Bahasa menunjukkan bangsa. Itu peribahasa yang akrab saya dengar di Sekolah Dasar dulu yang bertahun-tahun kemudian saya amini kebenarannya. Kultur sebuah bangsa, seturut makna peribahasa tadi, berbanding lurus dengan ekspresi komunal warganya dalam berkomunikasi melalui media ungkap, yakni bahasa. Berbahasa konon proses pergulatan diri. Bahkan pada tataran tertentu, merupakan bagian dari sejarah pertikaian dan dominasi yang disebabkan oleh latar belakang pendidikan, relasi sosial budaya, emosi hingga konstruksi berpikir penuturnya.
Sebuah risalah menyebut, kekayaan kosa kata kita yang efektif kita gunakan baru sekitar 30 persen. Sebagai konten pendidikan maupun perangkat bertutur sehari-hari. Tujuh puluh persen sisanya tersimpan rapi di indeks-indeks kamus, sebagian tersembunyi sebagai khasanah literasi masa lampau maupaun manuskrip kuno yang oleh kendala tertentu tidak mungkin atau malas kita baca.
Bahasa bersifat arbitrer yang bermakna tidak tetap alias mana suka. Seakan membenarkan dalil tadi, timbullah upaya pintas semisal menyerap, memadankan unsur lain masuk ke dalam bahasa sendiri. Menyebut beberapa contoh, kita lebih sering mendengar sorry dalam meminta maaf ketimbang kata ‘maaf’ itu sendiri. Kita memilih kata madani (dari bahasa Arab) untuk menggantikan kata sipil , dekade menggantikan dasawarsa, komplain menggantikan keluhan dan banyak contoh lagi.
Di tengah upaya menyerap tadi, yang menarik dicermati adalah keseruan pergulatan psikis penuturnya. Pergulatan yang saya maksud adalah bagaimana si penutur menyiasati, menemukan rumusan tepat, memilih-milih, berupaya maksimal memenangi ‘perang’ yang berlangsung di wilayah linguistik jangkauannya. Hasilnya kemudian terbaca di beragam ungkapan sehari-hari penuturnya dalam konteks memfungsikan bahasa sebagai media penyampai.
Di desa saya, desa pertanian di pelosok di Bali utara yang sejak awal 1990-an mulai mengenyam pariwisata, belakangan, sebagian besar warganya mulai fasih mengucapkan breakfast sebagai pengganti kata mesampel (bahasa Bali). Dua kata yang sama-sama berarti sarapan, hanya berbeda era, berlainan rasa ketika mengucapkannya. Menyebut mesampel mulai terasa ketinggalan, udik. Kata ini pun ‘tahu diri’ dengan menghilang pelan-pelan sebagaimana alur kematian sejumlah kosa kata kita lainnya.
Bahwa urusan berbahasa acap kali membuat kita gagap, iya. Dari seorang kawan baik yang bekerja sebagai pemandu wisata, saya beroleh cerita bagaimana beberapa kosakata – dengan cara unik – dipadankan. Dengan enteng kawan saya menyebut buah nangka sebagai jackfruit, belimbing sebagai starfruit, salak sebagai snakefruit.
Saya tidak bermaksud berumit-rumit soal etimologi, hanya menyimpan penasaran dalam hati. Ketika buah nangka, belimbing dan salak dipaksakan dibuat padanannya, maknanya menjadi bergeser. Tidak lagi otentik sebagai kata yang menyandang ruh bahwa ketiganya merupakan buah yang identik dengan sebuah kondisi alam yang khas, dengan bentang tamasya yang khas pula, yakni alam tropis sebagai habitat tumbuh ketiganya.
Belum lagi imajinasi tambahan yang kita bebankan ke benak mereka. Manakala para wisatawan mengunyah buah belimbing, misalnya, tidak bisa tidak mereka ‘menggambar’ bintang di kepala masing-masing, atau membayangkan sisik ular untuk sebiji buah salak. Hemat saya (ini dari sudut saya saja, Anda berhak tidak setuju), para turis idealnya kita perkaya dengan khasanah kosakata kita sebagai negara tujuan wisata sebagaimana kita juga banyak diperkaya oleh kosakata mereka. Kita tidak mau bersusah-susah mencari padanan buat kata pizza, steak atau hamburger, bukan? Sejauh ini kita manut dan dengan senang hati tetap menyebut hamburger sebagai hamburger, pizza sebagai pizza, steak sebagai steak.
Seandainya tren memadankan itu kebablasan, akan tiba waktunya kita mesti bersusah-payah menemukan padanan untuk batik, gamelan, keris, kolintang, sasando, reog dan seterusnya.
Lalu adakah pemadanan-pemadanan tadi untuk tujuan kepraktisan berbahasa semata? Saya tidak yakin. Jangan-jangan itu cermin kerendahdirian, pengabaian terhadap kekayaan bahasa sendiri dan, yang menyedihkan : kita menempatkan diri sebagai hamba sahaya dalam relasi komunikasi yang kita bangun. (T)