SORE itu, di bawah cuaca yang agak mendung, kami dari Pendamping Keluarga Harapan (PKH) Kabupaten Karangasem menunggu kedatangan seorang relawan. Nama relawan itu sudah begitu familiar di telinga saya, mungkin demikian juga bagi senior-senior saya yang sudah terlebih dahulu bergelut dalam dunia social dan kemanusiaan. Sayangnya saya belum tahu persis perawakan orang ini,.
Pikir saya dalam hati, orang ini pastilah orang yang sangat mapan hidupnya karena bisa menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membantu orang-orang yang membutuhkan. Saya sempat berpikir bahwa orang ini akan datang mengendarai mobil mewah lengkap dengan pembantu-pembantunya. Lalu tampak pemandangan lumrah: pembantunya sibuk menurunkan bantuan, sementara sang bos hanya sibuk tunjuk jari sana sini memberikan perintah kepada pesuruh-pesuruhnya sambil berselfie-ria.
Teringat cerita seorang karib, bahwa di kalangan kaum high class ada semacam trend untuk memberikan donasi kepada orang-orang miskin. Seorang pengusaha kaya misalnya akan merasa turun gengsi ketika kawan-kawannya yang selevel dengannya dalam stratifikasi harta telah terlebih dahulu bergerak dalam bidang kemanusiaan.
Sang pengusaha kemudian akan ikut-ikutan sok peduli kepada sesama dengan melakukan hal yang sama bahkan dengan nominal yang jauh lebih besar dan wah dari yang pernah dilakukan kawan-kawannya. Rivalitas pemcitraan semacam ini menyebabkan orang yang berdonasi merasa wajib untuk menyebarluaskan kebaikan hatinya lewat berbagai media bahkan secara khusus mempostkan budget untuk pencitraan itu. Tentu saja aktivitas tersebut merupakan pseudo social karena inti dasarnya bukanlah humanity namun hanya sekadar tuntutan hiperreality.
Lamunan saya buyar tatkala Andy Karyasa, sosok yang kami tunggu itu, benat-benar datang dan dibonceng oleh seorang teman relawannya. Kenyataan itu memyadarkan saya bahwa semua perkiraan saya sebelumnya telah keliru. Ia jauh dari kesan high class. Bahkan terkesan sebagai orang yang sangat biasa.
Siapa Andy Karyasa? Mulai saat itu saya rajin menelisik latar belakang Andy Karyasa untuk mendapatkan informasi yang sahih mengenai relawan yang tak kenal lelah ini.
Sampai pada suatu kesempatan selepas kunjungan kegiatan sosial di Banjar Untalan dan Banjar Galih di Desa Jungutan, barulah rasa penasaran saya sedikit bersambut. Bli Andy (demikian dia biasa disapa) menyebutkan dirinya bekerja sebagai karyawan dan indekost di Denpasar. Sayapun tambah penasaran karena manajemen waktu serta finansial yang demikian hebat dari orang ini.
Sebenarnya masih ada setumpuk pertanyaan dalam benak saya untuk dilontarkan ke Bli Andy namun karena melihat sinar wajahnya yang mulai menyayu akibat kelelahan, sayapun menundanya. Hingga pada suatu kesempatan secara mengejutkan Bli Andy mengungkap jati dirinya. Ia awalnya hanyalah anak yang berasal dari keluarga termiskin pada suatu desa di sisi timur Kabupaten Bangli.
Ia tidak segan memaparkan, bahwa rumah yang ditempatinya hanyalah berdinding bedeg (anyaman bambu tradisional Bali). Hingga kinipun ia hanya kuli (demikian bahasa yang sering ia gunakan) dengan jam kerja yang padat mulai jam 9 pagi hingga 5 sore kadang disertai lembur dari jam 7 hingga 12 malam. Bli Andy bekerja dari hari Senin sampai Sabtu dan hanya libur pada hari Minggu.
Siapapun akan terheran dengan kemampuan Bli Andy membagi waktu, bahkan orang-orang yang punya jatah libur lebih banyakpun belum tentu bisa melakukan itu. Jika dipikirkan tentu sangat sulit untuk membagi waktu antara jadwal kerja, keluarga, pekerjaan rumah tangga, dan kegiatan kemanusiaan.
Kisah Bli Andy mirip petjakanan hidup Carl Gustav Jung yang merasa dendam kepada penyakit karena sang adik meninggal setelah terserang suatu penyakit. Jung merasa meninggalnya sang adik adalah akibat dirinya yang tidak bisa berbuat apapun saat itu. Oleh karenanya Jung berusaha keras untuk menjadi dokter bahkan akhirnya namanya dikenal dunia sebagai salah seorang psikolog yang berpengaruh.
Bedanya, Andy Karyasa dendam kepada kemiskinan. Namun sama seperti Jung yang tidak mungkin untuk menolong adiknya yang terlanjur meninggal upaya yang dilakukannya dipersembahkan kepada orang lain yang membutuhkan.
Mengagumkannya, Bli Andy dengan santai memaparkan bila kegiatan sosialnya direncanakan dan dieksekusi mulai dari kesempatan-kesempatan kecil yang dilalaikan sebagian besar orang, seperti saat baru bangun tidur, jam makan siang, menjelang tidur malam, hari libur, serta waktu senggang lainnya.
I Wayan Andy Karyasa adalah contoh sosok yang mengujamkan dendamnya ke jantung kemiskinan dengan cara yang tepat. Ia merawat dendamnya agar perlawanan terhadap kemiskinan bisa dilakukan pada musim apa pun, baik musim sibuk atau musim libur, baik musim hujan maupun musim kemarau. Semoga insan-insan lain yang menyimpan dendam kepada kemiskinan segera mengikuti jejaknya. (T)