Pelawak drama gong, I Wayan Tarma (62) yang terkenal dengan nama Dolar, meninggal Sabtu (9/7) sekitar pukul 05.30 Wita. Ia meninggal ketika seni drama gong yang melambungkan namanya sudah lebih dulu mati dan kini sedang berusaha di-urip alias dihidupkan kembali oleh sejumlah orang di Pesta Kesenian Bali (PKB).
Drama gong bisa benar-benar mati, tapi nama Dolar tetap hidup. Hidup Dolar!
Drama gong sebenarnya sudah mati bahkan ketika Dolar masih bermain di dalamnya. Selewat tahun 2000, ketika pamor drama gong redup, nama Dolar sebenarnya tetap moncer. Dalam sejumlah pementasan drama gong di arena PKB misalnya, puluhan ribuan penonton awalnya memang memadati tribun Ardha Candra. Mereka sebenarnya hanya menunggu keluarnya Dolar dan pasangannya Petruk (Wayan Subrata). Usai Dolar membanyol, sebagian besar penonton tanpa malu-malu angkat pantat dan meninggalkan tribun. Penonton tak peduli lagi kelanjutan cerita, tak hirau petatah-petitih raja dan permaisuri pada adegan persidangan yang membosankan, tak terharu lagi mendengar tangis sedih putri yang ditinggalkan suaminya karena kepincut galuh ajeng.
Penonton hanya tahu Dolar. Maka ketika drama gong sekarat tak ada yang ngupah, Dolar secara solo masih tetap di-bon atau dipinjam sejumlah grup kesenian (di luar drama gong) sebagai daya tarik pementasan. Namun, apa daya, meski secara solo namanya masih terang dan “laku-jual”, pelawak itu menyerah terhadap serangan stroke, sekitar Juli 2012. Dan tepat pada Tumpek Landep ia meninggal setelah sempat muntah darah dan dilarikan ke UGD RSU Bangli.
Kepergian Dolar yang berasal dari Banjar Sema Siladan, Desa Tamanbali, Bangli, ini diratapi banyak penggemarnya. Ucapan dukacita dan doa bertebaran di media sosial seperti facebook . Dolar memang termasuk salah satu pelawak Bali yang banyak penggemar. Ia pelawak berkarakter, bukan semata dari riasannya, tapi dari cara dia membangun materi lawak di atas panggung. Saat berpasangan dengan Petruk di drama gong, Dolar selalu bertahan dengan gaya bodoh-bodoh pintar, belog-belog ngebog.
Dulu, pada masa keemasannya drama gong bukan hanya digemari karena lawakannya, tapi diidolakan secara utuh dan total. Ceritanya disimak dari awal hingga akhir, putrinya dinantikan karena bisa mengharu-biru penonton, raja buduh dan galuh ajeng dikangeni karena bikin gemes penonton. Patih agung dan patih anom disukai karena kerap memberi pelajaran tentang olah vocal dan “bahasa tengkar” yang mengesankan. Gamelannya pun didengar, terutama sulingnya, bahkan nada-nadanya bisa terbawa hingga tidur.
Tapi belakangan, sepertinya hanya lawakannya yang tersisa. Orang berkilah karena masyarakat zaman sekarang lebih suka hiburan ketimbang asupan batin, mereka lebih suka tertawa ketimbang berpikir. Kilah itu mungkin benar, mungkin juga keliru. Karena semua jenis pertunjukkan bisa saja belajar dari seni lawakan. Misalnya belajar tentang bagaimana seorang pelawak selalu berpikir keras untuk menemukan materi baru agar lawakannya tetap segar dan orisinal. Menemukan materi baru itulah yang kerap dilakukan Dolar dan pelawak lain saat pentas drama gong. Hal yang mungkin saja tak dilakukan oleh pemeran raja muda atau pemeran seorang patih.
Hidup Dolar, meski drama gong masih mati. (T/ANA)