Kematian mungkin menakutkan bagi sebagian besar orang, tapi bagi tidak bagi yang lain. Terutama bagi orang-orang yang telah sangat memahami roh. Konon bagi orang yang seperti itu kematian tak ubahnya seperti pindah rumah, meninggalkan rumah lama untuk kemudian tinggal di rumah yang baru.
Kalau benar kematian tak ubahnya pindah rumahnya jiwa ke rumah jiwa yang baru, maka tentu saja rumah baru ini diharapkan lebih baik, lebih menyenangkan dan membahagiakan. Selain itu, seperti layaknya orang yang pindah rumah, semestinya dilakukan dengan penuh semangat dan rasa bahagia. Tapi, rasa-rasanya sangat jarang di jaman ini, kita menyaksikan bahkan mendengar semangat dan kesumbringahan seseorang yang akan mati.
Yang sering kita lihat, dengar dan tahu bahwa kebanyakan orang seperti tidak nyaman untuk menuju kematian. Banyak yang menunda dengan berbagai cara dan alasan dan bila perlu menolaknya. Ya banyak yang tetap ingin menjadikan dunia nyata ini sebagai rumah bagi jiwanya. Keinginan ini tidak salah, karena kita sebagai manusia memang tidak banyak yang memahami bagaimana caranya untuk memindahkan jiwa dari rumah ini ke rumah yang lain.
Selain itu, kitapun banyak yang tidak tahu dan tidak mengenali jiwa yang ada dalam diri sendiri. Saking tidak kenalnya, bahkan ada diantara kita yang merasa bangga saat ada jiwa-jiwa lain yang bertamu, bahkan kita dengan senang hati mengundangnya untuk hadir.
Di rumah jiwa kita, dalam badan yang hidup dalam alam yang sering disebut bumi, kita juga hidup bersama dengan orang-orang berpengetahuan dan suci, yang konon sangat paham hal ikwal tentang jiwa. Di Bali, orang-orang suci ini dipercaya mempunyai kemampuan untuk mengantarkan jiwa si mati agar sampai ke rumahnya yang baru, atau paling tidak mengantarkan jiwa si mati agar tak tersesat di jalan.
Terkait dengan kematian dan jiwa, saya jadi ingat cerita seorang teman yang kebetulan dianugrahi penglihatan menembus alam yang lain. Dalam penglihatannya, ketika neneknya meninggal, jiwa si nenek konon berkumpul di sebuah tempat yang serupa pura lengkap dengan tempat seperti pasraman dengan stratifikasi sosial yang jelas.
Selain melakukan pekerjaan biasa seperti saat hidup di dunia, jiwa-jiwa si mati tersebut juga diberikan pelajaran tentang aksara bali. Makin menguasai aksara Bali, konon makin tinggilah kelas dan status yang bersangkutan. Sampai di sini saya protes, merasa cemburu dengan teman-teman yang tamatan sastra Bali dan Jawa Kuna dan penekun lontar yang tentu saja lebih menguasai aksara Bali. Tentu saja protes saya tidak ditanggapi teman saya yang bisa melihat, tapi hati dan pikiran sayalah yang dengan aktif mencari jawaban-jawabannya.
Akhirnya untuk sementara saya merasa menemukan hubungan kelas dengan penguasaan aksara Bali terkait dengan penggunaan kajang pada saat upacara pengabenan. Mungkin kajang yang bertuliskan aksara Bali itu berfungsi sebagai kunci energi sebuah ruang tertentu di alam sana. Peningkatan kemampuan dalam aksara Bali, mungkin secara otomatis mengubah struktur kunci energi, yang terhubungan dengan kelas ruang tertentu.
Sampai di sana saya merasa sungguh kagum kepada penemu teknik sistem kajang, dengan jenis aksara Bali tertentu mampu menuntun jiwa ke sebuah tempat agar tak liar dan bergentayangan. Tapi pertanyaannya adalah bagaimana jika seseorang yang mati itu ingin ke tempat lain, ke tempat yang tanpa sekat dan tanpa kelas? Bisakah kajang itu mengantarnya ke tujuan?
Sepertinya tidak. Seperti layaknya sebuah perusahan deplover yang menjual villa, maka kunci yang diberikan hanya berlaku untuk ruang-ruang villa milik perusahan itu, yang disesuaikan dengan harga yang dibayar oleh pembeli. Dan sebagai pembeli, ia hanya berhak atas villa sesuai dengan aturan pengembang.
Dan pembeli tetaplah pembeli, pemilik hanya satu villa, termasuk juga keluarga dan keturunannya, sedangkan pengembang akan tetap menjadi pengembang, juga keluarga dan keturunannya. Siklus itu akan tetap berulang dan berulang, kecuali ada pembeli yang sangat kaya dan cerdas sehingga dengan penuh perjuangan akhirnya bisa menjadi pengembang.
Kenapa kajang yang bertuliskan aksara tertentu, bisa menuntun atau mempengaruhi jiwa? Adakah cara membebaskan jiwa dari kajang, dari aksara dan dari pesona para pengembang?
Jawabnya karena kajang, adalah aksara, yang juga adalah bentuk, yang ditemukan oleh kecerdasan pikiran, dipelihara oleh tradisi. Bentuk dan kecerdasan pikiran adalah kualitas atau lapis 4 dalam proses penciptaan. Dalam patanjali rajayoga dijelaskan tentang proses penciptaan dunia, yang pada prinsifnya menjelaskan tentang lapis-lapis kemurnian dalam penciptaan.
Yang paling prinsip dan murni adalah ratri atau kegelapan kosmik, tempat brahma dan atman berstana bersama yang disebut herdya yang ada di ulu hati, pada kedalaman jiwa. Lapis kedua ditempati oleh nafas, lapis ketiga yang merupakan pengembangan dari nafas dari sesuatu yang hidup adalah indria, yang menciptakan sentuhan, bentuk, warna, cahaya, suara, dan bau.
Dari bentuk tercipta aksara, dari suara tercipta mantra. Kajang adalah turunan dari kemurnian bentuk dan suara, maka yang bisa dipakai untuk menerobos kepekatan sebuah energi adalah energi yang setara, sehingga bisa membentuk perusahan deplover baru, atau dengan energi yang lebih murni darinya, bisa energi lapis 3 atau syukur-syukur lapia 2 atau 1.
Usaha ini tentu saja bisa dilakukan bagi orang-orang yang ingin bebas mencari rumah baru bagi jiwanya. Rumah-rumah baru yang membebaskan, bukan yang mengantarkan pada siklus dan berulang dan berulang lagi. [T]