3 March 2021
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Register
No Result
View All Result
tatkala.co
tatkala.co
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result
Home Esai
Ilustrasi: Dek Omo

Ilustrasi: Dek Omo

Bagi Seniman Muda, Mana Pertanyaan Bikin Galau, “Dija Megae” atau “Apa Gae”?

Wayan Sumahardika by Wayan Sumahardika
March 19, 2019
in Esai
126
SHARES

Setiap bertemu orang yang bertanya, “Sudah kerja? Kerja di mana sekarang?” Saya kesal. Selalu kesal. Bukan lantaran karena tak punya pekerjaan. Namun betapa bingung mesti dengan apa menanggapi pertanyaan ini.

Bagaimana sebaiknya memberikan jawaban yang pas pada si mpunya tanya. Jika kita pemain teater misalnya, bisakah menjawab dari panggung ke panggung? Tentu. Sah-sah saja sebenarnya memberikan jawaban.

Namun harus hati-hati juga. Sebab jawaban yang terlontar bisa jadi nyeleneh kedengaran apalagi buat mereka yang berjarak dengan dunia panggung. Nanti dikiranya kita terlalu mendramatisir pekerjaan, terlalu sok teater, sampai-sampai istilah perteateran pun dibawa kemana-mana.

Jika menjawab dengan nama panggung, juga kurang sreg rasanya. Di sini hampir-hampir tak ada yang bisa disebut panggung teater. Jikapun ada, paling cuma panggung-panggungan yang lebih banyak dijadikan tempat mabuk dan gaya-gayaan ketimbang pementasan itu sendiri. Tak ada tempat yang benar-benar bisa dijadikan identitas. Sebuah brand layaknya Broadway di Amerika yang ketika mendengar namanya saja sudah membuat orang-orang takjub.

Boleh dikata, inilah pertanyaan paling sulit bin ajaib bagi mereka yang bekerja tanpa tempat kerja yang jelas. Senasib dengan pengangguran, namun jauh lebih sibuk dibandingkan kapal pesiar yang (katanya) hanya tidur 2 jam dalam sehari. Seakan waktu 24 jam begitu sempit.

Banyak kegiatan yang mesti dilakukan. Berteater misalnya, selalu (sok) sibuk dengan urusan diskusi, jadi juri, bedah buku, nonton pementasan, latihan, buat setting, dan menggali dana. Itupun tak dihitung dengan waktu makan, ngopi, dan tidur yang sehat, sebab mana bisa berteater kalau tubuh tidak sehat, bukan?

Plus jangan lupa dengan saat tebar pesona pada anak-anak SMA yang baru ikut bergabung. Menceramahi mereka, mengajarkan betapa teater begitu menghidupkan kita sebagai manusia, walaupun kenyataannya tanpa teaterpun sebenarnya hidup tetap aman-aman saja, kok. Kita masih bisa makan lalapan, minum cola, berceloteh di angkringan, bahkan lebih punya banyak waktu buat care sama pacar.

Keadaan ini begitu terbalik dengan kawan-kawan di kantor, sekolah, hotel, rumah sakit, bank, dan sebagainya. Bagai langit dengan bumi, bagai otak dengan pantat. Masih mending seorang miskin yang tak punya tempat tinggal. Setidaknya kan ada saja yang mengasihani mereka karena keterbatasannya. Sedangkan teater, penyair, film, komposer, serta pekerjaan yang (lagi-lagi) tak punya tempat kerja lainnya?

Oh, saudara-saudara. Jangan salah kaprah. Ini bukanlah pekerjaan bagi orang-orang dengan kemampuan sembarang dan terbatas. Ini adalah pekerjaan yang mengharuskan kita melewati batas ruang, waktu, dan keadaan apapun. Tak ada yang mampu membatasinya. Bahkan Tuhan, pun tak bisa! Tak ada yang bisa. Kecuali orang tua kita yang kelak bertanya, dija cai lakar megae nyanan?

Betapa ironis memang. Namun apa boleh dikata. Inilah Bali yang sehari-hari tak pernah hirau soal pekerjaan. Masih teringat jelas bayangan kanak saat kumpi, pekak, iwa menyeruput kopi pagi hari sembari menikmati jaja lungsuran odalan malam kemarin. Begitu damai. Begitu santainya.

Tegalan dan carik hanyalah sepetak taman hias pengisi waktu senggang. Sedang sisa waktu lain dihabiskan dengan meyadnya dan menyama braya. Tak khayal begitu banyak pertanyaan semacam kija to? bertebaran setiap berpapasan dengan masyarakat sehari-hari. Penanda tempat dalam hal ini menjadi pemahbah untuk menjelaskan keberadaan seseorang, bahkan sudah jadi keterangan ganti penanda kerja.

Saat lawan bicara mengatakan ka carik, konteks pekerjaan pasti tertuju pada bertani, begitu seterusnya. Sampai kini, tempat kerja menjadi semacam prestise terhadap tingkat status sosial masyarakatnya.

Jika boleh jujur, pekerjaan tanpa punya tempat kerja pun sebenarnya tak kalah berprestisenya. Malahan membuat kita kaya segalanya. Kaya waktu, kaya tenaga, kaya pikiran, kaya hati, kaya akal dan kaya-kaya lainnya.

Bayangkan saja, bagaimana bisa membuat pementasan kalau tak punya banyak waktu, tenaga, pikiran, dan hati sementara kul-kul desa sudah sedari tadi memanggil buat ngayah di pura, istri minta dikeloni, si sulung minta bayar uang sekolah, si bungsu minta susu, ayah ibu yang sudah sakit-sakitan minta diurus, tagihan listrik, pulsa, air berdatangan, belum lagi mengurusi sanak saudara yang berebut tanah warisan, ditambah orang-orang yang datang mencekoki kita dengan nasihat, Kel kene gen gaen cai nganti tua? Apa kel baang cai panake nyanan? Puisi? Naskah drama?

Alamaaakk… Bagaimana bisa dapat inspirasi coba? Boro-boro inspirasi, mahasiswa saja ada yang gantung diri hanya karena skripsi. Sedang kita? Tetap terlihat bahagia dengan segala kekayaan yang kita punya. Saking bahagia karena kayanya, sampai-sampai dianggap orang gila yang seolah tak pernah mengurusi dan memikirkan apapun.

Padahal nyatanya, inilah pekerjaan paling sibuk, paling intelek dengan tingkat kecerdasan Einstein dan emosi Budha Rulai tentang eksistensialisme manusia terhadap Tuhan dan segala kehidupannya dalam dunia yang serba absurd nan fana (boooeeeeee). Lalu kurang luar biasa apalagi pekerjaan ini?

Kalau ditanya soal materi, cobalah pikir, mana bisa membuat pementasan teater yang notabene menghabiskan dana paling sedikit 20 juta? Lihat juga produksi gong kebyar saat PKB yang pengeluaran per-kabupatennya bisa sampai 400 ratus juta! Belum lagi acara-acara adat yang digelar hampir setiap saat.

Hanya orang kaya dengan mentalitas Tong Sam Cong yang mampu memanajemen pemasukan begitu banyaknya, menjadikan kosong adalah berisi, berisi adalah kosong. Tak percaya? Bolehlah tanya pada sanggar-sanggar di Bali dari A sampai Z. Tak usah diragukan. Mereka sudah biasa bolak-balik luar negeri untuk acara pentas.

Bisa bandingkan dengan ormas-ormas di media masa yang saling gontok-gontokan memperebutkan lahan. Terang sajalah. Sebagaimana sedalam-dalam sajak Sutardji yang takan mampu menampung air mata bangsa, Pulau Bali yang cuma seuprit jelas tak mungkin mampu menyediakan tempat kerja bagi penduduk yang jumlahnya kian bertambah dari tahun ke tahun.

Daripada berkoar mengusir pendatang, menjadikan kita masyarakat yang rasis, mending kita setujui saja Reklamasi Telok Benoa. Bila perlu, langsung saja satukan sampai Sulawesi, Kalimantan, Papua. Lumayan kan, hitung-hitung mengembangkan destinasi pariwisata sekaligus menambah lapangan kerja orang Bali sebagai tukang parkir, cleaning service, dan office boy.

Sungguh bukan maksud saya membandingkan pekerjaan. Perkara ini bukanlah tentang apa dan dimana kita bekerja. Melainkan bagaimana mesti berjuang dan percaya dengan pekerjaan yang ditekuni. Meluapnya kebutuhan manusia telah melahirkan berjibun jenis pekerjaan. Dengan bermacam tawaran dan kompleksitasnya, ruang, waktu, dan keadaan suatu jenis pekerjaan seolah mengalami distorsi yang tak mampu lagi menunjukan tingkatan status sosial seseorang.

Pun sebenarnya tak cukup diwakilkan hanya dengan pertanyaan, dija megae jani. Namun sungguh terlalu, saat semesta menyodorkan banyak hal yang semestinya bisa dikerjakan, tetap saja ada nyama Bali yang semasa muda jadi pelukis, kini bekerja di hotel atau pesiar. 

Pula anak-anak yang dilarang orang tuanya saat ingin kuliah kerawitan hanya karena alasan, dija cai lakar megae nyanan? Jika ada orang Bali yang masih berpikir demikian, perlu kiranya sesekali diajak piknik ke jaba pura, mendengarkan banyolan para rare yang sibuk menertawai diri mereka sendiri sambil berkata, “Yen onyang sibuk ngalih tongos megae, nyen ane lakar dadi bosne?” (T)

 

Tags: baliDunia KerjaReklamasiTeater
Wayan Sumahardika

Wayan Sumahardika

Sutradara Teater Kalangan (dulu bernama Teater Tebu Tuh). Bergaul dan mengikuti proses menulis di Komunitas Mahima dan kini tercatat sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Pasca Sarjana Undiksha, Singaraja.

MEDIA SOSIAL

  • 3.5k Fans
  • 41 Followers
  • 1.5k Followers

ADVERTISEMENT

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Features
  • Fiction
  • Poetry
Essay

Towards Success: Re-evaluating the Ecological Development in Indonesia in the Era of Anthropocene

Indonesia has long been an active participant of the environmental policy formation and promotion. Ever since 1970, as Dr Emil...

by Etheldreda E.L.T Wongkar
January 18, 2021

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Ilustrasi diolah dari gambar Google
Cerpen

Bagaimana Surat Pertama Ditulis | Cerpen Rudyard Kipling

by Juli Sastrawan
March 3, 2021
Pentas Kontur di Undiksha, 2014. /Foto: Kardian Narayana
Esai

Cinta Bersemi di Kontur – Nostalgia Kecil dari Undiksha Singaraja

  KONTUR alias Komunitas Puntung Rokok barangkali bukanlah komunitas teater terbaik di Bali Utara, sebuah wilayah dengan orang-orang hebat dalam ...

February 2, 2018
Acara

Solidaritas Senja #1 – Merajut Solidaritas, Membuka Perbincangan

Hari-hari belakanngan begitu panas, selain akibat hujan yang tak kunjung turun juga karena tiba-tiba DPR periode 2014-2019 begitu bersemangat ingin ...

October 8, 2019
Foto: Ditha
Opini

Tentang Indonesia Raya – (Mestinya) Bukan “Di Sana”, tapi “Di Sinilah Aku Berdiri”

Indonesia tanah airku Tanah tumpah darahku Di sanalah aku berdiri Jadi pandu ibuku ……. TIAP kali menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia ...

February 2, 2018
Opini

Tahun Baru: Tak Ada Resolusi, Hiduplah Dengan Spontan!

  BULAN Desember sebentar lagi berlalu dan tahun baru segera tiba. Di sebuah grup WA seorang kerabat mengirim tulisan tentang ...

February 2, 2018
Mursal Buyung
Esai

Mursal Buyung, Dosen Antik-Nyentrik: Tak Ada Spidol, Ia Mencoret Tembok Kelas

  DI kalangan mahasiswa dan dosen Undiksha Singaraja, khususnya Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), pastilah tidak asing dengan sosok eksentrik ...

February 2, 2018

PERISTIWA

  • All
  • Peristiwa
  • Kilas
  • Khas
  • Perjalanan
  • Persona
  • Acara
Jro Alap Wayan Sidiana memanjat pohon kelapa di Desa Les, Buleleng
Khas

Jro Alap, Kemuliaan Tukang Panjat Kelapa di Desa Les

by Nyoman Nadiana
March 2, 2021

ESAI

  • All
  • Esai
  • Opini
  • Kiat
  • Ulasan
Esai

12 Makna | 12 Bulan Covid-19

by Putu Arya Nugraha
March 3, 2021

POPULER

Foto: koleksi penulis

Kisah “Semaya Pati” dari Payangan Gianyar: Cinta Setia hingga Maut Menjemput

February 2, 2018
Istimewa

Tradisi Eka Brata (Amati Lelungan) Akan Melindungi Bali dari Covid-19 – [Petunjuk Pustaka Lontar Warisan Majapahit]

March 26, 2020

tatkala.co mengembangkan jurnalisme warga dan jurnalisme sastra. Berbagi informasi, cerita dan pemikiran dengan sukacita.

KATEGORI

Acara (67) Cerpen (157) Dongeng (11) Esai (1419) Essay (7) Features (5) Fiction (3) Fiksi (2) Hard News (10) Khas (343) Kiat (19) Kilas (196) Opini (479) Peristiwa (83) Perjalanan (53) Persona (9) Poetry (5) Puisi (103) Ulasan (337)

MEDIA SOSIAL

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Peristiwa
    • Kilas
    • Khas
    • Perjalanan
    • Persona
    • Acara
  • Esai
    • Opini
    • Ulasan
    • Kiat
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Hard News
  • Penulis
  • Login
  • Sign Up

Copyright © 2018,BalikuCreative - Premium WordPress.

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms below to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In