Sangat mengejutkan, saat kita lihat salah seorang capres yang bertarung pada Pilpres 2019 kemarin, menyatakan dirinya sebagai pemenang menurut survey internal tim suksesnya. Dengan demikian ia adalah presiden untuk seluruh rakyat Indonesia.
Dibandingkan dengan kompetisi apapun di dunia ini, bisnis, olahraga atau sains, maka kompetisi politik memang punya tekanan yang lebih besar. Karena di sana tak cuma bergumul motif ekonomi dan harga diri, juga ambisi kekuasaan bagai api liar yang enteng menghanguskan rasio manusia.
Tingkatan terakhir dari kebutuhan dasar Maslow adalah aktualisasi diri, yaitu kebutuhan untuk membuktikan dan menunjukan dirinya kepada orang lain. Pada tahap ini, seseorang mengembangkan semaksimal mungkin segala potensi yang dimilikinya. Kebutuhan aktualisasi diri adalah kebutuhan yang tidak melibatkan keseimbangan, tetapi melibatkan keinginan yang terus menerus untuk memenuhi potensi.
Teori hirarki kebutuhan dari ekonom Abraham Maslow ini masih relevan untuk menggambarkan situasi saat ini. Saat kebutuhan tersebut sudah tak lagi melibatkan keseimbangan maka memang akan terjadi satu risiko ketimpangan dinamika mentalitas yang bersangkutan.
Alan Fogel PhD, seorang profesor psikologi di Universitas Utah mengatakan depresi, kegelisahan, dan ragam penyakit psikologis lainnya berhubungan dengan saraf tertentu. Mekanisme ini yang lazim kita sebut sebagai satu mekanisme neurohormonal. Yaitu rangkaian fenomena biologis yang mengkaitkan perasaan atau mental dengan rangsangan sistem saraf melalui mediator hormon dalam tubuh.
Hormon yang paling berperan adalah sistem simpatik yang dapat memacu denyut jantung, meningkatkan tekanan darah yang secara fisiologis sesungguhnya diharapkan membuat tubuh menjadi siaga terhadap lingkungan. Namun paparan yang berlebihan & terlalu lama justru dapat membuat tubuh menjadi cedera. Inilah alasan mereka punya risiko yang lebih besar mengalami stroke atau serangan jantung.
Di Indonesia, prevalensi penduduk yang mengalami sakit psikis (gangguan mental emosional ringan dan sedang) berdasar Riskesdas (Riset kesehatan dasar) 2013 hanya sebesar 6,0 persen. Namun para ahli meyakini ketika diuji dengan metodologi yang lebih tajam dan melibatkan pakar khusus, maka realitasnya bisa mencapai sekitar 20 persen.
Ini relevan dengan realitas terkini dalam kehidupan berpolitik masyarakat Indonesia. Sebagai data penunjang, pengalaman RSJ Aceh menyampaiakn, seusai pemilu 2014, ada peningkatan kasus gangguan jiwa hingga 20%. Ini angka yang sangat bermakna.
Kembali pada ambisi kekuasaan. Ambisi ini memang tak kenal konsep keseimbangan, ia bahkan tak pernah memikirkan segala risiko dan nasibnya kelak, meski sejarah telah bercerita banyak. Pada abad ke-10, tokoh kontroversial dalam sejarah kerajaan Tumapel, Ken Arok, merebut kekuasaan dengan cara yang sangat brutal. Ia sedikitpun tak berimajinasi, nasibnya pun takkan jauh-jauh dari caranya merebut kekuasaan.
Begitu pula dalam sejarah modern politik dan kekuasaan, kita sudah ketahui bersama bagaimana ujung nasib penguasa-penguasa terutama di negara-negara berkembang di Asia dan Afrika. Seperti yang disebutkan Maslow, kekuasaan memang satu kebutuhan yang cenderung tak menenmpatkan dirinya pada keseimbangan.
Inilah barangkali, membuat calon penguasa bahkan sudah menjadi diktaktor sebelum berkuasa. Dan penguasa-penguasa itu pun tumbang menghadapi rakyatnya sendiri. Lihat bagaiman Raja Louis XVI yang menghadapi guillotine dalam Revolusi Perancis di abad ke 17. Atau tumbangnya Sadam Husein, Muamar Kadafi bahkan & Suharto akibat intrik kekuasaan di abad ke 19.
Tentu menjadi hal menarik saat ini, ketika banyak rumah sakit di negeri ini, menyatakan siap merawat pasien-pasien yang mengalami gangguan kejiwaan akibat gagal dalam pemilihan legislatif. Selain menarik, gagasan ini sungguh sangat masuk akal. Saat politik belum menjadi sarana untuk mengabdi kepada bangsa dan negara.
Saat politik masih menjadi senapan terkokang untuk memburu harta dan kekuasaan yang telah kehilangan keseimbangannya. Maka, seorang pemimpin, sebelum dapat menguasai rakyatnya, semestinya ia pertama-tama harus mampu menguasai dirinya sendiri. Itulah syarat ia tetap sehat fisik, mental dan sosial. [T]
BACA JUGA KOLOM DOKTER YANG INI:
- Acintya
- Nyepi: Terapi Kesehatan
- Pasien, Guru yang Sempurna
- Dokter dan Sepotong Filsafat
- Dokter & Dukun, Tujuan Sama, Satu Naik Heli, Satu Naik Boat, Tidaklah Bertabrakan…
- Hantu itu Bernama Ateisme
- Seks: Barang & Gaya Itu-itu Saja, Yang Rumit adalah Persepsinya
- Ideologi, Demokrasi & Kesehatan Bangsa
- Musuh Dokter itu Bernama Keseriusan
- Evolusi Pasca Darwin
- Belajar dari Tubuh
- Sudah Jelas, Penyebab Stoke adalah Nasib
- Dokter, Profesi Paling Lucu