April, 2013
“Lulus SMA nanti, kamu mau lanjut ke mana?”
Seorang teman bertanya pada saya yang saat itu sedang pusing-pusingnya menentukan masa depan. Keadaan itu semakin diperparah oleh kenyataan bahwa kami memang sedang di ambang kelulusan SMA. Ketika ditanya, saya hanya bisa terdiam dengan raut yang seolah berkata, “bisa tidak kamu pergi dan jangan tanya-tanya saya lagi?”
Sepertinya dia bisa menangkap maksud saya dan perlahan menjauh karena saya tahu dia mungkin juga bingung dengan masa depannya. Bertanya pada teman yang juga bingung adalah alibi untuk mencari secerca harapan bahwa kita tidak sendiri. Rata-rata memang begitu, sejauh yang saya tahu, masa SMA adalah tahap kebingungan pertama dalam tangga karir yang akan kita jejaki.
Selanjutnya apa? Kuliahkah atau bekerja dan puas dengan ijazah SMA? Kalau kuliah, di mana dan jurusan apa? Saya yang ketika itu sangat mencintai bidang sastra dan Bahasa Indonesia sangat dibuat bingung antara mengikuti passion atau mencari prospek kerja. Jelas saya ingin pekerjaan yang bagus dan berpenghasilan pasti. Sempat saya terpikir untuk menjadi guru Bahasa Indonesia, tetapi banyak isu menyesaki telinga saya bahwa pengangkatan guru Bahasa Indonesia itu susah, siapa yang mau kamu ganti? Benar juga, saya tidak mau berakhir dengan pengabdian yang sia-sia di era yang seba cepat ini.
Saya tidak kehabisan akal, saya bergegas pergi untuk menemui salah satu guru untuk meminta saran dan pencerahan terkait jalan mana yang harus saya ambil. Kebetulan beliau adalah guru Bahasa Inggris, lalu beliau menyarankan saya untuk mengambil jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di salah satu universitas terkemuka di Bali Utara.
Saya bergidik, nilai Bahasa Inggris saya standar, bagaimana bisa saya lancang untuk mengambil jurusan itu? Bisa-bisa saya jadi mahasiswa terbodoh di kelas. Namun, saya tetap memikirkan saran tersebut karena beliau juga mengatakan bahwa peluang kerja akan terbuka lebar jika kita menguasai bahasa asing, jika tidak menjadi guru bisa juga bekerja di bidang pariwisata.
Sehubungan pernyataan yang menggiurkan itu, selepas kelulusan ada waktu tiga bulan untuk mempersiapkan diri, maka saya mengikuti kursus Bahasa Inggris. Pendidikan Bahasa Inggris pun saya pilih dengan jalur undangan meski rasa was-was masih menggelayut dalam benak saya.
Juni, 2013
Gerah, sesak. Tiba-tiba saja saya sudah berada di antara kerumunan orang yang sedang mengantri dan di masing-masing tangannya memegang map berwarna kuning dipenuhi berkas-berkas. Auditorium Undiksha, saya adalah salah satu orang yang mendaftar ulang. Sempat tak percaya, malam itu saya tengah bersiap untuk latihan menyanyi persiapan tampil di Pesta Kesenian Bali, tiba-tiba seorang teman menyelamati saya lewat pesan singkat, “Putri, selamat ya kamu lolos SNMPTN undangan di Pendidikan Bahasa Inggris!”
Masa orientasi kampus saya ikuti dengan baik dan khidmat. Awal-awal di semester satu saya mendapat banyak teman baru dan kelas yang cukup solid. Tidak tanggung-tanggung, saya masuk di kelas A, bisa dibayangkan saya akan berkutat dalam persaingan yang begitu ketat bersama orang-orang yang sebagian besar ambisius.
Saya merasa kecil karena modal awal saya adalah basic grammar dan teman yang lain sudah fasih berbahasa Inggris dengan was wes wos-nya. Namun saya tidak berkecil hati, saya masih bisa bersaing dengan keaktifan dan modal ilmu yang saya dapat dari kursus. Akhir semester satu, hasil belajar saya tidak terlalu buruk walau pun masih ada nilai B di sana-sini dan satu nilai C yang membuat dada sesak, nilai C itu dipersembahakn oleh mata kuliah umum Bahasa Indonesia, sungguh ironis.
Ya, nilai A hanya untuk dewa, saya ingat perkataan salah satu dosen pada saat itu. Saya tidak paham cara penilaian macam apa yang dijadikan pedoman, tapi saya pantang menyerah dan untungnya saya tidak sendiri, saya bertekad memperbaikinya di semester mendatang bersama kawan-kawan korban keganasan nilai C ini.
Agustus, 2014
Semester tiga masih terasa seru dan sibuk dengan banyak tugas, juga mulai memasuki masa PPL-awal – kegiatan observasi awal di sekolah sebelum memasuki praktek mengajar yang sesungguhnya. Saya pun mulai akrab dengan teman-teman di kelas, bahkan beberapa dari kami mulai membentuk grup-grup kecil-kecilan untuk sekedar berbagi canda dan tawa, juga untuk sekedar bergosip ala anak kuliahan. Dari mengidolakan dosen-dosen muda berpenampilan fresh dan fashionable hingga dosen yang pintar mengajar atau yang membosankan tidak luput dari lingkaran topik bahasan kami.
Banyak yang mengatakan bahwa dunia kuliah sangat jauh berbeda dari dunia putih abu-abu. Orang-orangnya cenderung individual dan membosankan. Namun saya rasa tanggapan mereka salah, menurut saya teman-teman di kelas sangat menyenangkan dan saya mulai menyukai dunia kuliah. Masalahnya hanya, perjuangan mempertahankan nilai yang semakin sulit karena alur pemikiran dosen yang semakin susah ditebak.
Februari, 2015
Adalah awal kehancuran dari prestasi akademik saya. Sebuah kecerobohan dalam dunia pendidikan karena kurangnya pemahaman mengantarkan saya pada anjloknya IPK dan terguncangnya psikis saya. Memang, kalau tidak cukup berhati-hati bertingkah laku di dunia kuliah, bisa-bisa kita akan celaka dan ini adalah kesalahan – yang cukup besar – pertama saya selama saya kuliah. Pahit getir bersitegang dengan salah satu dosen pengampu mata kuliah pun harus saya telan.
Agustus, 2015
Habis gelap, terbitlah terang. Semester lima justru menjadi masa keemasan saya. Saya mencoba peruntungan untuk keluar dari zona nyaman dengan mengikuti organisasi dan berbagai perlombaan baik di kampus, provinsi, mau pun di nasional dan usaha saya berbuah manis.
Sayangnya, saya sempat hampir tidak diluluskan di salah satu mata kuliah karena sebulan lamanya dispensasi, agak menyesal karena ternyata jerih payah saya untuk mengharumkan nama kampus seperti tidak ada apa-apanya, namun akhirnya saya mengerti bahwa itu untuk kebaikan saya juga.
Coba bayangkan, sebulan saya tidak ikut kuliah otomatis saya ketinggalan banyak materi dan tugas-tugas yang harus dipenuhi agar mendapatkan nilai. Akhirnya, setelah bernegosiasi dengan dosen yang bersangkutan, saya diberi alternatif agar bisa lulus yaitu dengan mendapat tugas tambahan. Walau pun sedikit pahit, namun semester ini adalah favorit saya selama menempuh perkuliahan.
Februari, 2016
Semester enam. Kami sedang giat-giatnya menjadi calon guru yang kreatif dan inovatif dalam mata kuliah Micro Teaching. Cukup seru dibarengi dengan tingkah teman-teman yang terlihat konyol ketika berperan seolah seperti anak SD, SMP, atau SMA. Tapi semua itu hanya untuk sebuah nilai, kami hanya berpura-pura menjadi guru. Ketika itu teman-teman khususnya di grup saya yang kami sebut dengan WAB (Wanita Alay Bedebah) masih tetap solid, masih suka bergosip ria dan ngumpul di kost-kostan salah satu teman layaknya sebuah basecamp. Meski pun demikian, tabiat-tabiat buruk ala anak kuliahan memang mulai tercium di kelas, seperti keegoisan dan berbagai cara yang dihalalkan untuk sebuah nilai.
Juli, 2016
Kuliah Kerja Nyata (KKN) menghantarkan saya ke dalam pergaulan baru. Saya berbaur dengan kawan-kawan berbeda jurusan dan fakultas. Ketika itu, saya adalah satu-satunya anak Bahasa Inggris di sana. Agak canggung, namun untungnya ada beberapa yang saya kenal lewat UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) kampus. Awal-awal minggu di desa terasa kaku karena salah seorang kawan bersikap aneh terhadap saya.
Entah mengapa ia sangat membenci kehadiran saya, bahkan untuk menatap pun tak sudi. Saya merasa tersudutkan dan mulai menghitung hari kapan KKN ini akan berakhir. Semakin dihitung semakin lama waktu berjalan, saya harus tetap sabar dengan situasi itu. Memasuki minggu ketiga, keajaiban terjadi. Perempuan yang tadinya membenci saya itu tiba-tiba luluh dan mau berbaur dengan saya, bahkan setelah itu kami seolah seperti saudara yang pernah terpisah lama. Saya mulai nyaman dengan situasi itu, ditambah dengan teman-teman yang solid. Untuk pertama kalinya, saya ingin agar durasi KKN ditambah lagi.
Agustus, 2016
Awal semester tujuh, saatnya penjurusan mata kuliah konsentrasi. Dari tiga konsentrasi yang ada, 99% teman sekelas memilih English for Tourism dan hanya 1% yang memilih Creative Writing, dan itu saya. Seperti ikan salmon yang berani melawan arus, saya memilih untuk menjadi idealis dan tidak terpaku pada fenomena ‘ikut-ikutan tema’. Saya mencoba skill baru untuk memproduksi karangan saya sendiri dengan bahasa yang berbeda dari sebelumnya, Bahasa Inggris.
Hasilnya bisa dibilang biasa saja, diksi sastra saya masih terlihat kaku ketika dikonversi dari Bahasa Indonesia ke Bahasa Inggris. Memang, tidak semua kata atau maksud dalam Bahasa Indonesia bisa terlihat indah jika di-Bahasa Inggris-kan dan sebaliknya. Namun, lagi-lagi saya memberanikan diri untuk membuat tulisan dengan dua versi bahasa ketika kawan yang lain berpijak pada bahasa asing saja. Meski memakan waktu lama, tapi alasannya sederhana: agar bisa dibaca semua kalangan karena tidak semua orang menguasai bahasa asing.
Walau karya saya tidak sempat dibukukan karena beberapa faktor, saya tidak berniat untuk memendamnya di laptop, akhirnya saya hanya mempostingnya di akun Wattpad saya dan beberapa pembaca mulai berdatangan. Bukankah sebuah tulisan akan bermakna bila ada yang membacanya? Dari jerih payah saya itu, akhirnya dosen yang bersangkutan berbaik hati memberi saya nilai sempurna untuk ukuran 16 sks, ini adalah titik awal kebangkitan IPK saya.
Februari, 2017
Untuk pertama kalinya saya menyadari bahwa, menjadi pendidik bukanlah passion saya. Hal itu saya sadari ketika saya melaksanakan PPL-real atau peraktek mengajar yang sebenarnya di salah satu sekolah di Buleleng. Keyakinan itu timbul semata karena saya tidak siap melihat siswa yang nakal dan lambat menerima pelajaran. Tidak semuanya begitu, namun saya hanya beban batin ketika sudah benar-benar mengajar dan ternyata nilai ulangan mereka tidak cukup memuaskan, bahkan banyak diantara mereka yang belum hafal abjad dalam Bahasa Inggris.
Saya mulai merenung, mungkin sebagian dari diri saya bukanlah seorang pemerhati karena sulit melakukan pendekatan dengan siswa yang demikian. Tapi walau pun begitu, tidak sedikit dari murid-murid saya yang penurut sangat senang bila diajar oleh saya. Kesalahan kedua saya, saya lebih perhatian dengan siswa yang penurut dan mau memperhatikan penjelasan saya. Daripada saya merusak citra pendidikan, saya memilih untuk memikirkan lagi kemana saya akan melangkah – yang sebenarnya terlambat.
Maret-Desember 2017
Kelas mulai tidak kompak lagi. Setiap orang mulai mengambil jalan sendiri-sendiri dan tentunya sembunyi-sembunyi. Individualitas mulai terlihat dan tabiat buruk semakin tercium. Meski sebenarnya kesal, tapi ini adalah fase yang tak lagi asing di kalangan mahasiswa tingkat akhir. Satu per satu secara tak terduga teman-teman mulai ujian proposal skripsi, seolah ini adalah perlombaan, mereka tidak mau kalah satu sama lain dan terus bergerilya.
Saya mungkin kalah start tapi saya berusaha berjalan dengan kemampuan saya yang alakadarnya. Tanggal 2 Maret 2017 akhirnya saya ujian proppsal ditengah kroditnya PPL-real. Lagi-lagi saya melawan arus untuk memilih topik skripsi yang jarang dibahas mahasiswa di lingkungan saya. Setelah ujian proposal, saya sempat bimbang karena belum siap pemahaman terkait instrumen-instrumen yang harus dipenuhi. Pembimbing saya menyarankan untuk mengganti topik bahasan namun masih berkaitan dengan garis besar penelitian saya.
Judul demi judul dan revisi demi revisi tidak luput dari perjalanan panjang seorang pejuang skripsi seperti saya. Banyak waktu yang saya habiskan untuk memahami topik saya serta ketika pengumpulan data. Saya sempat tidak berani bimbingan karea saya belum selesai mengumpulkan data, entah mengapa saya menjadi seorang yang sangat struktualis padahal hal lain masih bisa saya kerjakan sembari menunggu hasil.
Menulis skripsi bukanlah perkara mudah bagi saya yang notabene memiliki latar belakang sastra. Menurut saya tulisan akademik terlalu kaku dan saya paling benci dengan teori, ditambah trauma membuat kesalahan dalam pengutipan. Terlalu banyak aturan dan membatasi pikiran liar saya. Selama delapan bulan kreatifitas saya terbatasi, rambut saya mulai rontok, wajah saya menirus, dan tubuh sama mulai menugrus. Saya sadar saya bukanlah ahli di bidang ini, tapi saya bangun kepercayaan saya sedikit demi sedikit, melangkah perlahan meski tertatih. Berdiri di atas kaki sendiri.
Sudah dua periode wisuda saya lewatkan. Orang tua mulai bertanya kapan saya wisuda. Sebagian besar teman-teman di kelas sudah tamat termasuk personil Wanita Alay Bedebah, namun masih ada sebagian yang tercecer termasuk saya. Mereka mulai sibuk dengan kehidupan baru seakan lupa pernah memiliki teman yang mau menyediakan pundak untuk bersandar dikala sedih dan ikut tertawa dengan lelucon renyah. Mereka susah dikenali lagi karena sudah jarang nimbrung di group chat yang dulu kami bangun. Saat itulah saya benar-benar percaya bahwa dunia kuliah tidak seindah sinetron. Pada akhirnya kita akan berjalan sendiri-sendiri.
Lepas dari carut-marut kepalsuan pertemanan di dunia kuliah, saya mulai melangkah mencari relasi baru di luar kampus. Saya senang bertemu orang baru tapi tidak semua orang baru bisa dijadikan teman. Hanya sedikit orang yang bisa ‘membaca’ saya dan cocok berteman dengan saya, mungkin karena idealis atau saya adalah spesies aneh yang tertinggal di bumi.
Tapi beberapa orang asing mulai mendekat dan beberapa tinggal. Keterlambatan wisuda ini saya jadikan pijakan untuk mencari relasi sebanyak-banyaknya dalam persiapan karir saya kedepan. Saya mulai jatuh cinta dengan Singaraja dan pikir-pikir untuk pulang ke daerah asal, alhasil skripsi saya semakin macet karena alasan kedua ini.
Kembali sadar dengan kewajiban, saya membangun kembali kepercayaan diri dan memberanikan diri datang ke kampus. Pembimbing dua agak terkejut menerima kedatangan saya, beliau kira saya sudah menikah atau jadi PNS. Ya, memang wajar karena sudah terlalu lama saya menghilang.
Pembimbing satu masih mengenali saya karena saya lebih banyak berjuang dengan beliau. Alasan jarang ke pembimbing 2 karena yang pertama tahu duduk permasalahan diri saya adalah pembibing satu. Saya sadar saya yang salah karena tidak terbuka. Tapi perlahan saya mulai memperbaiki diri. Revisi demi revisi kembali saya tekuni, hingga suatu hari di bulan Desember, saya diizinkan untuk sidang skripsi.
28-29 Desember 2017
Hari yang mendebarkan itu tiba, sidang skripsi. Saya komat kamit di depan ruang ujian sambil memangku laptop dan mencermati slide-slide PowerPoint yang saya buat. Sudah lama tidak presentasi, perasaan gugup menyelimuti saya. Tak lama berselang, salah satu penguji saya hadir dan duduk di sebelah saya. Saya kenal beliau, dosen pemurah yang sudah mengajar saya sejak di semester satu. Mekipun demikian saya tetap gugup karena banyak hafalan di kepala. Beliau tersenyum sambil menggoda saya, “gak usah belajar, santai saja.” Saya balas nyengir getir.
Giliran saya. Benar saja, saya sangat gugup ketika presentasi, kata-kata yang tadinya saya rancang lenyap seketika. Jujur, saya memang kurang percaya diri saat presentasi dengan Bahasa Inggris, makhlum karena saya lebih suka menulis. Tapi, apa pun yang terjadi, setidaknya saya sudah berusaha semampu saya. Pertanyaan demi pertanyaan saya jawab dengan penuh kejujuran. Akhirnya sidang pun selesai dan kelegaan yang luar biasa menyambut saya.
Keesokan harinya, saya beserta kawan seperjuangan diyudisium yang artinya sudah resmi menyandang Sarjana Pendidikan (S.Pd.). Saya sangat gembira hingga tak percaya saya bisa lulus dan melewati masa kritis ini. Meski demikian, saya harus puas dengan nilai B di tangan untuk skripsi. Tapi saya tidak peduli, yang penting saya lulus dan IPK saya tidak terlalu buruk, lumayan untuk melamar pekerjaan nanti.
Demikianlah kaleidoskop perjalanan saya selama menempuh ilmu perkuliahan. Saya yakin bukan hanya saya yang merasakan pahit getir ini, tapi bedanya mungkin banyak yang enggan berbagi atau menyuarakan keresahannya.
Tulisan ini tidak lain adalah sebuah perwakilan untuk pejuang-pejuang skripsi ‘taliban’ di luar sana yang telah melalui perjuangan yang berat hingga sampai di titik ini, pun untuk mereka yang masih berjuang melawan keraguan dan rasa takut. Selamat bagi yang telah lolos dan teruslah berjuang bagi kalian yang masih berjuang. Lulus hanyalah soal waktu karena skripsi yang baik adalah skripsi yang selesai. (T)