MENDENGAR kata liburan saya selalu membayangkan pantai, danau, kemah, menikmati kolam ikan koi di rumah, dan segala sesuatu yang bikin senang bersama teman atau pacar (kalau punya). Jangan bohong, semua orang merindukan hari libur. Mulai libur hari raya agama, libur hari nasional hingga libur-libur semester bagi mahasiswa.
Ya, liburan semester selalu jadi penantian para siswa, mahasiswa, para staf di sekolah atau di kampus. Bagaimana tidak, kegiatan di sekolah maupun di kampus cukup padat, sehingga liburan menjadi angin segar untuk memberikan ketenangan.
Saya, sebagai mahasiswa semester 7 yang bisa disebut semester akhir punya rencana terpendam dalam rangka liburan semester yang cukup panjang ini. Yakni pergi ke Lombok untuk menginap beberapa hari, mungkin sambil jalan-jalan di tepi pantai atau menyusuri Gunung Rinjani. Juga cukup di Bali saja, berkemah di Danau Buyan atau Tamblingan. Bayangan saya, suasana liburan semester itu benar-benar menyenangkan.
Memang benar kata orang-orang matang, harapan tak selalu sama dengan kenyataan. Banyak orang yang tidak merasakan liburan seenak bayangan saya tadi. Teman saya yang pengurus oraganisasi mahasiswa (ormawa), liburannya adalah kesibukan di kampus. Tentu hal itu tidak bisa disebut liburan karena tidak termasuk dalam kegiatan yang menyenangkan (sesuai kriteria menyenangkan seperti yang saya sebut di awal tulisan).
Biasanya mahasiswa yang menikmati libur dengan sibuk di kampus adalah mahasiswa semester dua hingga semester enam. Karena mahasiswa semester muda itu sedang giat-giatnya masuk ormas, eh, ormawa. Mahasiswa di atas semester enam lebih banyak memilih keluar pelan-pelan dari ormawa.
Tapi, apakah mahasiswa semester 7 seperti saya bisa menikmati liburannya di luar kampus dengan asyik?
Dalam bayangan saya, liburan semester tujuh menjadi liburan yang sangat menyenangkan. Senang karena bebas dari kegiatan kampus dan bisa leluasa untuk berkemah atau mendaki gunung dengan teman. Atau bebas keliling di kampung halaman, ngobrol dengan teman SD atau SMP.
Libur semester pada awal tahun 2017 ini saya melakukan satu kegiatan sederhana, yaitu mandi ke tempat permandian air panas di Tabanan. Asyik, perginya bersama teman di kampung. Namun, meski liburan lumayan panjang, hanya mandi air panas yang bisa saya lakukan. Selebihnya liburan benar-benar dinodai banyak pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan yang bikin liburan tak asyik.
Baru pulang ke rumah saat mulai liburan, diawali dengan pertanyaan bapak dan ibu saya. Mereka bertanya, “Kapan wisuda?”, “Kapan ujian skripsi?”, “Sampai kapan di Singaraja?”, atau pertanyaan sejenis sungguh-sungguh membuat liburan tak asyik.
Dulu pertanyaan-pertanyaan seperti ini memang sama sekali tidak memengaruhi saya, bahkan saya bisa menjawab seenaknya seperti “kapan pun saya mau” atau yang lainnya. Pada saat saya berada di semester 7 (belum 8 karena belum bayar spp), ternyata pertanyaan seperti itu benar-benar memukul. Bagaimana tidak, tepat saat mendapat pertanyaan itu, ide penelitian sama sekali belum terlintas di benak saya.
Liburan yang dibayangi pertanyaan orang tua itu menjadi semakin keruh ketika teman di kampung yang kuliah di universitas lain tiba-tiba tanda dosa bercerita tentang penelitiannya. Katanya, ia sudah melaksanakan seminar proposal. Dan itu diceritakan hampir setiap bertemu.
“Aku gelisah sekali, seminar proposal sudah selesai, kini mau nyusun skripsi. Aku benar-benar gelisah,” kata si teman.
Lha, aku yang belum bikin apa-apa, bahkan belum ketemu ide proposal, dia pikir tak gelisah. Waduh, si teman benar-benar merusak liburan bagi saya.
Teman saya yang lain yang juga sekampung turut bercerita tentang kelulusan. Katanya ia tinggal menunggu ujian skripsi dan kemudian yudisium. Padahal dia satu angkatan dengan saya. Cerita-cerita seperti itu membuat saya risau ketika liburan berlangsung.
Yang lebih celaka, perihal ujian skripsi ini diceritakan lagi oleh orang tua si teman ke orang tua saya. Jadilah orang tua saya makin gencar mengajukan pertanyaan tentang skripsi dan menunjukkan harapan besar serta tidak sabar menunggu saya mengenakan topi siku-siku.
Ketika semakin banyak orang yang menyadari bahwa saya sudah berada pada semester tujuh, semakin banyak pula pertanyaan serupa pertanyaan orang tua saya yang sampai ke telinga. Ibarat air kolam, saat itulah perasaan saya semakin keruh. Liburan pun seakan menjadi tragedi bagi mahasiswa semester besar seperti saya.
Akhirnya, setelah sekitar seminggu berada di kampung, pertanyaan-pertanyaan seperti itu semakin surut. Hati saya agak lega. Saya bisa bermain ke rumah teman dengan sedikit lega tanpa pembahasan perihal skripsi atau wisuda. Tetapi, surutnya pertanyaan bukanlah akhir penodaan perasaan di hari libur.
Suatu hari, ketika liburan itu HP saya mulai ribut, banyak pemberitahuan yang masuk. Setelah saya lihat, ternyata pemberitahuan itu berasal dari grup kelas di line. Mulai lagi hati berdebar untuk memeriksa perihal apa yang dibicarakan di grup. Ternyata teman-teman saya sudah mulai ribut tentang pengajuan ide awal ke pembimbing penelitian. Ada juga yang hendak ke pembimbing akademiknya.
“Ake be siap bimbingan ne!” begitu kata salah satu teman saya di grup.
Ada juga yang mengatakan, “Draf ide awal ake be pragat!”.
Perlahan-lahan liburan menyenangkan yang saya bayangkan menjauh dan berubah menjadi liburan yang meresahkan.
Dengan berat hati, meski liburan masih sisa, saya memutuskan berangkat ke Singaraja, ke kota di mana kampus saya berada. Tujuan untuk bertemu teman-teman seperjuangan. Barangkali dengan bertemu mereka kegelisahan saya akan membuahkan hasil. Biarlah liburan berlalu begitu saja.
Ujung-ujungnya, bertemu teman pun tak membuat gelisah jadi tenang. Sesama teman, kita hanya ngobrol, sibuk menghibur diri, tentang ide penelitian yang tak kunjung datang. Bahkan, saat menulis curhatan ini, kami sedang berada di depan laptop, di areal Telkom Singaraja, sambil main facebook, sesekali membuka situs yang tak berhubungan sama sekali dengan skripsi. (T)