BAGAIMANA harus melukiskannya, sebagian besar anak kos (mahasiswa) memang dikenal selalu mumet dengan hiruk pikuk perekonomian. Dari media sosial, hingga sosial media, tahu perekonomian anak kos selalu tak pasti. Kadang tinggi kadang rendah, kadang makan kadang tidak, kadang saban hari menyantap burger di KFC atau tempat nongkrong kontemporer, kadang hanya berteman mangkuk dan campuran mie instans disertai kuah sisa kemarin. Memang miris, kadang komedis (bentukan dari kata komedi he he he), kadang tragis.
Jika dilihat dari anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) anak kos, nasib anak kos memang kebanyakan memprihatinkan. Dengan anggaran kecil mereka sulit mengatur jadwal belanja: kapan nongkrong di KFC, kapan ngopi Rp 30 ribu segelas di kafe kontemporer, kapan harus beli tipat cantok, kapan masak mie instan. Tapi banyak juga dari mereka yang menerima pasokan anggaran cukup besar dari orang tua yang memang kaya, namun mereka kadang tak menerapkan dalil ekonomi anak kos: “yang perlu dan pentinglah yang harusnya dibeli”.
Kalau bertanya kepada anak kos yang notabene perokok, ya jelas yang dianggap penting dan darurat-kesumat adalah rokok. Kalau kita bertanya pada anak kos yang notabene peminum (arak,tuak/lau, atau oplosan shampoo dan oabt nyamuk dicampur bensin,) ya jelas, yang mereka pentingkan adalah setiap hari harus dapat minum, ya… sejerigen-lah.
Kalau kita bertanya kepada anak kos yang smart alias yang mementingkan kuliah di atas segala-galanya, yang terlihat lusuh, putus asa, mata bergelambir, kaca mata tebal, dan ketika diajak berbicara berlagak ngantuk dan tak mau bicara kalau tidak mengenai tugas kampus, ya jelas yang dipentingkan adalah keperluan kampus, paper, uang foto copy, uang print, beli buku, beli pulpen, beli pensil, kalau beli makan, hem.. mungkin mereka cukup nasi jinggo sebungkus saban siang dan malam.
Dengan pikiran absurd bin abstrak, nasib anak kos kadang bisa sama dengan Negara. Kadang Negara yang kaya seperti negera kita (sombong dikitlah), juga kerap mengalami hiruk pikuk perekonomian di bidang mikro maupun makro (sok tahu!). Ini juga karena mungkin Negara tak menerapkan dalil perekonomian anak kos: “Yang diperlukan/penting yang harus dibeli, kalau tidak penting jangan dibeli!”
Jika tak boleh dibilang sama, Negara dan anak kos memang ada kemiripan sedikit (biarpun sedikit tapi ada pepatah mengatakan sedikit-sedikit menjadi bukit). Miripnya dalam mengatur keuangan. Mengatur uang memang menjadi permasalahan utama, agar tak ada yang namanya gali lubang tutup lubang.
Jika uang diatur sesuai keperluan, sesuai kebutuhan maka aman dan sejahteralah hidup, tapi kalau sesuatu yang tak perlu dibeli, seperti beli pesawat tempur, tank, dan peralatan tempur lainnya lalu meboroskan uang negara tapi tak pernah berperang bukannya memubazirkan uang, dan tak ada gunannya.
Kenapa tak membeli sarana prasarana sekolah? Setidaknya mensubsidi SPP lebih banyak untuk mahasiswa yang perekonomiannya kembang-kempis. Bukankah SDM kita sudah mulai mengerucut makin kecil dan lemah sejalan dengan SDA-nya. Jadi, Negara memang sebaiknya menerapkan dalil perekonomian anak kos kan sudah dijelaskan tadi “Belilah yang perlu, yang tidak perlu atau tak penting dipikir dulu”.
Ah, Negara tentu tak perlu diajari. Karena Negara memiliki kepala Negara, memiliki menteri, lebih-lebih meneteri keuangan dan menteri perekonomian, memiliki gubernur dan pemimpin pada tingkat yang lebih bawah. Nah, anak kos? Mereka sendiri-sendiri, mereka masing-masing, mereka individu-individu. Tapi jika ingin memiliki menteri, setidaknya menteri perenomian, anak kos laki-laki sebaiknya mengangkat pacar sebagai menteri perekonomian. Pacarlah yang mengatur uang yang perlu dan tidak perlu. Jadi, manfaatkanlah pasangan menjadi menteri perekonomian yang mengurus kembang-kempis kehidupan di rumah kos.
Itu tentu tak berlaku bagi anak kos perempuan. Karena jika pacarnya dijadikan menteri perekonomian, jangan-jangan sang pacar akan selalu bilang “Negara sedang defisit anggaran besar-besaran, menimbulkan resesi dan krisis ekonomi berkepanjangan!”:
Eh, ngomong-ngomong, meski anak kos secara absurd bisa dimiripkan dengan Negara, namun tampaknya Negara tak pernah mengurus anak kos. Buktinya di kementerian mana pun tak ada dirjen atau bidang yang mengatur soal anak kos. Di pemerintahan daerah juga tak ada dinas yang mengatur soal nasib anak kos. Ada Dinas Sosial, tapi dinas itu lebih banyak mengurus soal anak miskin dan telantar. Lha, anak kos tak bisa dibilang miskin apalagi telantar.
Yang sedikit berhubungan dengan anak kos adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah alias DPRD dan Dinas Pendapatan Daerah alias Dispenda. Dari berita-berita di media massa, sering terdengar DPRD dan Dispenda di beberapa daerah mengusulkan agar pemilik kos dikenai pajak. Atau mungkin memang sudah ada daerah yang menerapkan usulan tersebut. Alasannya tentu karena kos-kosan bisa disetarakan dengan penginapan seperti vila dan hotel melati.
Lha, hubungannya dengan anak kos apa? Ya, tentu saja, jika pemilik kos dikenai pajak, maka sesungguhnya anak koslah yang bayar pajak setelah tarif kos diterbangkan makin tinggi. (T)