JIKA hobi facebook-an, singgahlah sesekali ke halaman Punk Kwala Ngibur. Bisa kita nikmati komik berbahasa Bali dari tingkat paling kepara sampai sor se-singgih-singgihnya. Tulisan ini bukan hanya ajang promosi, namun 100% benar-benar adalah promosi.
Daripada marah-marah hanya karena modifikasi pakaian adat Bali (yang sesungguhnya sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang) atau memposting gambar anjing yang sekarat di jalanan (yang jika benar ada rasa ingin menolong, semestinya segera dibawa ke rumah sakit hewan terdekat), lebih baik menertawai diri sendiri lewat banyolan-banyolan dalam komik yang disuguhkan. Punk Kwala Ngibur, seperti namanya, membuat yang membaca benar-benar terhibur. Tak hanya menyajikan persoalan yang dialami khas anak Bali, melainkan membuat kita merenung, bagaimana mengembalikan esensi bahasa Bali ke asalnya.
Adalah Wayan Golak, Made Punk, Nyoman Klepon, dan Ketut Nyamprut tokoh utama komik ini. Apa yang mereka alami begitu dekat dengan keseharian kita sebagai anak Bali. Simak saja bagaimana tingkah Nyoman Klepon yang sibuk demo ajegkan budaya Bali, namun saat disuguhi tulisan aksara Bali hanya kijap-kijep tusing ngerti. Pada setiap kesempatan, komik ini tak bertendensi untuk menunjukan usaha Ajeg Bali yang umumnya terjebak pada hal-hal yang bersifat stereotipe dan sloganisme.
Ide yang begitu cair, dari persoalan sampah, pilkada, sampai jomblo ngenes menjadikan pembaca larut dalam alur cerita. Kita tak diajak berpusing seratus keliling berpikir mengajegkan bahasa Bali dengan segala pakem dan persolannya. Yang perlu kita lakukan hanya membaca, cekikikan, dan sesekali mengerutkan dahi sembari mengecek kamus bahasa Bali jika ada kata yang tak dimengerti. Selanjutnya: Gerr! Cekikikan lagi.
Membaca Pang Kwala Ngibur, jadi ingat dengan begitu banyaknya orang yang menyuarakan persoalan terkikisnya bahasa Bali. Namun sayang, sedikit dari mereka yang berhasil membangun nilai-nilai kekinian yang semestinya menjadi bahan segar dalam meracik, meramu, dan memasak menu bahasa Bali untuk dinikmati.
Mengutip para linguis, bahasa itu kan produk budaya. Persoalan kebahasaan merupakan peristiwa alamiah yang tak terikat oleh daya kontrol manusia secara langsung. Menyelesaikan persoalan bahasa harus melihat dulu, adakah persoalan budaya terkandung di dalamnya. Booee, Masa?
Ya, iyalah. Lihat saja kosakata pertanian. Berapa banyak kata tenggala, ngangon, nyau, ngempel yeh, nyuluh lindung, dan sebagainya digunakan dalam kehidupan sehari-hari? Ketika budaya agraris yang berabad-abad telah menjadi mayoritas pekerjaan orang Bali berhasil melahirkan sekaligus melestarikan begitu banyak kosakata yang berkaitan dengan pertanian, kini kata-kata tersebut tak mendapatkan tempat seiring dengan keberadaan sawah yang semakin pudar diparut aspal, hotel, perumahan, dan pertokoan.
Mirisnya, hal ini terjadi bukan hanya pada pertanian saja, melainkan pada hampir semua sektor kebudayaan yang mulai ditinggalkan seiring berubahnya kondisi sosial dan ekonomi masyarakat Bali itu sendiri. Pendek kata, Bahasa Bali ini sudah memasuki masa expired, sudah tak mampu lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Lihat saja mata pelajaran Bahasa Bali di sekolah, masih kekiniankah menggunakan contoh I Made nunu lele, sedang makanan made sehari-hari sudah berganti jadi fried chicken atau cumi bakar saus tiram?
Ditambah lagi dengan upaya pengkultusan bahasa Bali melalui slogan Ajeg Bali yang secara tidak langsung telah menyempitkan pandangan terhadap pengembangan Bahasa Bali itu sendiri. Di tengah arus interkasi antarbudaya yang semakin deras, Ajeg Bali lebih banyak diwacanakan sebagai usaha untuk mempertahankan pakem-pakem Bali yang cenderung feodal dan tidak sesuai dengan zamannya, yang sekaligus membuat bahasa Bali tidak mempunyai fungsi komunikatif lagi di masa kini. Kita terlalu disibukan dengan pakem-pakem, semisal sor singgih yang (mau diakui-mengakui atau tidak) membuat anak-anak menjadi apatis dengan Bahasa Bali.
Hal-hal yang dibutuhkan dalam pelestarian Bahasa Bali saat ini sebenarnya bukanlah kekalutan pemikiran tentang Ajeg Bali yang diperlihatkan melalui saput poleng, udeng, ukiran bali dan hal tenget lainnya. Melainkan, bagaimana membuat bahasa Bali menjadi brand yang mempunyai prestise bagi masyarakat penggunanya. Dalam konteks ini, Pang Kwala Ngibur telah memberi warna lain dalam memperjuangkan bahasa Bali. Tak lagi menjadikan Bahasa Bali sekadar objek penderita yang diulas sebagai berita di media sosial tentang betapa rapuh, lemah, lunglai dan lesunya ia.
Melalui komik ini, Bahasa Bali telah bertransformasi menjadi subjek yang begitu kuat. Yang mampu bicara tentang segala hal. Alih-alih mengasihaninya, malah kitalah yang jadi membutuhkannya.
Apa yang dilakukan oleh Punk Kwala Ngibur, sejatinya membawa kita pada usaha serupa yang dilakukan oleh Jepang. Sebagai negara maju yang tetap berpegang teguh pada budayanya, usaha mengonstruksi rasa memiliki terhadap budayanya bukanlah sebatas yel-yel Ajeg Jepang saja. Dalam hal ini, komik, film, dan media pertunjukan menjadi wabah yang disuntikan ke segala penjuru dunia.
Lihat saja toko-toko buku terdekat di kota anda, setiap hari ada saja komik Jepang yang diproduksi. Pun ada saja komik yang terbeli. Di dunia maya, film-film dengan bahasa, lelucon, budaya khas Jepang berceceran seperti status facebook. Inipun menjadikan kita lebih dekat dengan mereka. Jika tak percaya, cobalah tanya anak di rumah, mana yang lebih dikenalnya, Panglima Besar Bali Kebo Iwa ataukah Miyamoto Mushasi seorang samurai yang sering diadaptasi ke berbagai cerita Jepang mulai dari novel, film, hingga komik.
Sebab Bahasa Bali sudah terlampau tua jika dibandingkan dengan hidup manusia Bali. Ia sudah hidup jauh sebelum Dang Hyang Nirartha diteteki susu oleh biangnya. Sudah tahu mana yang baik, mana yang benar. Sudah saatnya bahasa Bali diletakkan dalam berbagai sektor kekinian. Jangan cuma ditempatkan untuk bicara tentang ke-Bali-an saja. Apang sing jelemane gen ane sok kekinian, biarkan pula bahasa Bali ikut berpartisipasi dalam setiap trend yang ada.
Tak usah protes jika bahasa Bali masuk dalam ranah ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan sex sebagaimana yang diceritakan dalam Punk Kwala Ngibur. Mungkin saja ia lebih bahagia ditempatkan di facebook, instagram, komik, baju, bahkan bra sekalipun. Ketimbang difungsikan serupa Tapakan Ida Bethara, yang disineb dan disungsung kembali setiap datang odalan. (T)
Singaraja, 2016