SYAHDAN dua puluh satu tahun silam, pada tahun 2004, Dewan Kesenian Jakarta membuat acara bertajuk “Cakrawala Sastra Indonesia”. Selain pentas sastra juga diterbitkan serangkaian antologi berisi karya-karya para sastrawan dari berbagai wilayah: Yogyakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi Selatan, Sumatra Barat dan Riau.
Buku yang memuat karya-karya sastrawan Yogyakarta diberi judul “Medan Waktu”. Buku ini berisi puisi-puisi beberapa penyair yang aktif menulis puisi dan dapat dianggap mewakili dunia perpuisian Yogyakarta hingga tahun 2000-an.
Sebagian penyair yang puisi-puisinya termuat dalam buku tersebut kebetulan saya kenal secara pribadi. Mereka adalah Joko Pinurbo, Hamdy Salad, Iman Budhi Santosa, Suminto A Sayuti, Ulfatin Ch dan Raudal Tanjung Banua.
Pada tahun 2004 itu, Joko Pinurbo, yang sering dipanggil Jokpin, sedang bergerak menuju puncak produktivitas yang kelak menjadikannya salah satu penyair paling masyhur di generasinya. Saya lupa kapan pertama kali bertemu dengan penyair ini, yang pasti di akhir dekade 80-an, saat ia masih menjadi mahasiswa sastra.
Sejak awal saya mengenalnya sebagai seorang lelaki bertubuh langsing dan bahkan nyaris “tipis”. Kulitnya coklat dan rambutnya hitam lurus, selalu dipangkas rapi, sama sekali tidak awut-awutan dan tak pernah gondrong. Jokpin suka mengenakan celana katun dan jarang mengenakan jeans atau pakaian gaya anak muda kontemporer.
Ia juga jarang memakai sepatu kets, melainkan sepatu kantoran hitam yang sesekali tampak mengilat oleh semir. Lengan bajunya terseterika rapi, kadang bermotif kotak-kotak, tapi lebih sering mengenakan yang polos. Di Yogyakarta, ke mana-mana ia suka naik becak, kendaraan umum atau ojek, atau naik taksi jika sedang berada di kota besar seperti Jakarta.
Entah kenapa, setiap kali bertemu Jokpin saya teringat guru bahasa di sekolah saya dulu: seorang lelaki bersahaja dan tidak nyentrik tapi memiliki pengetahuan luas perihal sastra Indonesia. Seorang guru yang lihai menerangkan berbagai hal pelik dengan cara yang sederhana dan pandai menceritakan kembali isi novel atau puisi dengan sangat menarik. Kata-kata yang keluar dari mulutnya seringan tubuhnya.
Tentu saja Jokpin bukan guru dan pikiran-pikirannya sama sekali tidak sederhana. Selain itu, Jokpin adalah orang yang tak suka menonjolkan diri sebagaimana juga tak suka tampil di depan umum. Dalam acara kumpul-kumpul ia lebih suka berdiri agak di belakang di dekat sudut ruangan.
Tapi, ia sama sekali bukan jenis lelaki yang tertutup. Ia cukup mudah bertegur sapa meski tak dapat dikatakan sebagai orang yang gampang menepuk-nepuk bahu lawan bicaranya dengan hangat lalu tertawa bergemuruh hingga bahunya berguncang-guncang. Jokpin bukan jenis lelaki yang riuh dan gampang berterus terang, tapi juga bukan orang yang menyimpan rapat-rapat dunianya. Yang pasti, ia sangat cerdas berhumor.
Jokpin tinggal di sebuah rumah ukuran sedang dengan satu ruang tamu dan satu ruang tengah tempat kedua anaknya mengerjakan pekerjaan sekolah. Di ruang tengah itu terdapat satu televisi, meja makan yang tak terlalu besar dan beberapa almari penuh buku-buku. Ada tiga kamar tidur dan satu kamar mandi serta satu dapur di bagian belakang.
Rumahnya itu terletak di ujung sebuah gang lempang tanpa pagar dengan halaman tanah yang luas dipenuhi bayang-bayang teduh pohon-pohon melinjo. Tegalan di belakang rumahnya berbatasan dengan tanggul curam sungai Bedog yang ditumbuhi rumpunan bambu ori. Jika malam, rumah itu segera senyap karena anak-anak dan istrinya biasa tidur cepat. Pagi-pagi sekali istrinya itu sudah bangun karena selain harus mengerjakan ini-itu juga mesti lekas berangkat mengajar di sekolah yang letaknya hampir 35 kilo meter di luar kota Yogyakarta yang ditempuhnya dengan naik bus.
Pada malam-malam itu kadang ada temannya yang datang berkunjung untuk mengobrol ini-itu. Dan jika tak ada tamu yang datang, Jokpin biasa duduk sembari merokok dan minum teh di teras. Tentu, pada malam-malam itu suara binatang penggerek terdengar tipis dari pohon-pohon melinjo dan pohon kelapa yang sesekali digerak-gerakkan oleh angin dan kelam.
Jika musim hujan, udara di sekitar rumahnya terasa lebih sejuk ketimbang di tempat lain di kota Yogyakarta. Padahal rumahnya tidak berada di daerah perbukitan melainkan di tengah permukiman kota yang tak terlalu jauh dari kawasan Malioboro yang padat itu. Dan jika di musim kemarau, pada sore hari, selalu tercium harum ruap tanah karena istrinya rajin menyirami halaman itu dengan air.
Hingga tahun 2000-an, rumah Jokpin adalah rumah yang sederhana dan bersih dengan udara yang tak terlalu panas, kadang agak hening, tidak terang benderang bahkan cenderung temaram, tapi sama sekali tidak murung. Kesunyian di rumah Jokpin bukan kesunyian kastil tua atau vila yang terbaring lamat-lamat di lereng gunung diselimuti kabut dan serbuk-serbuk embun, melainkan kedamaian rumah biasa sebagaimana lazimnya rumah-rumah di sebagian besar permukiman kota Yogyakarta yang beraroma senja itu. Segala sesuatu di rumah itu selalu tertata rapi dan jika pun ada yang berantakan biasanya akibat dari kegiatan bermain anak-anaknya.
Bagi saya, rumah Jokpin saat itu adalah sebuah rumah sore hari dengan tetangga-tetangga yang wajar di beranda kota di mana sesekali saya masih bisa mencium bau tanah dan melihat petang yang datang lebih cepat di antara pohon melinjo dan pohon kelapa.
Ketika masih kuliah dan belum berkeluarga Jokpin tinggal di beberapa tempat kos yang dekat dengan kampusnya. Selama kuliah itu ia selalu berjalan kaki, pergi-pulang, dari tempat kos ke kampusnya. Sebelumnya Jokpin pernah mengenyam pendidikan di sebuah seminari tapi tidak sampai tuntas.
Ia adalah seorang sarjana Bahasa dan Sastra Indonesia dari IKIP Sanata Dharma yang kemudian berubah menjadi Universitas Sanata Dharma di Yogyakarta. Ia sempat mengajar di almamaternya itu, kemudian membantu mengelola majalah Basis yang dipimpin almarhum Romo Dick Hartoko dan kemudian bekerja di penerbit Grasindo biro Yogyakarta. Sejak masih mahasiswa Jokpin sudah menulis puisi. Dan pada tahun 2004 ini, kurang lebih ia sudah dua puluh lima tahun menulis. Selain sajak, ia juga menulis esai dan cerpen.
TUKANG CUKUR, BECAK HINGGA KAIN KAFAN
Tentu saya memulai membaca buku Medan Waktu dengan sajak-sajak Jokpin. Di luar sajak-sajak yang termuat dalam buku itu, saya telah mengenal sajak-sajak Jokpin pada masa awal karir kepenyairannya sekitar tahun 1980-an. Puisi-puisi awal Jokpin itu cenderung ringkas dengan tema-tema seputar alam yang sejuk dan bening. Juga perihal hubungan manusia dengan alam yang tenang.
Setelah itu ia mulai banyak bicara tentang posisi manusia sebagai bagian dari alam, atau sebaliknya, alam sebagai ruang identifikasi eksistensi manusia – dan karenanya mesti ditunjuk dengan hati-hati – sekaligus sebagai kemungkinan predikasi atasnya sehingga dunia yang ditunjuk itu mesti dilepaskan dari keterbatasan makna bawaan untuk disusun dalam struktur kalimat berikut imaji baru yang muncul dari hubungan kedua hal tersebut. Di situ alam ditempatkan sebagai penanda utama dalam menggambarkan pengalaman eksistensial sang “aku” dalam kehidupan.
Pada sajak-sajak awal Jokpin, hubungan tersebut lebih mudah dilihat dalam konteks hubungan antara “dunia luar” dan “dunia dalam” yang terkadang sulit ditentukan batas-batasnya karena cenderung terjadi saling terobos di antara keduanya. Tapi pada saat yang lain, hubungan dua hal tersebut kemudian disejajarkan dengan kondisi eksistensial yang tak dapat disimpulkan dengan cepat dan ringkas karena pada dasarnya hubungan-hubungan itu tampak sementara dan tidak stabil. Akibatnya, alam tak lagi dilihat sebagai titik tolak utama, tapi telah digantikan oleh situasi hubungan yang sementara dan tidak stabil tersebut.
Itulah bahan utama atau penanda penting sebagai aspek material puisi-puisi awal Jokpin. Hubungan dua hal yang sementara dan tidak stabil itu ibarat huruf-huruf dalam bahasa yang kemudian disusun ulang untuk menghasilkan pengertian baru berikut makna tekstual yang tercipta melalui hubungan sintaksis yang jernih. Dan lantaran aspek material atau penanda utamanya adalah unit-unit konsep mental yang telah terbentuk oleh suatu situasi, maka sajak-sajaknya tak lagi berupa deskripsi tentang hubungan timbal-balik antara “dunia dalam” dan “dunia luar”, tapi lebih menekankan suasana yang tercipta dari hubungan tersebut.
Pada perkembangan selanjutnya, muncul tubuh atau badan manusia sebagai penanda utama imajerinya. Dalam pengantar buku kumpulan puisi Jokpin “Di Bawah Kibaran Sarung” (2001), Ignas Kleden mengatakan bahwa: “Badan mendapat sorotan utama, diselidiki dengan renungan yang intens, dan diberi peran ganda, baik sebagai tanda (signifier) maupun sebagai apa yang hendak ditandai (the signified)”.
Lebih jauh Kleden mengatakan, “Definisi kaum eksistensialis tentang manusia sebagai ‘ada di dunia’ (in der Welt sein / Being in the world) hanya dimungkinkan oleh badan atau tubuh kita. Yang spesifik pada penyair ini – dan berbeda dengan para eksistensialis – ialah semacam visi bahwa badan bukanlah bahagian intrinsik yang tak terpisahkan dari struktur manusia dan dunianya”.
“Badan diperlakukan sebagai sesuatu yang ekstrinsik, sedemikian rupa, sehingga seseorang dianggap dapat mencopot dan membuang tubuhnya sebagai penutup diri dan pribadinya, seperti halnya dia dapat mencopot pakaiannya sebagai penutup tubuhnya. Badan manusia bukanlah sekadar perlengkapan yang memungkinkan manusia berada di dunia dan memasuki eksistensinya, tetapi, demikian penyair kita, badan itu sendiri menjadi suatu dunia: suatu alam, geografi, dan bahkan lanskap. Alam besar di luar dengan pegunungan dan lembahnya seakan terpantul kembali secara sempurna dalam miniatur pada badan dan anggota-anggota badan”.
Apa yang dikatakan oleh Ignas Kleden itu sebenarnya merupakan hal yang sangat lazim dalam puisi, yakni prosedur sederhana yang disebut sebagai personifikasi. Alam dilihat sebagai manusia yang memiliki denyut jantung, embusan napas dan gejolak perasaannya sendiri, atau sebaliknya, badan manusia dilihat sebagai hamparan laut, lembah pegunungan, batu karang dan haru biru langit penuh bintang.
Personifikasi pada sajak-sajak Jokpin tidak hanya berstatus deskriptif, melainkan telah menempatkan tubuh dengan realitas intrinsiknya sendiri. Hubungan antara unsur-unsur tubuh sebagai pembentuk kesatuan baru itu biasanya disampaikan dalam hubungan sintaksis yang sederhana tapi dari situ kemudian tercipta imajeri yang bergerak keluar dari pengiasan langsung dari proses personifikasi timbal-balik antara tubuh sebagai dunia “dalam” dan alam (yang terpersonifikasikan oleh tubuh) sebagai realitas “eksternal”.
Pada bagian tertentu batas-batas antara dunia “dalam” dan dunia “luar” itu dapat saling tembus satu dengan yang lain sehingga dapat membawa pembaca pada permainan makna yang lebih kompleks. Hal itu dapat membawa permainan pada situasi yang pelik. Tapi karena Jokpin adalah seorang pencerita yang piawai sehingga berhadapan dengan sajak-sajaknya saya seperti sedang mendengarkan orang yang bertutur dengan bahasa yang lancar sehingga dengan mudah pula saya menemukan keindahan yang wajar dari susunan imajerinya hingga tiba-tiba saya sudah dibawa pada situasi yang benar-benar baru.
Ibarat orang yang sedang berjalan, mula-mula saya diajak menyusuri jalan yang nyaman, tidak sempit tapi juga tidak terlalu luas dengan jejak atau rambu-rambu yang mudah diikuti mata, di kanan kiri terdapat semak-perdu dan angin tipis, terkadang juga terdapat kelokan dan jalan mendaki menuju lereng yang tak terlalu terjal hingga tidak menyadari bahwa saya sudah berada di dalam situasi atau suasana liminal yang telah disiapkan dengan baik.
Hal itu terjadi ketika membaca sajak berikut ini:
TUKANG CUKUR
Ia membabat padang rumput yang tumbuh subur
di kepalaku. Ia membabat rasa damai
yang merimbun sepanjang waktu.
“Di bekas hutan ini akan kubangun bandar, hotel
dan restoran. Tentunya juga sekolah,
rumah bordil, dan tempat ibadah.”
Ia menyayat-nyayat kepalaku, mengkapling-kapling
tanah pusaka nenekmoyangku.
“Aku akan mencukur lentik lembut bulu matamu.
Dan kalau perlu akan kupangkas daun telingamu.”
Suara guntingnya selalu mengganggu tidurku.
(1989)
Tentu, hal pertama yang muncul di kepala saya ketika membaca bait pertama dari sajak itu adalah cerita mengenai pemandangan alam, padang rumput yang hijau segar dan tumbuh merimbun di hamparan sabana atau di lereng perbukitan, sebagai lambang tentang kedamaian dunia dan kehidupan. Lalu tiba-tiba datang seseorang entah dari mana yang dengan serampangan membabat padang rumput itu sebagaimana memangkas rambut di kepalaku.
Di situ terdapat pengiasan antara padang rumput dan rambut yang tumbuh di kepala, rasa damai dengan hijau rimbun padang rumput, dan keterangan perihal proses terbentuknya kedamaian tersebut, yakni dalam “waktu” asali. Itulah tangga pertama kisah ini.
Dan setelah cerita pembabatan yang merusak tatanan alam itu, saya diberi keterangan lanjutan: bahwa seseorang yang datang entah dari mana itu melakukan hal itu untuk membangun bandar, hotel, restoran, sekolah, rumah bordil dan tempat ibadah.
Keterangan tersebut merupakan tangga kedua yang memperluas cerita perihal hilangnya alam damai di padang rumput itu. Jika pada bait pertama, hilangnya padang rumput berhenti pada cerita peristiwa hilangnya dunia asali yang damai, kini diperjelas lagi bahwa semua itu dilakukan untuk membangun “peradaban”.
Jika pada tahap pertama, deskripsinya memberi gambaran peristiwa pembabatan, pada tahap berikutnya muncul keterangan tambahan (sebagai predikat), bahwa untuk membangun peradaban, pertama-tama seseorang yang datang entah dari mana itu, harus menyingkirkan kedamaian, bahwa peradaban manusia hanya dapat didirikan di atas tanah bekas hutan yang merimbun di “surga” masa silam yang damai.
Agaknya si “aku” sebagai penduduk asli kedamaian masa silam itu tidak dapat terlibat dalam proyek “pembangunan” dunia tersebut karena ia beranggapan bahwa para pembuat hotel dan tempat ibadah itu adalah pihak sana, yaitu sang mereka yang mendatangkan bencana, “menyayat-nyayat kepalaku, mengkapling-kapling / tanah pusaka nenekmoyangku”.
Tentu, secara tidak langsung hal itu mengingatkan saya pada cerita perihal penggusuran di berbagai permukiman yang dilakukan oleh satu pihak terhadap pihak lain yang sering terjadi hingga hari ini. Saya juga membayangkan orang-orang kampung yang kehilangan tanah, sawah dan ladangnya tanpa ganti rugi akibat proyek pembangunan.
Rupanya keterangan perihal pengkaplingan tanah penduduk itu hanya sekadar cerita tambahan yang dapat dihubungkan dengan situasi sosial tertentu. Dan ketika memasuki bait ketiga, saya menemukan implikasi lebih jauh dari peristiwa yang digambarkan pada bait-bait sebelumnya: yakni kerusakan tatanan asali berupa dunia warisan nenekmoyang yang sangat berharga itu, kini semakin mendekati tamat.
Cerita sudah menuju puncak: sang lain itu kini kian brutal karena akan mencukur habis lentik bulu matamu, bahkan kalau perlu akan memangkas daun telingamu. Sang lain itu tidak akan berhenti dengan proyeknya, bahkan juga berniat menyeret si penduduk aslinya, yakni penghuni “surga” masa silam yang damai, agar mau terlibat dalam proyek pembangunan peradaban.
Tapi agar si “aku” sebagai penghuni “surga” itu tidak terus merengek-rengek meratapi nasibnya, maka ia mesti diberi tahu bahwa membangun peradaban dunia yang baru itu memerlukan kerja besar, juga penegasan bahwa kehidupan adalah sebuah proyek yang kejam. Agar si bocah itu menjadi dewasa dan tidak cengeng, maka jalan satu-satunya adalah dengan memangkas telinga dan bulu matanya. Dengan begitu, si anak tak dapat lagi mendengar dan melihat dongeng tentang “surga” di masa silamnya.
Entah bagaimana, saat berada pada titik ini saya sebagai pembaca tiba-tiba menjadi berpihak kepada si bocah yang sedang menghadapi bencana. Saya berada di pihak penghuni kedamaian asali di masa silam yang dipaksa keluar dari surganya hanya untuk menemukan dunia lain yang semula tidak ia kehendaki.
Saya juga tergoda untuk membaca sajak ini sebagai cerita perihal “modernitas” yang oleh seorang filsuf disebut sebagai “an incomplete project” yang telah mengantarkan manusia pada status eksistensial yang baru, tapi juga telah memusnahkan status primordial manusia itu sendiri. Pun ekses-ekses negatif berupa kerusakan alam.
Boleh jadi sang lain dalam sajak di atas adalah “modernitas” dalam bentuk “modernisasi” berwajah buruk semacam itu. Modernisasi adalah pihak sana, sementara saya sebagai pembaca diajak untuk berpihak kepada pihak sini, yakni si “aku” sebagai penduduk asli “surga” yang damai. Modernitas tidak semata-mata menghasilkan rasio-instrumental para pelakunya melainkan menjadi proyek besar yang menghasilkan kutukannya sendiri.
Sajak itu memberi tahu bahwa kehancuran dunia asali bukan disebabkan ulah penghuninya yang asli melainkan oleh semacam kekuatan besar yang datang entah dari mana. Tapi kenapa sang lain itu tiba-tiba datang lalu mengenyahkan segala kedamaian warisan nenekmoyang kita? Dan setelah kedamaian asali itu lenyap, apa yang kemudian terjadi?
Ketika saya berhenti pada bait keempat, maka akan muncul godaan untuk melanjutkan cerita ihwal proyek modernisasi dalam perspektif fisafat atau berbagai pemikiran sosiologis tentang dunia dan masyarakat modern. Hal itu merupakan pembacaan untuk mencari atau menetapkan gagasan dasar sajak.
Tapi saya kemudian sadar bahwa pembacaan semacam itu bukan satu-satunya kemungkinan. Setelah mendapatkan beberapa gagasan dari personifikasi alam melalui badan manusia, sebelum terlalu jauh melantur ke dunia ide, sajak itu segera mengembalikan saya pada titik pijak utama: bahwa yang hendak digambarkannya di sini bukan ide-ide spekulatif, tapi suasana atau situasi dari ide-ide tersebut.
Hal itu terjadi ketika saya memasuki baris terakhir yang berbunyi: “Suara guntingnya selalu menganggu tidurku”. Itu adalah kalimat kunci dari seluruh sajak.
Bagaimanapun, seluruh rangkaian baris sebelumnya telah membuka berbagai pemikiran spekulatif mengenai banyak hal, membuka simpul-simpul yang menyebar sehingga saya dapat berjalan menempuh jalur-jalur yang dibuka oleh simpul-simpul tersebut seluas-luasnya. Tapi ketika langkah saya mulai keluar jalur, maka muncul simpul terakhir yang mengembalikan imajinasi saya pada rel semula.
Jadi, kalimat terakhir dalam sajak itu ibarat segel dari rangkaian unit cerita yang saling terkait, seperti tarikan skema pada jaring-jaring laba-laba, setelah bergerak melebar, mengelilingi sisi luar lingkaran, pada akhirnya seluruh gerakan skema itu ditarik kembali ke pusat lingkaran melalui kalimat segel.
Seluruh penafsiran spekulatif yang bertolak dari hasrat menetapkan ide utama dari jejaring yang tersusun sebelumnya, mendadak berubah: bahwa di sini saya sedang berhadapan dengan situasi mental dari gagasan-gagasan atau imajinasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan pokok ceritanya untuk dikembalikan lagi pada suasana yang meliputi jiwa seluruh cerita.
Itulah salah satu ciri khas sajak-sajak Jokpin, yakni kepiawaiannya menciptakan cerita sebagai narasi sederhana yang memiliki tautan makna referensial di luar teks, tapi kemudian mengembalikannya pada makna tekstual yang memiliki tautan kuat dengan situasi mental ceritanya.
Kadang sajak-sajaknya memang terasa sangat prosais sehingga makna referensial yang muncul dapat melampaui makna tekstualnya dan di bagian akhir sajak biasanya akan muncul kalimat segel yang mengubah seluruh makna referensial prosais tersebut hingga saya menemukan kembali puisi sebagai penggambaran situasi mental pelakunya.
Ketika menemukan kalimat “segel” itu, seluruh warna, garis dan tekstur pada komposisi lukisan yang semula tampak naturalistik pada seluruh bidang kanvas, tiba-tiba berubah menjadi lukisan yang sangat imajinatif, atau suatu drama piktorial yang semula prosaik tapi tiba-tiba berubah menjadi gambaran suasana liminal yang puitik.
Jadi, imajinasi saya mengenai gagasan hilangnya kedamaian dunia asali dan hilangnya “surga”, juga pemikiran spekulatif mengenai mimpi buruk modernitas, ternyata hanya alat bantu untuk memasuki situasi mental yang memungkinkan saya merasakan segala implikasi di balik cerita tersebut.
Sajak ini tidak hanya bercerita mengenai kehancuran dunia asali, melainkan juga suasana dan situasi dari proses kehancuran tersebut. Saya pun sampai pada situasi pembacaan yang lain, yakni semacam perasaan resah seperti seorang bocah yang tak dapat tidur karena terganggu suara gunting hingga di dalam mimpi.
Artinya, suara dua bilah logam tajam yang bergesekan itu telah mengancam kedamaian saya yang terakhir: bahkan di wilayah di mana saya dapat mengungsi menghindari kekacauan dan kegentingan hidup, dalam mimpi pun, saya tetap dikejar-kejar oleh hantu kehancuran itu. Kini saya tak menemukan lagi wilayah yang aman-nyaman dan damai karena semua tempat telah dijarah oleh gunting-gunting sang hantu. Lalu kemana lagi saya harus mengungsi?
Sungguh, saya menjadi sangat tidak nyaman setelah membaca kalimat terakhir sajak tersebut. Mula-mula saya cukup rileks membaca cerita pada bait-bait awal dan tengah yang dituturkan dengan enak dan ringan, tapi begitu sampai pada kalimat segel, perasaan santai dan enjoy itu berubah menjadi semacam “penyesalan” karena telah terperangkap dalam suasana liminal seperti saat setengah siuman dan tak dapat keluar dari mimpi buruk.
Saya diberi tahu bahwa sejak terlempar dari “surga” sebagai dunia primordial asali, keluar dari “rahim” ibu yang aman dan damai lalu menjejakkan kaki di dunia ramai, tak ada lagi jalan untuk kembali. Juga tak ada tempat untuk mengungsi. [T]
Penulis: Wicaksono Adi
Editor: Adnyana Ole
- SELANJUTNYA BACA BAGIAN 2
- BACA JUGA: