SEBUAH antologi cerpen berbahasa Indonesia berpengarang orang Bali baru saja lahir. Resminya lahir pada 21 Agustus 2018 di Balai Bahasa Bali dalam sebuah acara bedah buku yang rutin diselenggarakan lembaga tersebut. Judul buku antologi ini “Gadis Suci Melukis Tanda Suci Di Tempat Suci”, karya Made Adnyana Ole, pengarang aseli Bali yang karya dan figurnya cukup dikenal dalam dunia sastra serta jurnalistik di Bali.
Buku antologi ini, hingga tulisan ini rampung,setidaknya telah diulasoleh 4 orang yang punya kemampuan mengulas karya sastra sangat baik, namun hanya 3 yang telah saya baca.
Pertama adalah Sugi Lanus yang ulasannya atas antologi ini masuk jadi bagian awal buku ini. Sebagai pembaca karya/teks tradisional (lontar), Sugi Lanus menggambarkan antologi dan pengarangnya ibarat petani dan segala hiruk pikuk laku agrarisnya. Sebuah pendekatan membaca karya dan pengarang dari sudut pandang yang sangat otentik dari pembaca budaya agraria.
Kedua adalah Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., guru besar ilmu sastra Fakultas Ilmu Budaya Unud yang didaulat menjadi eksekutor dalam acara bedah buku antologi ini oleh Balai Bahasa Bali. Prof. Darma Putra mengupas tuntas antologi cerpen ini melalui pendekatan Atavisme. Sebagai guru besar bidang sastra,
Prof. Darma Putra selalu berhasil menghadirkan pendekatan-pendekatan menarik untuk melihat karya sastra, ya seperti pendekatan Atavisme ini. Menyegarkan kembali ingatan peneliti sastra akan sebuah pendekatan menarik yang ditawarkan oleh Subagio Sastrowardoyo pada tahun 1969.
Ketiga adalah Ida Ayu Putri Adityarini, yang satu ini adalah bagian dari tubuh Komunitas Mahima, juga sahabat istri saya (otomatis jadi sahabat saya juga). Ulasannya lebih pada pelampiasan kedekatan emosi membaca karya dan bagian dari tubuh Komunitas Mahima, serta pintasan karakteristik penulis antologi. Dayu Rini memberi kita gambaran yang cukup jelas tentang siapa, bagaimana, dan apa itu Made Adnyana Ole dalam karyanya kali ini.
Katiga ulasan dan pengulas antologi ini membaca dengan baik dari perspektif mereka masing-masing setiap detail cerpen, lalu mengelaborasinya dengan ketajaman intuisi masing-masing dan bernarasi dengan gaya masing-masing. Rasanya sudah cukup, meski tak pernah ada kata cukup untuk mengulas sebuah karya sastra yang tak ubahnya organisme, ia akan tumbuh dan melahirkan berbagai kemungkinan perspektif, meski itu dicerna oleh satu kepala yang sama, apalagi dicerna oleh banyak kepala.
Saya mencoba untuk tidak turut ikut pada mengulas karya sastranya, sebab selain karya sastranya, ada pula karya ilustrasi dalam buku ini, dan karya ilustrasi ini adalah bagian yang terintegrasi dalam buku ini.
Ilustrasi pada buku ini mengambil peran yang sangat besar dalam memadupadankan imajinasi pembaca dengan kenyataan dalam karya sastra. Ilustrasi pada buku antologi ini turut pula melahirkan imaji-imaji liar pembaca akan ide dan pesan yang coba dihadirkan pengarangnya. Bahkan, jika mau jujur dan sangat jujur, pembaca akan berimajinasi jauh lebih liar ketika membaca cerpen, lalu disela dengan ilustrasi diantaranya, seperti yang saya alami. Sebab karena alasan itulah tulisan ini kemudian hadir diantara mata Anda, ya,,Anda,
Ilustrator dalam antologi ini adalah Dewa Gede Purwita Sukahet, seorang seniman yang dalam antologi ini memainkan goresan-goresan acak-terarah untuk menghasilkan sebuah ilustrasi di masing-masing cerpen serta sampul buku ini. Pada catatan ilustrator yang berada pada bagian belakang buku ini, Dewa Purwita menjelaskan sekilas kronologi ia didapuk sebagai ilustrator antologi ini, kemudian menjabarkan studi visualnya pada proses penciptaan ilustrasi, hingga finalisasi karya yang dipilih dari semua hasil karya yang telah diciptakan.
Dalam catatannya, Dewa Purwita mengakui mengadaptasi gaya (motif) I Ketut Gede, seorang perupa tradisional asal Singaraja yang belakangan sedang ia usut-usut laku kesenimanannya. Proses adaptasi gaya dari I Ketut Gede inilah yang kemudian saya baca sebagai sebuah proses menghadirkan kembali identitas kepurbaan dalam karya post-modern.
Jika pendekatan Atavisme adalah kesadaran/ketaksadaran (kesengajaan/ketaksengajaan) menghadirkan unsur-unsur kepurbaan pada komposisi (apapun) modern, lalu bisakah ini disebut Post-Atavisme? Entahlah. Sebab Dewa Purwita mengusung unsur-unsur kepurbaan tersebut pada ranah post-modern.
Saya sendiri membaca karya Dewa Purwita dalam seri ilustrasi pada antologi ini sebagai karya yang tergolong pada karya post-modern.Sebab karya-karya Dewa Purwita begitu atraktif dengan goresan yang tanpa keraguan serta arsiran yang tegas sebagai salah satu jalan menghadirkan dimensi gelap-terang. Menghadirkan unsur-unsur bebas terarah, serta berlaku tradisi dengan menjaga identitas dari perupa, inilah yang jadi alasan saya menyebut karya ini post-modern.
Mengambil referensi pada karya I Ketut Gede yang cukup atraktif memainkan warna, lalu diadaptasi pada karya yang hanya mengandalkan pensil/chorcoal saja, tentu Dewa Purwita menjadi begitu liar untuk lebih mengeksplorasi goresannya.
Saya ambil contoh pada ilustrasi cerpen4 dari 100 Lelucon Politik, pada ilustrasinya Dewa Purwita menghadirkan goresan acak gelap yang dibuat sebagai latar gambar dua buah payung atau dalam bahasa Bali disebut tedung yang tertutup/kuncup. Pilihan tedung bukan tanpa alasan, dalam istilah tradisional Bali, penguasa/pejabat disebut sebagai tedung jagat (payung dunia), orang yang semestinya mampu menjadi peneduh bagi rakyat.
Namun pada ilustrasinya justru tedung itu dibuat kuncup/tertutup, sebagai visualisasi bahwa para tedung jagat itu tak lagi mampu menjadi peneduh, pelindung rakyat. Ini tentu saja merupakan visualisasi ini dari cerpen 4 dari 100 Lelucon Politi” yang mengisahkan tindakan-tindakan konyol, menggelikan, sekaligus menjengkelkan para calon tedung jagat yang dinarasikan oleh pengarang. Sementara latarnya yang dibuat hitam dengan goresan garis tegas namun acakmenjadi representasi kekesalan dalam balutan kegelian narator dalam kisah cerpennya.
Terdapat pola-pola bebatuan khas I Ketut Gede yang samar samun cukup jelas di belakang arsiran hitam pada ilustrasi ini. Menyamarkan pola bebatuan di antara goresan tegas mengisyaratkan bahwa perupa hendak tampil dengan gaya post-modern namun tetap menjaga itikad tradisional.
Pada ilustrasi ini, kombinasi samar-jelas, tradisi-post-modern hadir dalam satu bingkai yang sangat tegas. Simbol-simbol tradisi hadir dengan sangat kuat, kemudian bersama teknik gores bebas-lepas ala post-modern, ia menyublim.
Ilustrasi kedua yang saya baca sebagai kuatnya atavisme dalam seri ilustrasi antologi cerpen ini adalah pada ilustrasi cerpen Darah Pembasuh Luka. Cerpen pada halaman 51 ini, mendapat ilustrasi sesosok perempuan bersayap dengan dengkul yang berisi motif batu dan daun. Tokoh cerpen ini bernama Tantri, seorang perempuan yang memiliki luka/borok pada kaki kirinya. Dewa Purwita menggambarkan sosok Tantri dengan perempuan bersayap tanpa kepala, hilangnya kepala pada sosok ini tentu berkaitan dengan kisahan pada cerpen. Baca saja cerpennya, Anda akan paham kenapa ilustrasinya adalah sosok tanpa kepala.
Sosok manusia (perempuan) bersayap dalam banyak mitologi tradisi sering kali muncul, biasa disebut bidadari, dedari, atau apsari. Dengan menghadirkan sosok dedari yang tumbuh pada kesadaran-kesadaran purba, tentu menjadi satulagi bagaimana atavisme hadir pada karya Dewa Purwita. Ditambah lagi dengan pola batu dan daun dengan gaya tradisional khas I Ketut Gede pada lutut sosok dedari ini. Kenapa ada motif batu dan daun pada lutut dedari? Sekali lagi Anda baca saja cerpennya akan paham nantinya.
Menggoreskan garis dengan “sekenanya” kembali dilakukan perupa pada karya ilustrasi ini. Bentuk tubuh dari sosok dedari ini dibuat dengan gestur yang aduai apiknya, namun dengan proporsi yang tidak proporsional. Seperti jari-jemari yang cukup panjang, bentuk telapak kaki yang tidak proporsional dengan panjang kaki, bentuk lengan yang juga tak proporsional panjangnya. Gaya ini mengingatkan saya pada bentuk-bentuk tubuh tak proporsional dari karya-karya Lempad. Bedanya adalah Dewa Purwita memainkan garis yang lebih liar dibandingkan Lempad, dan pada titik inilah karya Dewa Purwita saya sebut post-modern.
Bagi saya yang merupakan penikmat seni kelas amatir, melihat karya Dewa Purwita tidak semata sebagai sebuah ilustrasi sekumpulan cerpen, ia lebih pada titik kulminasi yang mampu dicapai Dewa Purwita dalam mengilustrasi ragam narasi. Tak semata narasi ide yang dituangkan cerpenis, namun narasi-narasi estetis yang diwariskan oleh perupa tradisional Bali. Sehingga karya yang hadir memiliki citra rasa tradisi sekaligus post-modern. Cover buku ini bagi saya adalah puncak kulminasi tersebut.
Cover buku hadir dengan ilustrasi pola api-api yang merupakan pola api khas gaya lukis tradisional Bali. Pola api dibuat membentuk pola yang seirama sekaligus berlawanan secara horisontal. Dan kekuatan pola api ini kemudian dilibas dengan garis merah vertikal memotong arah api yang horisontal.
Sekali lagi Dewa Purwita mununjukkan keberaniannya menggores garis bahkan kali ini dengan warna yang begitu berani. Saya belum temukan alasan mengapa antologi ini memilih lukisan ini sebagai cover. Tapi prediksi saya, alasannya barangkali karena lukisan ini mengandung unsur api, unsur merah, unsur tegas, unsur lugas, unsur luka, unsur bimbang, semua unsur yang membangun narasi cerpen-cerpen dalam antologi ini. Sebab pola api ini pula muncul dalam bagian-bagian cerpen sebagai penyela antar perubahan alur, dan barangkali cerpenis memang turut pula menyukai pola api ini yang dianggap mampu merepresentasikan gagasannya.
Sayang beribu sayang cover buku ini memilih untuk menggunakan warna emas rada mengkilap (glosy) untuk menuliskan judulnya. Akibatnya judul buku menjadi samar dan saru karena latar lukisan ini berwarna agak krem peach. Barangkali jika judul buku berwarna lebih gelap (hitam misalnya) seperti tulisan nama pengarangnya akan jadi beda penampakannya. Judul akan lebih jelas terbaca, lebih kontras, lebih josh..lah. Atau kalau lebih berani lagi, sekalian saja perupa yang membuat tulisan judul dengan gaya goresnya yang sudah saya deskripsikan di atas, sehingga lebih menyatu lagi dengan lukisan cover.
Made Adnyana Ole memberikan ruang untuk Dewa Purwita menulis catatan tentang prosesnya mengerjakan ilustrasi, dan inilah ruang yang dimanfaatkan Dewa Purwita sebagai ruang untuk mempertanggungjawabkan hasil karyanya. Menghasilkan karya seni rupa menurut saya tidak semata mengolah imaji lalu menghasilkan visual yang estetis, namun lebih jauh dari sekadar itu saja. Seniman mesti melakukan riset yang mendalam serta menyeluruh sebelum ia beranjak untuk menggores media, sehingga tak menghasilkan sebuah karya yang sekadar estetis namun juga bermakna serta berintelektual.
Pada karyanya Dewa Purwita melakukan riset yang cukup dalam, sebab ia mengungkapkan itu dalam catatannya dengan istilah “studi visual”, dan barangkali tak hanya “studi visual” tapi pasti juga studi pustaka. Perjalanan studi visualnya pun ia jelaskan dengan cukup detail.
Pada penutup catatannya Dewa Purwita mengungkapkan suatu yang menarik, alasannya melakukan studi visual (riset) pra-berkarya adalah hanya karena “suka” saja. Jelas sebuah riset adalah pondasi yang harus dimiliki perupa sebagai modal dasar berkarya dan modal untuk membuat pertanggungjawaban atas karya yang dihasilkan, dan alasan “suka” yang diungkap Dewa Purwita menunjukkan bahwa ia seniman yang tak sekadar “suka” riset namun serius riset, seniman-peneliti kalau boleh saya menyebut.
Saya membeli buku antologi ini seharga Rp 55.000, harga yang sangat pantas untuk 9 buah cerpen yang begitu cakap, 10 buah ilustrasi yang begitu aduhai secara estetis dan ide. Membeli buku ini sekaligus Anda menikmati estetika sastra dan estetika visual dalam sekali lahap.
Yang paling saya kagumi dari dua kolaborasi apik ini adalah menyatunya frekuensi antara pengarang dan perupa dalam mengangkat unsur-unsur kepurbaan pada media modern dan post-modern. Saya bertaruh berapapun! Made Adnyana Ole dan Dewa Purwita tidak pernah bersepakat untuk mengangkat kesadaran-kesadaran masa silam pada karya mereka masing-masing. Inilah yang mengagumkan,,, (T)