Bali memahami konflik dengan sangat bijaksana. Ia adalah konsep rwa binedha, pertentangan yang menjadi satu, pertentangan yang melahirkan dinamika dan keberlangsungan hidup.
Ada ruang yang cukup luas untuk memberi tempat bagi sebuah konflik. Siang dan malam adalah konflik yang mengajarkan bahwa hidup tidak melulu jaga. Ada saatnya mata ditutup, batin dilemaskan, otak diistirahatkan. Tubuh memahami konflik siang-malam ini dengan sangat bijaksana: peralihan berjalan gradual melalui siang, sore, senja, malam, pagi … Tubuh mengikuti perubahan gradual itu dengan tenang, damai, dan ekstatif. Konflik itu pun menjadi sebuah keniscayaan dan mendatangkan mala petaka bila dicoba disingkirkan.
Konflik dan kehidupan adalah cair pada air, manis pada gula, dan bulat pada bumi. Konflik adalah bagian dari jiwa setiap orang: ada kebajikan dan ada keangkaramurkaan. Tapi kita acap memahaminya hanya dalam dua kutub ekstremnya. Rwa binedha, memang, hanya memberi batas pada ujung. Namun di antara batas itu ada warna-warna yang tak terhingga jumlahnya. Tak seorang pun mampu memberi ukuran pada kebajikan dan keangkaramurkaan secara absolut. Di lingkungan bandit ada orang yang disebut alim, tapi bila orang ini berpindah tempat ke lingkungan biara, misalnya, dia akan menjadi kantong sampah yang paling kotor.
Konflik acap kali kita pahami hanya sebatas perkelahian massa dua banjar. Konflik sering hanya kita pandang sebagai pertentangan panas dua kubu. Kita jarang melihat konflik sebagai sebuah proses panjang perjalanan sebuah masyarakat, bahkan perjalanan seorang individu. Proses itu sangat alami. Alamiah. Tak seorang presiden pun mampu menghentikan proses itu kecuali mempercepatnya menjadi sebuah ledakan. Inilah bahaya rekayasa sosial-budaya —apa pun bentuknya.
Masyarakat Bali sedang berada dalam proses itu. Pada mulanya, seperti digambarkan sangat indah oleh Clifford Geertz dalam buku ”Involusi Pertanian”, masyarakat Bali bergerak sangat involutif, bergerak ke dalam, bergerak ke arah ”pencanggihan” diri dan komunalnya. Lukisan-lukisan tradisional Bali sangat nyata menggambarkan hal itu. Garis-garis lukisan tradisional Bali kian lama kian merumit, kian ke dalam, dan kian menyempit. Involusi inilah yang melahirkan ungkapan-ungkapan semacam de ngaden awak bisa, koh ngomong, dan semacamnya. Masyarakat Bali, dulu, merasa sangat secure berada dalam kondisi involutif itu karena para dewa berada di sekitar mereka, siap melindungi mereka, dan cukup hidup hanya dari tanah, air, udara, dan api yang ada di sekitar mereka. Bali tidak membutuhkan ”perluasan garis” karena pikiran dan manah mereka tak jauh-jauh menuntut lebih dari apa yang disediakan alam sekitarnya.
Lalu perubahan pun muncul. Pariwisata melemparkan ketentraman ala budaya agraris masyarakat Bali jauh ke budaya industri tingkat II (industri jasa). Sangat sedikit sebuah masyarakat mengalami lompatan budaya begitu jauh.
Mudah dipahami kalau kemudian muncul kegamangan luar biasa. Masyarakat Bali tiba-tiba harus berhadapan dengan konflik yang sangat luar biasa: kaki kanan sudah harus melompat jauh, sementara kaki kiri masih belum bisa meninggalkan peninggalan budaya masa lalu. Kita, masyarakat Bali, tidak sempat melakukan perubahan batin ketika tiba-tiba harus berdesakan tinggal di petak-petak sempit di tengah kota, bahkan untuk membangun sanggah pun kebingungan. Kita, masyarakat Bali, tidak sempat menata batin ketika tiba-tiba harus berhadapan dengan kehadiran budaya materialistik yang serba agresif dan cenderung menguasai.
Persoalannya bukan sebatas kalimat sederhana ”budaya modern cenderung individual dan budaya Bali lebih bersifat komunal.” Tidak. Masalah yang ”terlibat” di dalamnya jauh lebih rumit ketimbang pandangan ujung-pangkal dan barat-timur seperti itu. Ada keinginan untuk berubah pada semua orang. Itulah sebabnya manusia mati dan kehidupan dijalankan oleh generasi selanjutnya. Pergantian generasi akan menghadirkan perubahan pandangan dan tuntutan budaya. Siapa pun yang berusaha menghentikan perubahan itu haruslah mampu mempertahankan umur manusia sepanjang zaman dan menghentikan proses regenerasi. Inilah kesia-siaan yang acap kita perbuat dengan dalih melestarikan budaya, mewariskan budaya kepada anak cucu, dan seterusnya.
Konflik pastilah mengiringi setiap perubahan. Tak perlu dicemaskan. Sebab konflik akan kian membesar bila perubahan itu kita hentikan. Masalah yang harus kita pikirkan adalah bagaimana membuat konflik menjadi benar-benar rwa binedha, yakni konflik yang menyehatkan, konflik yang membuat kita tidur di malam hari dan jaga di siang hari dengan sepenuhnya diamini oleh tubuh. Konflik akan menjadi carut-marut tak terkendali, akan menjadi sangat menyakitkan, bila di saat matahari tenggelam kita mencoba tetap menghadirkan siang hanya karena kita beranggapan sianglah saat yang terbaik dan kita butuhkan kehadirannya setiap saat.
Bali sedang berada dalam perjalanan budaya menuju pagi berikutnya. Jangan dihentikan, jangan paksakan tetap siang atau tetap malam. Bali sedang menuju budaya industri tingkat II, jangan dicemaskan. Kita akan melaluinya dengan tetap bernafas Bali, dengan tetap berhati Bali, walaupun mungkin akan berubah warna.
Ini keniscayaan. (T)