik itu hari biasa maupun hari raya menghaturkan sesajen.
Seperti sesangi-nya yang lain, Pan Karta juga rajin merawat pura itu dari hari ke hari, dari waktu ke waktu. Dan sekaigus ia juga diangkat menjadi pemangku di pura itu oleh petani yang lain.
Konon karena hasil pertaniannya yang semakin hari semakin meningkat pesat, Pan Karta merasa bahwa semua hasil yang diperolehnya telah cukup untuk biaya hidupnya sebagai seorang lelaki yang hidup sebatang kara. Dan ia menganggap bahwa penghasilannya selama ini juga sudah bisa digunakan untuk upacara pengabenan-nya nanti. Sehingga sejak saat itu ia menghentikan aktivitasnya sebagai petani. Bahkan lama kelamaan ia menjual sawah miliknya pada orang lain.
Awalnya, walaupun ia sudah menjual sawahnya kepada orang lain, namun ia masih tetap menjaga pura yang ia bangun. Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Pan Karta semakin malas untuk pergi ke pura itu untuk sekadar membersihkan areal pura dari sampah, ataupun dari rumput liar. Hanya petani lain yang menggarap sawah di sekitar pura yang menjaga pura itu. Bahkan Pan Karta juga melupakan kewajibannya sebagai pemangku di pura itu. Sempat beberapa orang petani mengingatkan kewajibannya kepadanya, namun ia menanggapinya dengan ringan saja, “ya nanti saya akan ke pura saat hari raya saja,” sambil tersenyum kecil. Kenyataannya saat hari raya ia tidak pernah hadir. Ia memilih berdiam di rumah untuk sekadar tidur-tiduran atau menikmati secangkir kopi hangat daripada pergi ke pura itu.
Hingga akhirnya pada suatu hari, saat hari raya Purnama. Ketika malam datang, sinar rembulan begitu cerah menerpa dedaunan dan halaman rumah Pan Karta. Seperti biasanya ia duduk di teras rumah menikmati secangkir kopi hitam sambil menghitung jumlah bintang, dan mencuri-curi pandang pada bulan.
Tiba-tiba saja langit berubah menjadi gelap, bulan yang mulanya tersenyum sumringah, kini ia tertutup kabut hitam yang tebal. Angin lebat datang, kilat menyambar-nyambar di angkasa, dan langit bagaikan mau runtuh. Dalam sekejap saja purnama berubah menjadi malam gelap, segelap warna kopi yang selalu ia nikmati setiap hari. Dan dari langit terdengar suara yang amat menakutkan bagi Pan Karta.
“Hai Karta, kau lupa dengan sesangi-mu, kau telah mengingkari dirimu sendiri, maka kau tak pantas untuk menjadi manusia lagi!”
“Siapa kamu? Siapa? Tampakkan wujudmu, jangan bersembunyi!” Pan Karta berkata dengan gemetar.
“Aku suara hatimu yang selalu mengingatkan kamu, tapi kamu mengingkarinya. Maka hiduplah kau menjadi hewan yang selalu menjaga pura yang kau bangun dulu. Karena hanya ini yang mampu menyelamatkan para petani di desa ini dari kegagalan dan ini juga satu-satunya cara untuk menebus kesalahanmu.”
Seketika suara itu hilang, hujan turun sangat lebat, dan Pan Karta mulai merasa aneh pada tubuhnya, mula-mula mukanya ditumbuhi bulu lebat, lalu bulu itu tumbuh menjalar ke seluruh tubuhnya. Lalu dari atas duburnya, tumbuh ekor yang kian memanjang. Dalam sekejap tubuh Pan Karta berubah. Dia bukan Pan Karta yang dulu lagi, namun ia adalah sesosok hewan dengan bulu yang lebat dan ekor yang panjang. Ya, kini ia adalah hewan, tepatnya seekor kera.
Karena menyesali perbuatannya, ia berlari ke pura yang ia bangun dulu. Dalam guyuran hujan lebat ia terus berlari hingga di depan pura itu. Di sana ia meminta agar wujudnya dikembalikan lagi menjadi manusia, namun semuanya sudah terlanjur. Ini sudah takdirnya, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Dengan harapan ia bisa kembali menjadi manusia, dan juga untuk menebus segala kesalahannya, maka ia berjanji akan tinggal di pohon beringin di samping pura itu, dan menjaga pura untuk waktu yang tidak bisa dihitung, dan tidak bisa diperkirakan.
***
HINGGA pada suatu pagi yang cerah, seperti biasa para petani berangkat ke sawahnya. Sampai di depan pura, petani berhenti ingin melihat kera yang setiap hari mereka lihat. Namun kera itu tidak terlihat. Kemudian petani itu melihat ke pohon beringin yang besar tempat kera itu tinggal, namun kera itu tidak ada. Petani itu kembali menengok ke dalam pura, kera itu juga tidak ada. Hanya kulit pisang kemarin yang dimakan kera itu yang tersisa di bawah pohon beringin. Karena tidak menemukan kera itu, lalu petani itu melanjutkan perjalanannya.
Ketika siang harinya, istri para petani membawakan suaminya bekal, ia juga tidak menemukan kera yang biasa mencegatnya di jalan depan pura. Akan tetapi, mereka tetap menaruh makanan yang biasa diberikan kepada kera itu di bawah pohon beringin. Mereka yakin kalau kera itu masih di sana. Mungkin, ia bermain-main kepinggiran sawah, atau ia sedang tidur di dalam rimbun daun beringin.
Sore harinya ketika para petani dan istri mereka kembali ke rumah. Kera itu juga tidak ada di sana. Mereka meihat ke segala arah dari depan pura itu, namun mereka tidak juga melihat kera itu. Dalam perjalanan pulangnya, mereka bertanya tentang kera itu.
“Ke mana perginya kera itu?”
“Entahlah.”
“Apa ada yang melihatnya?”
“Tidak.”
“Mungkin kera itu masih di sana, tetapi kita tidak melihatnya!”
“Mungkin juga kera itu tidak mau menampakkan dirinya kepada kita lagi.”
“Mungkin……..! Entahlah aku juga tidak tahu”
Hal itu berulang setiap hari, namun tak ada satu orangpun yang menemukan kera itu di sana. Walaupun begitu, istri para petani setiap hari tetap menyediakn makanan untuk kera itu. Dan sampai di depan pura mereka selalu menaruh makanan itu di bawah pohon beringin di samping pura.
Dan setiap hari keanehan juga terjadi di sana, setiap makanan yang mereka taruh di bawah pohon beringin selalu hilang dan esok harinya yang tersisa hanya kulitnya saja. Mereka percaya bahwa makanan itu diambil oleh si kera penjaga pura. Semua orang yang ada di sana juga percaya, bahwa kera itu masih ada di sana menjaga pura itu dan memberikan kebahagiaan kepada para petani sampai nanti.
Kelak cerita tentang keberadaan kera tersebut akan terus menjadi legenda yang akan bergulir dari generasi ke generasi berikutnya. (T)
Keterangan:
Penyengker: tembok pembatas.
Pelinggih: bangunan yang ada di pura yang dianggap sebagai stana dari Para Dewa bagi umat Hindu.
Pemedal: pintu keluar dari sebuah pura.
Lungsuran: sesajen yang sudah selesai di haturkan.
Masesangi: membuat janji kepada Para Dewa.
Pengabenan: upacara pembakaran mayat di Bali
Dipelaspas: di resmikan dengan upacara menurut keyakinan agama Hindu
Pemangku: orang yang memimpin jalannya upacara selain pendeta.