Hari itu, 7 Februari 2019, tepat ketika kuhabiskan waktu liburan semesterku di kampung halaman, aku melanjutkan perjalananku kembali ke rantauku untuk kembali menimba ilmu.
Menimba ilmu? Iya menimba ilmulah aku mengatakannya. Kenapa harus menimba imu? Iya karena memang itulah tujuanku ke tempat rantauku ini di Kota Singaraja, Bali. Tentu dengan membawa amanah dari Emak.
Kampung halamanku di Pulau Sepanjang, salah satu pulau di Kepulauan Kangean, Madura. Kampungku berada di wilayah Jawa Timur. Tapi jika ditarik garis lurus melewati laut, kampungku sebenarnya lebih dekat dengan Kabupaten Buleleng, Pulau Bali.
Meski dikata paling dekat, namun untuk menuju ke Singaraja di Kabupaten Buleleng di Pulau Bali juga tidaklah dekat-dekat amat. Ada tiga jalur menuju Singaraja. Semuanya lewat laut.
Jalur pertama, lewat Jawa. Rutenya, menyeberang dulu ke wilayah kecamatan, Kecamatan Sapeken, selama 2 jam dari pulauku. Wialayah kecamatan itu beda pulau dengan pulau tempatku tinggal. Dari situ dilanjutkan naik kapal perintis selama 10-13 jam ke Jawa, tempatnya berlabuh di Banyuwangi. Sampai di Banyuwangi baru menyeberang ke Bali lewat Ketapang. Jalur ini sangat memakan banyak waktu, sehingga sampai bisa menempuh 3 hari perjalanan.
Jalur yang kedua yaitu naik perahu. Naik perahu itu tidak langsung naik dari pulau Kangean, tetapi harus menyebrang dulu ke kecamatan. Dari kecamatan itu baru dilanjut ke perjalanan selama sekitar 10 jam naik perahu ke Singaraja. Jadi perjalanan ini agak efisien jika di bandingkan perjalanan lewat jalur Jawa.
Dan jalur ketiga, ditempuh langsung naik perahu dari pulauku, tetapi beda desa. Dari situ menuju Singaraja. Waktunya paling ringkas selama 10 jam perjalanan. Nah, aku biasanya melewati jalur ketiga ini.
Aku kuliah di kampus Undiksha Singaraja. Jika teman lain ada yang pulang kampung setiap seminggu sekali, atau sebulan sekali, aku harus rela pulang kampung setiap libur semester.
Awal tahun 2019 ini, usai libur semester, aku balik ke Singaraja. Balik ke kampus, menuntut ilmu. Ketika itu, jam 5 subuh tepat, aku biasa bangun. Kali itu ibu yang memenggal mimpiku. Aku dibangunkan ibu karena aku harus mempersiapkan diri melanjutkan perjalanan hidup untuk kembali ke Bumi Panji Sakti,
Perjalanan hidup? Iya inilah yang menjadi kisah kali ini sekaligus saksi seorang anak muda menapaki jejak dalam perjalanan laut.
Perjalanan itu mungkin begitu-begitu saja. Yang membedakan dengan kawan-kawanku anak rantau pada umumnya mungkin moda transportasi. Mereka mungkin menumpang mobil, atau naik motor. Tidak dengan perjalananku,
Perjalanan kali ini menggunakan sebuah perahu nelayan yang kurang lebih berukuran 2 x 15 meter dengan menghabiskan waktu 10 jam kurang lebih,
“Wow bagaimana kecilnya perahu yang aku tumpangi itu?” tanya salah seorang teman.
Iya itulah kendaraan yang kelak akan menjadi saksi perjalananku ketika sidang di kehidupan selanjutnya menghadap sang khaliq.
Diantar Ibu
Aku kali ini di antar oleh ibu ke pelabuhan tempat perahu-perahu itu, yang akan berlayar membawa ikan-ikan hasil tangkapan nelayan menuju kota Singa Ambara Raja.
Dari rumah, setelah ibu membangunkanku, aku mempersiapkan diri. Ibu mengantarku dengan menggunakan motor ke pelabuhan desa yang memakan waktu sekitar 2 jam dengan jarak tempuh kurang lebih 20 kilometer. Dengan waktu 2 jam menempuh jarak 20 Km memang bisa dikata terlalu lama. Tapi memang begitulah realitanya, dengan kondisi jalan yang berlubang dan tak mengenal kata aspal jalan, sehingga jalan menuju desa sebelah seakan-akan banyak kolam sepanjang jalan.
Dua jam kemudian tibalah aku bersama ibu ke desa tempat pelabuhan perahu-perahu yang akan pergi berlayar itu, di sana aku dan ibu singgah dulu ke rumah saudara sepupu, tidak langsung menuju perahu karena terdengar kabar perahu itu akan berangkat satu jam kemudian. Aku merebahkan diri sebentar di rumah sepupu.
“Cong, perahunya bentar lagi berangkat!”
Salah seorang teman menyapa dan memanggilku memberi tanda bahwa perahunya akan segera berangkat, temanku yang menyapa tadi itu salah satu orang yang akan ikut nebeng juga ke perahu itu,
Bangkitlah aku dari baringan tubuh yang aku hamparkan di lantai ruang rumah saudara sepupu tadi, aku raih ransel dan barang bawaanku bergegas menuju dermaga kecil yang terbuat dari kayu dan ibu yang membuntutiku dari belakang ikut mengantar ke dermaga, dermaga yang dibuat hasil dari gotong royong warga setempat. Namanya Pelabuhan Tanjung Kaiok.
Masih sangat jelas terasa hasil tangan-tangan warga mengerjakan dermaga itu dengan ciri khas alam yang terbuat 99% diambil dari hasil alam langsung. Aku langkahkan kakiku menginjaki parahu nelayan itu, sebelum aku langkahkan kakiku, aku ambil tangan ibu dan menciumnya.
Ibu berkata dan berpesan untuk kesekian kalinya:“Hati-hatilah di atas itu nanti, jangan duduk menepi, dan baik baiklah ditempat orang, jangan membuat hal yang mempermaluakan keluargamu, ingat tujuanmu menuntut ilmu, jangan sampai buat malu karena kehilangan nyawa lebih mulia dari pada harus menahan rasa malu.”
Itu pesan ibu yang selalu kudengar setiap aku melangkahkan kaki meninggalkan tanah kelahiranku. Kedengarannya memang sedikit ngeri membawa-bawa nyawa segala, tapi dari ibulah aku belajar arti teguh rantauan yang sesungguhnya.
Memulai Perjalanan Laut
Tibalah dalam perjalanan yang sesungguhnya. Sekarang tubuhku kutempatkan di atas atap perahu. Suara mesin perahu yang sedari tadi dihidupkan, mengisi kesunyian lautan kala itu. Dan aroma ikan yang menerkam aroma laut merajai aroma dalam kabin perahu, sedangkan aku yang duduk di atas atap perahu disuguhi aroma knalpot, aroma ikan, dan goyangan-goyangan kecil karena ombak yang mencandai badan perahu dengan sedikit menggoyangnya.
Waktu menunjukkan jam 12 siang kapten perahu mengintruksikan anak buahnya untuk melepas tali yang di ikatkan di dermaga kayu tadi dan itu artinya perahu mulai perlahan memberi jarak dirinya kepada dermaga dan seakan-akan mengucap, “Sampai jumpa kembali wahai dermaga aku pergi berlayar dulu mengarungi lautan bali malam ini”
Perahu perlahan-lahan meninggalkan tempat sandarannya semakin jauh semakin jauh seiring diterkamnya waktu dan dinaikkannya kecepetan perahu, dan tak lupa kupandangi wajah ibu yang menaruh harapan banyak terhadap putrayang meninggalkannya sejak beberapa tahun lalu ini demi mengharap kehidupan putranya bisa menghadirkan perubahan positif terhadap keluarga kelak, yang tak ingin kehidupan putra putrinya sama sepertinya yang kurang pemahaman akan pengetahuan dunia. Tampak di wajah sebenarnya iatak ingin berpisan jauh dengan putranya.
Tak terasa perjalanan 30 menit telah berlalu dari aku memandangi ibu yang masih berdiri di posisi yang sama memandangi laju perahu yang kian mengecil dari pandangannya meninggalkan tempat sandaran tadi. Goncangan perahu pun mulai sedikit terasa lebih bergoyang dari sebelumnya, iya karena candaan-cadaan ombakpun kian kerap menghampiri badan perahu.
Posisiku masih tetap di atas atap kapal, jelas terasa goncangan-goncangan perahu kian menggoyang seiring melaju lebih jaunya perahu kecil itu mengarungi lautan lepas, tak hanya goncangannya ombak tetapi rintihan air yang seakan membanjiri tempat dudukku.
Rintihan air? Iya air, dan itu bukan air hujan yang jatuh dari awan, melainkan air ombak yang menghempas perahu sampai membanjiri tempat dudukku.
Begitulah aku di perjalanan yang hanya bisa duduk di tempat seadanya pasrah akan keadaan selama 10 jam perjalanan.
“Wow 10 jam?”
Salah seorang kawan dengan nada yang sedikit kaget bertanya ketika beberapa waktu lalu aku menceritakan kisah perjalananku kepadanya.
“Bagaimana keadaanmu selama 10 jam di perjalanan dengan naik perahu kecil pembawa ikan dan tanpa tempat tidur di dalamnya itu?” tanya teman itu selanjutnya.
“Iya, hanya bisa pasrah akan keadan dan menyerahkan perjalanan kepada Tuhan!” jawabku.
Pernah suatu ketika, menjelang lebaran waktu mudik, salah seorang teman berasal dari Medan yang ikut program pertukaran mahasiswa di Undiksha, ikut bersamaku ke desaku, ke kepulauan sana, dengan ikut perahu nelayan itu. Ia ikut dengan bermodal rasa penasaran dan penasaran akan bumi yang belum terjamah oleh para investor beruang.
Ia tertarik ingin menapakkan kakinya ke bumi kepulauan itu, dengan resiko pengalaman yang tak akan pernah dia rasakan sebelumnya dalam hidup. Dan selama di perjalanana aku sempat berbincang dan ngobrol-ngobrol kecil dengannya sambil menikmati olengan badan yang diberikan perahu.
Satu kata-katanya yang masih aku ingat; “Ternyata sekaranglah aku rasakan arti sebuah perjalanan nyata yang tak pernah kubayangkan sebelumnya. Apa sebenarnya arti perjalanan itu, dengan segala rintangan dan resiko kalian ambil untuk menapaki kaki di kota pendidikan, dan saya yakin tidak ada kata bahwa merantau hanya sekedar pindah tidur ke kota orang, melainkan mengepal tekad semangat juang yang tinggi akan pentingnya sebuah pendidikan. Perjuangan yang ditempuh untuk bisa sampai dengan selamat lahir batin ke tujuan tidaklah semain-main yang aku kira.”
Kawan dari Lombok pun pernah mencoba ikut ingin mencoba karena penasaran, katanya bagaimana rasa perjalanan itu. Dan kesanya:
“Lebih baik saya menyapu Kabupaten Buleleng sampai bersih jika harus mengulangi perjalanan saya ke sana dengan diterjang badai dan ombak di tengah laut sana.”
Sontak saya tertawa lepas akan celetukannya itu.
Lalu ia melanjutkan, “Semua orang yang pernah terlibat dalam perjalanan itu saya pastikan dosanya akan bersih sampai ke tujuan!”
“Kenapa?” Saya menyela.
“Karena semua dzikir saya bacakan dan istigfar yang tak terhitung seraya Al-Qur’an pun seakan saya hatamkan selama perjalanan apa lagi ketika perahu lagi miring-miringnya (oleng) diterjang ombak seakan tak akan ada kata selamat lagi dari perjalanann itu. Dan kukatakan perjalanan ini adalah pintu taubat.” Katanya.
Tertawaanpun menguasai perbincangan kami kali itu
Di waktu lain, salah seorang kawan menceritakan pengalamannya mengarungi lautan di lain waktu. “Aku pernah nyebrang dari Gilimanuk ke Ketapang dengan ombak 3 meter naik kapal fery sampek muntah-muntah selama satu jam,” katanya.
Dan aku menanggapi dengan mengajaknya ikut aku.
“Bagaimana seandainya kamu ikut dengan aku mengarungi lautan selama 10 jam dengan naik perahu berukuran 2×15 meter yang terbuat dari kayu yang dibuat oleh tangan-tangan tradisional dengan alat seadanya dan sampai ditengah laut di ombang-ambing badai dan ombak lautan serta hujan? Kalau perjalananmu yang satu jam itu naik kapal fery melawan ombak 3 meter kamu sudah loyo diterkam perjalanan, tidakkah kau bayangkan bagaimana perjalananku selama 10 jam di tengah laut lepas mempertaruhkan jiwa dan raga bahkan nyawa untuk sampai kesini?”
Sedikit temanku itu termenung dan membayangkan bagaimana perjalanan yang aku tempuh itu dan seraya tak membayangkan bagaimana nasib seorang pemuda di atas sebuah perahu kecil pengangkut ikan mengarungi samudra.
Di Tengah Laut
Jam 17.00 tak terasa perahu telah melaju 5 jam dari tempat sandarannya tadi kebisingan knalpotpun makin membising di teling. Hempasan ombak makin kuat menerjang badan perahu hingga permukaan atap perahu pun dipenuhi air yang menggenang tipis dan membasah kuyupkan tubuh dan pakaianku.
Laju angin yang mulai kencang menciptakan udara dingin menyelimuti diri hingga seakan memberi kode aku untuk memperbaiki jaket yang kukenakan dan mengeluarkan sarung dalam ranselku. Gemuruh ombak dan kebisingan knalpot seakan bertarung merebutkan posisi mengisi kebisingan bumi selama perjalanan itu.
Langit yang berwarna jingga seakan tak kuasa menahan gerakan mentari yang telah menibakan waktunya akan tugas menyinari bumi pada hari ini. Begitu indah sunset kala itu aku nikmati di atas sebuah perahu mengiringi perjalanan itu.
Aku masih tetap dalam posisiku, di atas atap perahu. Di atas atap perahu ini aku bersama seorang bapak yang sama-sama numpang untuk ikut nyebrang ke Pulau Dewata, jelas tujuannya bukan untuk kuliah, melainkan membawa ibunya yang sedang sakit untuk berobat ke Tanah Bali.
Iya, berobat. Karena di pulauku tidak ada yang namanya rumah sakit seperti di kota-kota. Yang ada hanya puskesmas dengan peralatan medis seadanya.
Kok di atas atap perahu? Kenapa tidak mencari posisi aman atau tempat yang lebih aman di dalam kabin perahu? Iya, karena dalam kabin perahu dipenuhi oleh box-box yang dipenuhi ikan sehingga tempat tidak terlalu luas di sana dan hanya diperuntukkan bagi kaum hawa saja.
Di Dalam kabin memang para kaum hawa akan duduk di atas box-box berisi ikan sambil menikmati kebisingan mesin bau amis ikan dan rasa pengap di dalamnya. Hehe macam di jaman penjajahan waktu kerja paksa dulu, macam disekap gitu.
Waktu terus berjalan, langit pun mulai gelap gugusan pulau-pulau sudah hilang di pandangan dan hanya tinngal sebuah perahu nelayan inilah menjadi bahan adonan para ombak malam ini. Iya, adonan yang diombang-ambing oleh lautan seperti sebuah bola yang dimainkan dalam lapangan yang ditendang kesana kemari.
Begitulah umpama perahu ini yang sedang dicandai oleh alam dan ombak-ombaknya seakan-akan tak memperdulikan teriakan, dzikir, takbir dan tahmid yang dilantunkan isi perahu untuk mengharap belas kasih Tuhan akan keselamatan, seakan-akan dalam perahu itu sedang berlagsung pengajian tahlilan karena para isi perahu yang tiada hentinya meneriakkan ayat-ayat suci utuk mengganti rasa takutnya, termasuk aku juga.
Lanjut terus berjalannya waktu, aku coba membaringkan badan di atas atap perahu ini dengan sekeliling yang sudah basah oleh terpaan ombak selama perjalanan tadi. Tubuh yang basah kuyup, pakaian yang sudah kuyup pula sehingga aku tak kuasa lagi menahan lelah dan letihnya tubuh yang sangat dingin dengan tiupan angin laut mengalahkan kedinginan ketika memuncak.
Aku hamparkan tubuh ini tak aku pedulikan lagi alengan-olengan badan perahu, aku baringkan badan yang hanya berbantal lengan, aku pejamkan mata perlahan, kutarik nafas, kusatukan fikiran dan hati kuserahkan diri ini hanya kepada Ilahi mengharap belas kasih akan keselamatan diri.
Matapun terpejam dengan menahan gigil tubuh yang basah dan makin dingin akan tiupan angin, tak ada yang lain melintang dalam pikiran kala itu, melainkan wajah ibu (kedua orang tua) yang menaruh harap melepas anaknya pergi ke rantauan orang dengan do’a terbaik yang ia berikan mengiringi perjalanan seorang putra yang diharapkan memimpin keluarga kelak. Dan belas kasih Tuhan akan pertolongan keselamatan untuk sampai dengan selamat ke tujuan.
Tak terasa berapa lama aku pejamkan mata, hingga akhirnya kubuka mata kembali, mengangkat tubuh dari baringan. Kulihat sudah lampu-lampu rumah penduduk di pegunungan-pegunungan itu, kala bintang-bintang yang menghiasi langit bumi yang selama perjalanan aku nikmati.
Aku lihat jam di lengan kanan menandakan waktu telah menunjukkan jam 01 dini hari, tak kusangka perjalanan tak secepat yang aku kira, perjalanan itu memakan waktu 12 jam lebih. Kondisi gelombang yang tinggi menyebabkan perahu makin lambat dari biasanya mengarungi laut tadi malam. Hati inipun sedikit lega melihat gemerlap lampu-lampu di pegunungan itu yang menandakan sedikit lagi perahu akan menyandarkan diri ke dermaga tujuan,.
Dan sampai di sini tibalah aku ketempat tujuanku. Pulau Dewata, kota pendidikan, tepatnya di Singaraja. Perahu berlabuh di Pelabuhan Sangsit, Kecamatan Sawan, Buleleng. Dari situ aku cari ojek untuk menuju Singaraja, tempat kampus Undiksha. Aku kuliah dan melupakan perjalanan 12 jam di laut itu. Karena enam bulan lagi aku akan pulang kampung kembali, dan kembali menempuh laut, begitu selanjutnya ketika balik lagi ke Singaraja.
Dengan perjalanan serumit itu, aku tak mau membelokkan cita-citaku, sehingga akan sangat rugi jika aku tak melakukan kuliah dengan baik. [T]