“Tidak datang untuk validasi keren, ini caraku untuk mengekspresikan diri dan merayakan musik yang kucintai!”
Begitu ungkapan yang seringkali ada di benak saya ketika mengunjungi acara musik.
Gigs dan konser bukan sekadar mendengar dan menonton musik. Kedua hal itu bagai ruang interaksi, tempat energi kolektif dituangkan, dan ruang bagi musisi serta penikmat musik untuk saling berbagi pengalaman.
Dalam beberapa tahun terakhir, saya melihat semakin banyak anak muda yang hadir di gigs dan konser, walaupun jujur saja, saya tidak terlalu sering datang ke acara-acara musik itu. Tapi yang saya ingat ketika menonton, orang-orang membawa semangat baru sekaligus fenomena yang menarik perhatian saya, mereka yang datang banyak yang menikmati, tapi tidak sedikit juga yang hanya demi FOMO (fear of missing out), tanpa benar-benar memahami esensi musik yang dihidangkan.
Apa Itu Gigs, Pogo, dan Moshing?
Mari kita kenali beberapa istilah yang sering muncul di dunia musik. Gigs singkatan dari “engagement” adalah pertunjukan musik skala kecil hingga menengah, biasanya digelar di bar, kafe, atau ruang komunitas.
Istilah “gig” dalam dunia musik berasal dari bahasa gaul para musisi jazz di Amerika Serikat awal abad ke-20. Acara yang menjadi wadah bagi band lokal atau musisi independen untuk menampilkan karya mereka, dan biasanya penggemar mereka tidak terlalu banyak.
Berbeda dengan konser yang sering kali megah dan terorganisasi secara komersial, gigs memiliki suasana lebih intim, seperti di khususkan untuk para pendengar VIP, hahahaa.
Dalam beberapa skena musik, seperti punk, metal, atau hardcore, muncul bentuk ekspresi fisik unik dari penonton, pogo dan moshing. Pogo, tarian yang dipopulerkan oleh Bassis Sex Pistols Sid Vicious sekitar tahun 1976, adalah gaya menari yang sederhana namun energik, di mana orang melompat naik turun mengikuti irama musik, keringat bercucuran tanda ungkapan semangat.
Sementara itu, moshing, yang mulai berkembang pada akhir 1970-an dan awal 1980-an di California Selatan, Amerika Serikat. Saat itu, moshing disebut “slam dancing”, adalah bentuk ekspresi yang lebih agresif. Diiringi oleh musik keras dan cepat, penonton saling mendorong dan bertabrakan dalam area yang disebut mosh pit.
Meskipun terlihat kasar, dan tidak jarang memakan korban luka, moshing sebenarnya memiliki aturan tidak tertulis. Jika ada yang jatuh, mereka akan segera dibantu bangkit. Tidak ada amarah, hanya kesenangan, kesenangan, dan kesenangan.
Moshing mencerminkan semangat kebersamaan, energic, dan ungkapan perasaan yang tulus terhadap musik. Namun, aturan ini seolah tidak berlaku ketika fenomena FOMO mengambil alih.
FOMO di Gigs dan Konser
FOMO, atau rasa takut ketinggalan akan hal baru, menjadi salah satu pendorong utama tidak hanya generasi muda untuk hadir di gigs dan konser. Media sosial memperkuat fenomena ini. Unggahan di Instagram, dan cerita di TikTok menjadi alasan banyak anak muda datang ke acara musik, bukan untuk menikmati musik itu sendiri, melainkan demi dokumentasi.
Seolah menciptakan dinamika acara musik. Beberapa penonton tidak lagi datang dengan niat untuk memahami atau meresapi aliran musik tertentu. Mereka hadir dengan pakaian yang menonjol, gaya yang mencolok, dan keinginan untuk terlihat keren. Salah satu hasilnya adalah aksi pogo dan moshing yang dilakukan secara sembarangan, termasuk di lagu yang tidak sesuai.
Moshing di Lagu yang Salah
Bayangkan saja, jujur ini pasti sering terjadi, suasana gigs kecil dengan band yang memainkan lagu balada akustik. Ini kan harusnya menjadi momen untuk menikmati lirik yang menyentuh dan melodi yang menenangkan. Namun, tiba-tiba beberapa penonton mulai pogo atau bahkan mencoba moshing, menciptakan kekacauan di tengah suasana yang seharusnya damai.
Fenomena ini tidak hanya mengganggu pengalaman orang lain, tetapi juga menunjukkan ketidaktahuan akan budaya musik yang sedang dimainkan. Dan berlaku juga di konser yang boleh di kunjungi secara gratis, karena gratis juga, menyebabkan orang-orang dari kalangan mana pun bisa datang. Maka tak heran di konser gratis kalian bisa melihat orang yang mabuk.
Aksi seperti ini sering dianggap sebagai bentuk “pemberontakan gaya baru” oleh sebagian anak muda. Mereka ingin tampil beda, tetapi justru kehilangan esensi musik itu sendiri. Moshing di lagu keras sejatinya ungkapan perasaan, energi, dan kebersamaan. Namun, melakukannya di lagu yang salah justru mencerminkan kurangnya pemahaman terhadap seni dan budaya musik tersebut, menimbulkan kekacauan dan akhirnya baku pukul. Kami para penikmat musik biasa menyebutnya dengan istilah “Kampungan!!!.”
Skena Musik
Menurut saya, fenomena ini memiliki dampak positif dan negatif. Di satu sisi, meningkatnya antusiasme generasi muda terhadap gigs dan konser membantu mempopulerkan skena musik lokal. Semakin banyak orang yang datang berarti semakin besar peluang bagi musisi untuk mendapatkan dukungan, harusnya begitu kan?
Namun, di sisi lain, aksi-aksi nyeleneh ini dapat merusak suasana dan mengganggu penonton lain yang lebih serius menikmati musik. Argumen saya ini di perkuat oleh pernyataan vokalis dari salah satu band Grindcore legend di Bali, ANTIPOP.
“Sekarang banyak yang sekedar ikut-ikutan (poser) datang ke gigs ngelakuin two step ala New York malahan jadinya crowd killin, kalo fenomena yang sekarang saya liat malahan two step bertujuan untuk menyakiti bukan lagi sebuah ekspresi dari emosi yang dicurahkan secara positif, bahkan banyak juga yang ga tau teknik pogo, two step, stage diving itu malahan ujung-ujungnya jadi nyakitin diri sendiri dan berujung perkelahian (agak ndeso klo ini),” kata Agung Yudha (vokalis ANTIPOP).
Band atau musisi pun bisa merasa kurang dihargai ketika penonton tidak memberikan respons yang sesuai dengan suasana musik mereka. Walaupun memang, tak banyak yang tahu dan malah menghakimi bahwa bentuk ekspresi diri lewat moshing dan pogo itu salah dan tak wajar, balik lagi itu adalah bentuk ekspresi kami terhadap musik.
Mengembalikan Esensi Musik
Musik adalah bahasa universal yang menghubungkan manusia secara emosional. Konser dan gigs adalah ruang di mana seni bertemu dengan apresiasi, bukan sekadar ajang pamer. Untuk generasi muda, memahami konteks musik yang dimainkan adalah langkah awal untuk menikmati acara dengan lebih mendalam.
Bagi musisi, fenomena ini menjadi tantangan baru, bagaimana menciptakan koneksi dengan penonton yang sebagian besar hanya mengejar FOMO. Dengan memberikan edukasi ringan atau menciptakan ruang khusus bagi penonton yang ingin sekadar berdokumentasi, pengalaman musik bisa tetap terjaga tanpa kehilangan esensinya.
Pada akhirnya, musik adalah tentang merasakan, bukan sekadar terlihat merasakan. “the right music, the right gigs and the right way, sehingga tidak crowd killing, setiap genre musik memiliki cara untuk dapat dinikmati, jadi jangan sampai salah Alamat” tambah Agung Yudha (vokalis ANTIPOP). Karena sesungguhnya, gigs dan konser adalah tentang kebersamaan, bukan sekadar kehadiran. Jangan sampai esensi musik dilucuti hanya karena sekedar update story. [T]
Penulis: Arix Wahyudhi Jana Putra
Editor; Adnyana Ole
Penulis adalah mahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja yang sedang menjalani Praktik Kerja Lapangan (PKL) di tatkala.co.
- BACA JUGA: