Hari pencoblosan pemilu 2019 sudah hampir tiba. Layaknya pasar, setiap orang mulai menimbang serius, menawar harga, berbasa-basi antara penjual-pembeli, atau sekedar lihat-lihat lalu ngloyor pergi. Namun ada juga suara penjual layaknya mengobral barang, atau pembeli yang menggrutu karena barang yang diidamkan tak kuasa diraih.
Ya, benar, pemilu masih layaknya pasar, orang hanya jual dan beli, lalu selesai. Masih jauh dari landasan moral, landasan etika , atau landasan politik yang kokoh, layaknya sebuah polis, di zaman Athena dulu, yang menjadi epistemologi politik dan demokrasi dunia saat ini.
Athena, yang merupakan sebuah kota atau polis, dimana warganya dipandang telah memiliki sebuah peradaban luhur, hingga mampu memisahkan antara yang public atau res-publica dan yang privat atau res-privata, di mana di ranah publik, ide-ide dan gagasan disandingkan, dipertarungkan, dan diperdebatkan. Dalam polis setiap orang berdiri sejajar, setara, tanpa memandang kekeyaanya, pendidikanya, atau status sosial yang lain. Setiap orang boleh berbicara, berekpresi, tanpa harus takut dijerat hukum.
Omongan yang tak bermutu tentu akan disoraki dan omongan yang bagus mendapat aplus. Semuanya berjuang dan berpikir untuk kebaikan bersama.
Dalam polis tidak ada ruang untuk kepentingan pribadi atau kelompok, tidak pula boleh melekat sebuah identitas tertentu dalam ruang di res-publica.
Dalam dinamika politik Indonesia selalu muncul fenomena golput. Tak terkecuali di pemilu 2019 ini. Tentunya banyak faktor dan alasan orang tidak menggunakan hak pilihanya. Mungkin karena alasan administrasi, masalah waktu, atau alasan teknis yang lain.
Namun fenomena golput adalah fenomena politik. Ia berbeda dengan alasan-alasan tak memilih lainya. Golput, yang awalnya lahir pada pemilu 1971, dengan seorang tokoh yng bernama Arief Boediman, menjadi tolak ukur, sikap ketidakpuasan terhadap atmosfir politik yang berkembang. Termasuk pada pemilu ini, walaupun setiap masa memiliki ciri dan tantangannya sendiri, namun secara umum, golput adalah sikap politik yang mewakili suara protes dan ketidakpuasan.
Nah apakah yang menjadi landasan politik golput pada pemilu 2019 ini? Apakah benar seperti yang dikatakan orang sebagai parasit, bodoh, dan gangguan jiwa? Penulis mencoba merangkumnya dalam beberapa catatan, yang sedikit banyak menjadi kegelisahan yang banyak disuarakan saat ini, hingga kita memiliki pandangan yang berimbang terhadapnya.
PEMILU sebagai ritual elektoral hanya sebagian kecil dari bentuk partisipasi publik dalam politik dan kehidupan bernegera. Saat ini kita terlalu banyak menghabiskan energi untuk proses elektoral ini.
- Bagian kecil dari partisipasi publik, yang katanya sebagai wujud kedaulatan rakyat ini pun masih dipereteli dari tujuan idealnya. Seperti masih banyak dimajukanya calon anggota DPR yang pernah tersangkut kasus korupsi atau diidikasikan sedang tersangkut kasus korupsi. Hal ini mengindikasikan kegagalan partai politik memberikan pilihan-pilihan calon yang bermutu kepada rakyat, dan bentuk pelecehan kedaulatan rakyat itu sendiri. Dibatasinya calon presiden dengan adanya ketentuan parliamentary threshold 20% yang menutup peluang munculnya calon presiden lebih banyak. Alih-alih mempermudah munculnya calon dari kalangan independen, peraturan ini juga menutup peluang calon diluar partai politik untuk tampil menyodorkan gagasanya kepada rakyat.
- Adanya ketentuan bahwa partai harus bersifat nasioanal, sehingga menutup peluang munculnya partai lokal sebagi wujud desentralisasi politik dan reformasi kelembagaan partai politik. Membangun partai besar diperlukan modal yang besar, sehingga hanya segelintir elite saja yang menguasai partai dan kekuasaan terpusat pada segelintir orang yang menyerupai dinasti politik.
- Pemilihan umum masih bersifat prosudural, belum menyentuh hal yang substansial. Indikasinya politik uang masih kuat, penyelewengan dana bansos sebagai iming-iming bagi para pemilih, dan tak adanya adu gagasan dan program yang kuat terlihat diantara calon.
Masih banyak bentuk partisipasi rakyat dalam politik di luar ritual elektoral pemilu, misalnya menulis wacana sosial, diskusi publik, kajian ilmiah, turut dalam musyawarah desa, ikut serta mengawasi jalanya pemerintahan, menulis cerpen, novel, dan kegiatan lain yang mana sekiranya memungkinkan mempengaruhi kebijakan publik.
- Perisipasi rakyat dalam politik tidak juga hanya dengan menjadi anggota dewan atau berada dalam barisan pemerintah. Berada diluar pemerintah pun, misalnya menjadi GOLPUT, tetap memungkinkan seseorang berkontribusi, dengan memberikan kritik yang membangun, atau berupaya menumbuhkan saluran alternatif , yang jika mungkin dapat menjadi cikal bakal partai alternatif dengan gagasan-gagasan yang baru atau berbeda dari yang ada saat ini.
Golput bukanlah netral. Golput bukanlah pasif dan apatis. Namun GOLPUT adalah wujud aktif kepedulian, dan keinginan memperjuangkan kepentingan bersama.
- Jika proses pilpres dianggap sebagai konflik, karena hanya melahirkan dua kubu yang bertarung sengit, namun tanpa ide dan gagasan, bahkan menjurus memecah belah dengan hoak, kebencian, saling ledek, saling sindir, maka sikap GOLPUT dapat dipandang sebagai upaya memecah kebekuan situasi tersebut.
- Dalam sebuah konflik sikap netral bisa diartikan sebagai upaya mempertahankan hidup atau sense 0f survival. Sikap ini tercermin dari sikap melayani dan berbaik-baik sikap kepada kedua belah pihak yang berkonflik. Golput disini menghindari sikap mengambil keuntungan dari kedua belah pihak yang berkonflik.
- Sikap netral kadang juga diartika mencari perlindungan. Kadang juga diartikan sebagai upaya mendamaikan pihak yang berkonflik. Sikap golput bukan pada keduanya, namun lebih sebagai upaya meneguhkan hal-hal yang benar dan dianggap ideal dalam sistem politik dan bernegara yang menjadi cita-cita bersama. Dengan begitu dapat dipandang semacam koreksi terhadapa situasi yang berkembang saat ini.
Pemilu pada dasarnya adalah upaya memenangkan kehendak rakyat, bukan malah menjadikan rakyat sekedar sebagai objek ekspoilitasi dan pihak yang dimanfaatkan. Sudah bukan rahasia umum jika rakyat hanya diperlukan untuk mendulang suara. Selekas pemilu usai, rakyat kembali memperjuangkan nasibnya sendiri. Atau yang paling tragis sang politikus berpikir suara rakyat telah mereka bayar dan mereka gantikan dengan sejumlah uang.
- Untuk dapat memenangkan rakyat, agenda-agenda pro rakyat, agenda-agenda reformasi, penegakan supremasi hukum, supremasi sipil dan demokratisasi harus dapat didorong dan dipastikan calon-calon yang tampil melaksanakanya dengan sungguh-sungguh.
- Tanpa keberhasilan mendorong agenda-agenda rakyat, pemilu hanya menjadi ritual elektoral yang tak berarti banyak dan tak mampu mengubah apa-apa.
- Untuk dapat mendorong agenda-agenda rakyat diperlukan organisasi rakyat, koalisi sipil mandiri, atau konsolidasi kekuatan rakyat yang memadai sehingga memiliki kekuatan untuk bersuara dan didengar.
- Menimbang hak bekumpul, berserikat, dan berpendapat dilindungi undang-undang, ekpresi dalam bentuk golput sewajarnya mendapat tempat. Karena pada hakekatnya golput adalah kehendak melakukan koreksi terhadap proses politik tak sehat yang sedang berlangsung ini.
- Mendesak Negara mengakomodir kelompok golput, bukan malah memojokan mereka atau berupaya mengkriminalisasi mereka.
Kekuatiran bahwa rakyat akan kalah dalam proses politik saat ini, memiliki alasan yang kuat, dengan melihat begitu banyaknya kepentingan oligarki dan elite bisnis diseputaran kedua kubu yang bertarung dalam pilpres, yang mana tentunya memiliki agenda-agenda tersembunyi, seperti ekploitasi sumber daya alam, penguasaan tambang atau lahan sawit, yang mana hanya mementingkan keuntungan segelintir orang dan kelompok tertentu.
- Untuk itu dirasa perlu memajukan pendidikan politik warga dan menjadikan pemilu sebagai public school, dengan begitu para bohir dan makelar politik tak dapat leluasa bermain.
Ke depan tujuan perjuangan yang menjadi gol bersama adalah membuka lebih luas partisipasi publik dalam politik, membuka saluran alternatif, dan membangun suasana politik yang lebih bermartabat dengan mengedepankan program, ide, gagasan, soal sosial politik yang bermutu.
- Peluang pembentukan partai baru lebih dipermudah dengan konsep desentralisasi politik, memungkinkan partai lokal bertanding mengajukan gagasanya, tanpa harus partai bersifat nasional.
- Calon independen dipermudah tampil dan berlaga.
- Menghapus parliamentary treshhold 20% hingga memungkinkan lebih banyaknya calon presiden dengan begitu pilihan rakyat lebih banyak pilihan dan wacana publik pun lebih bervariasi.
- Dilakasanakanya agenda-agenda reformasi dan demokratisasi dengan sungguh-sungguh, meneguhkan supremasi sipil, menolak dwi fungsi meliter, penyeselasian kasus-kasus HAM masa lalu dan konflik-konflik yang berhubungan dengan tambang dan infrastruktur, seperti kasus 65, tanjung priok, talangsari, atau yang terkini kasus konflik tanah di papua, reklamasi teluk benoa bali, tambang tumpang pitu banyuwangi dan lain-lainnya.
- Dimunculkanya diskursus dan wacana yang lebih elementer, yang langsung menjurus pada penyelesaian kasus, bukan sekedar basa-basi politik yang bersifat permukaan.
- Stop ekploitasi dan pembodohan rakyat dengan isu-isu SARA, primordial, HOAKS, dan isu-isu kebencian yang tidak mengarahkan rakyat pada kemajuan.
Cebong dan kampret jangan baper…!