PADA zaman milenial, bagi anak zaman now di Bali, banyak bertebaran semboyan aneh: “Banten, alat untuk upcara adat dan agama, tak perlu dipelajari. Kini bisa dibeli, toh pedagangnya banya di pinggir jalan”.
Saya sendiri, sebagai generasi milineal, khawatir dengan kondisi ini. Memasuki era modernisasi di mana teknologi makin canggih, tak ayal membuat pemuda-pemudi Hindu di Bali semakin berpikir secara praktis, tanpa memikirkan generasi berikutnya dan kelestarian budaya.
Dari waktu ke waktu banyak hal positif yang mulai kita tinggalkan, seperti kegiatan sederhana yang tidak banyak diperhatikan oleh pemuda-pemudi kita: membuat banten (matetuesan, majejaitan, matanding).
Beberapa tahun lalu, orang tua masih menekankan dan mendidik anaknya untuk tetap menjalankan tradisinya dalam membuat banten. Kebanyakan orang tua berpikir bahwa anaknya kelak minimal bisa membuat banten upakara yang sederhana, semisal canang sari.
“Jadi anak perempuan, minimal kamu bisa membuat canang sari, kalau kamu menikah nanti supaya tidak merasa malu di depan mertua, karena banten sederhana seperti canang sari akan sangat sering kamu gunakan di kehidupan rumah tangga.”
Begitu kata ibu Seni. Ia seorang ibu rumah tangga penjual canang.
Mengenai cara mendidik, tentu seriap orang tua mempunyai caranya masing-masing. Ada beberapa orang tua yang membiasakan anaknya mengenal budaya, dan mengajarkan tradisi.
Tapi ada pula sebagian orang tua mulai berpikir secara praktis, bahwa banten-banten upakara sudah ada banyak dijual, dan tidak jarang hal tersebut dijadikan sebagai ajang untuk berbisnis, sehingga kita cukup membelinya.
Namun ketika kita mengoreksi lebih dalam lagi, tujuan utama kita belajar mejejaitan bukan hanya untuk sekadar bisa membuat banten, tetapi seharusnya berpikir akan keberlangsungan budaya yang berkelanjutan.
Anak-anak muda harus mengenal budayanya, tanah kelahirannya, supaya ketika nantinya mereka dewasa, mereka akan merasa sudah siap ketika terjun langsung ke adat masing-masing. .
Cara yang dapat dilakukan yakni dengan mendidik anak-anaknya sejak usia dini dengan berlatih membuat banten upakara yang sederhana, supaya mejejaitan dikenal sejak usia kecil. Mulai dari matetuesan, nyait, dan matanding agar anak-anak zaman milenial ini terhindar dari pemikiran praktis bahwa banten sekarang bisa dibeli.
Mari amati di sekitar perjalanan, penjual banten juga kebanyakan orang dewasa dan lanjut usia. Kemana anak muda? Mungkin main gadget. Jika demikian halnya, jangankan menjual, membuat banten pun nanti kita tidak bisa. Jika tak ada yang menjual, di mana kita akan membeli? (T)