KOMUNITAS Cemara Angin, meski sempat meredup, namun ternyata tidak mati. Mahasiswa yang berada dalam kumpulan ini sedikit demi sedikit mulai berproses. Hasilnya adalah MAS – Malam Apresiasi Sastra, yang puncaknya digelar Minggu 3 Desember 2017.
MAS berisi pembacaan puisi, cerpen, musikalisasi puisi hingga dramatisasi puisi. Acara ini termasuk ramai, apalagi setelah sekian lama komunitas ini vacum bahkan sulit tercium keberadaannya.
Mungkin banyak yang belum mengetahui tentang komunitas ini, Cemara Angin merupakan komunitas sastra yang beranggotakan mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra, Undiksha Singaraja. Melalui sistem regenerasi, Cemara Angin menambah anggota pada tahun ke tahun, pada setiap kedatangan mahasiswa baru.
Sebagai mahasiswa dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia setidaknya kita bisa lebih dekat dengan yang namanya sastra itu sendiri, setidaknya kita memiliki sedikit kemampuan di bidang sastra. Tidak hanya pada sebuah pementasan, tetapi bisa saja dalam penulisan,dll. Bahkan banyak jurusan yang tidak ada hubungannya dengan sastra, malah mereka begitu mencintai sastra dan ingin memiliki suatu karya sastra ataupun ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan sastra.
Nah, tujuan dari adanya komunitas Cemara Angin ini diharapkan anggota-anggotanya yang berasal dari jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia ini bisa lebih dekat dan mencintai sastra. Agar mereka bisa menulis, bermain teater, memadukan puisi dengan musik, membaca puisi dengan professional dan masih banyak lagi. Dan ternyata banyak yang belajar dari awal atau dari nol.
Ketika kita berhasil mengadakan atau menyelenggarakan kegiatan seperti perlombaan yang berhubungan dengan sastra dan kita mampu membuat orang tersebut semakin dikenal, kita juga harus membuat diri kita semakin dikenal melalui kemampuan kita untuk menampilkan dan menonjolkan kemampuan kita dalam bidang sastra. Jadi seimbang antara kemampuan kita dengan kemampuan orang yang kita berikan kesempatan untuk menunjukan kemampuan mereka.
Kembali ke pementasan Malam Apresiasi Sastra, saat itu pementasan bisa dikatakan sukses. Mengapa? adanya penonton menjadi salah satu pendukung kesuksesan sebuah acara. Sebagus-bagusnya suatu pementasan jika tidak ada yang menonton ya apalah artinya itu. Malam itu, pementasan berlangsung di Kampus Bawah Undiksha, tepatnya di depan Ruang BEM FBS Undiksha pukul 20.00 WITA.
Pecinta dan penikmat sastra yang bisa dibilang penonton setia mulai berdatangan untuk sekadar menyaksikan Malam Apresiasi Sastra Komunitas Cemara Angin. Penonton tersebut berasal dari berbagai komunitas teater yang ada di Singaraja seperti Teater Kampus Seribu Jendela, Komunitas Puntung Rokok, Komunitas Ilalang, Komunitas Lalalang, Komunitas Galang Kangin, mahasiswa dari Basindo dan beberapa mahasiswa dari jurusan lain di Fakultas Bahasa dan Seni.
Bahkan anak-anak Cemara Angin yang terdahulu juga ikut hadir untuk menyaksikan dan meberikan dukungan untuk Cemara Angin. Seting Panggung yang cukup sederhana, ada begitu banyak dedaunan di lantai, selembar kain hitam, benang wol, taburan tepung dan beberapa lampu berwarna, ya itulah bahan-bahan atau properti untuk membuat panggungnya.
Penampilan diawali dengan pembacaan puisi yang berjudul “Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono yang dibacakan oleh anggota CA yang bernama Sintia.Puisi ini mengisahkan tentang seorang buruh pabrik arloji yaitu marsinah yang menuntut keadilan dan mewakili pekerja lainnya untuk mendapatkan kesejahteraannya dalam bekerja.
Bahkan ia sampai dibunuh dan diperlakukan secara tidak pantas. Berkat perjuangannya, orang-orang selalu mengenangnya dalam setiap arloji yang melingkar di setiap pergelangan tangan seseorang. Penampilan Sintia dikatakan cukup sukses, walaupun memang terlihat sedikit gugup. Sintai mengakui bahwa itu kali pertamanya ia mementaskan pembacaan puisi yang disaksikan oleh orang-orang yang memang sudah mengerti dengan sastra.
Ketika adanya sesi diskusi, Sintia menerima masukan-masukan dari komunitas lainnya untuk membuat dirinya menjadi lebih baik lagi, khususnya dalam pembacaan puisi, Sintia ini salah satu anggota yang sangat rajin dan konsisten untuk mengikuti latihan selama beberapa minggu sebelum pementasan.
Di tengah-tengah kesibukannya menjalankan kewajibannya sebagai seorang mahasiswa dan aktif di kegiatan penting lainnya, Sintia juga berkeinginan untuk bisa membaca puisi, membaca puisi itu memang terlihat dan terbayang sangat mudah tetapi kenyataannya sangat sulit dan Sintia juga merasakannya. Ia belajar dari nol hingga ia berhasil seperti ini.
Lanjut, penampilan yang kedua masih dalam pembacaan puisi, anggota Cemara Angin yang bernama Lyana membacakan naskah berjudul “Kerawang Bekasi” karya Chairil Anwar. Lyana membawakannya juga cukup sukses, ia memiliki kepercayaan diri yang cukup tinggi.
Kedua puisi ini memang tidak disadari memiliki kempiripan tentang suatu kekejaman. Masing-masing puisi yang dipentaskan juga dipilih sendiri oleh pembaca/pemainnya yaitu Sintia dan Lyana. Ketika adanya diskusi pun, Lyana juga mencerna masukan-masukan dari penonton agar penampilan kedepannya menjadi semakin lebih baik lagi.
Beralih dari pembacaan puisi, penampilan ketiga ada Novera yang menampilkan pembacaan cerpen. Cerpen yang di bacakan ialah “Saksi Mata” karya Seno Gumira Ajidarma, cerpen ini memang sangat menarik. Novera juga berhasil membawakannya, walaupun memang masih ada banyak yang harus ia kuasai ketika membaca cerpen tersebut, ada beberapa masukan yang sangat membangun untuk novera, mulai dari pembawaan cerpen harus lebih ekspresif, menarik dan bisa sampai kepada penonton.
Naskah cerpen memang sedikit lebih banyak , untuk itulah kita harus mampu mencairkan suasana agar ketika pembacaan cerpen berlangsung, penonton tidak merasa jenuh, saran-saran dan masukan dari penonton ialah kita harus bisa menunjukan perbedaan antara narasi dan dialog dari naskah cerpen itu sendiri. Seperti dialog yang satu dengan lainnya harus dibedakan lagi kemudian lebih banyak lagi mencari contoh atau video-video pembacaan cerpen yang bagus.
Dengan adanya masukan dari penonton membuat Novera ingin mendalami kemampuannya dan lebih banyak belajar lagi untuk pembacaarn cerpen karena saat itu pertama kalinya ia berani mengambil tantangan untuk membacakan cerpen. Dan ia tampak bahagia. Saat itu malam semakin larut, penonton masih ramai berdatangan walaupun tidak seramai yang dibayangkan. Dari ketegangan, pementasan akan beralih pada hal yang lebih menarik lagi. Bukankah menarik jika suatu puisi dikolaborasikan dengan musik, tidak hanya dibacakan saja, puisi tersebut juga dinyanyikan dengan iringan musik.
Yups, setelah pembacaan puisi dan cerpen, penampilan selanjutnya ialah Musikalisasi Puisi yang dipentaskan oleh beberapa anak-anak Cemara Angin. Seorang gadis berparas manis yang memiliki suara memikat hati bernama Dewi dan empat pria gagah yang memiliki suara dan keterampilan bermusik yang memikat.
Keempat pria itu bernama Anif, Fathor, Khalid, dan Dandi. Mereka membawakan tiga buah puisi kompak dengan baju berwarna putih, puisi yang dibawakan diantaranya, “Interior Danau” karya Made Adnyana Ole, Aku Danau Aku Laut karya Tan Lioe Ie, dan “Tentang Maut” karya Gunawan Muhammad.
Ketiga puisi tersebut dibawakan dengan sangat memukau, begitu enak didengar. Alunan musiknya juga sangat enak untuk di dengar, intinya mereka dengan sukses membawakannya. Ketika sesi diskusipun mereka mendapatkan lebih banyak ilmu berkat masukan-masukan dari penonton dan kakak-kakak Cemara Angin yang terdahulu. Ketika bagian pembacaan puisi yang kurang jelas, mereka yang masih tampak malu-malu, dan apa saja hal-hal penting yang harus diperhatikan ketika pentas.
Semua itu telah mereka dapat malam itu dari penonton yang merasakan dan menikmati penampilan mereka. Kesuksesan mereka juga didukung oleh anggota Cemara Angin terutama angkatan yang terdahulu yang sangat mendukung dan membimbing mereka hingga mereka bisa.
Waktu begitu cepat berlalu, kecemasan pemain yang sudah usai tampil mulai menghilang. Mereka akhirnya bisa bernafas lega dan kembali mengingat-ingat penampilan mereka tadi. Tinggal yang bermain di dramatisasi puisi yang jelas tampak kecemasannya karena saatnya mereka tampil terakhir sebagai penutupan Malam Apresiasi Sastra.
Puisi yang didramatisasikan ialah “Dongeng Marsinah” karya Sapardi Djoko Damono. Dramatisasi dimainkan oleh Sari, Putri Santini (PS), Risma, Gunar, Ayu, Ulum, Pandu. Mereka tampil dengan sungguh-sungguh, sehingga ketika sesi diskusi pun banyak yang mengatakan bahwa penampilan ini begitu masuk dan dipahami oleh penonton. Penonton bisa berspekulasi bagaiman konsepnya bisa seperti itu.
Awalnya, orang-orang membacakan puisi dengan membaca oran, kemudian si Marsinah itu menari-nari di lantai. Ada long-longan anjing ketika mersinah tiada dan adanya benang-benang berwarna yang melilit tubuh marsinah dan sang malaikat yang diiringi oleh senandungan. Ah penampilan yang sangat memukau dan penghayatan dari masing-masing peran yang di dapat oleh pemain begitu mereka hayati. Tepukan tangan yang meriah dan sorak penonton yang merasa senang menyaksikan pementasan itu menjadi penutupan yang sangat manis di malam itu.
Setelah usainya diskusi antara seluruh pemain dan penonton dengan jarak yang berdekatan, akhirnya membuat hati mereka semua menjadi sangat bahagia. Pementasan ini berakhir dengan kenangan indah yang dirasakan oleh setiap pemainnya, walaupun mereka masih harus banyak belajar lagi.
Selain pemain, Malam Apresiasi Sastra dari Komunitas Cemara Angin ini juga tidak akan sukses jika tidak dibantu oleh orang-orang yang berada dibalik layar pementasan ini, seperti pada bagian lighting yang luar biasa, penata rias, kostum, dan masih banyak lagi. Pementasan ini merupakan hasil latihan pertama anak-anak Cemara Angin yang disutradarai bersama sebagai pencarian terhadap bentuk pementasan.
Tim produksi dari pementasan tersebut ialah keluarga besar Komunitas Cemara Angin sebagai bentuk kebersamaan. Proses jauh lebih penting dari suatu pementasan itu. Ketika Cemara Angin mulai berproses sedikit demi sedikit maka hasil yang didapat pasti akan memuaskan.Syukurlah mereka selalu merasa tidak puas dan ingin terus belajar dan belajar. (T)