MULAI Tahun Pelajaran 2025/2026, Pemerintah di bawah Presiden Prabowo Subianto akan mulai membuka Sekolah Rakyat (SR) di bawah Kementerian Sosial. Pertama mendengar SR tiba-tiba saja saya teringat pada ayah yang sudah meninggal 2014. Ayah tamatan SR zaman Belanda. Di KTP-nya, tertulis beliau lahir 1932. Saat penjajahan Jepang, ayah ikut menjadi seinendan yang diseleksi dengan persyaratan Pendidikan dan usia (14 -22 tahun). Dengan syarat itu, pasti tidak banyak yang bisa lolos seleksi karena awal Kemerdekaan Indonesia angka buta huruf 97 % dan melek huruf 3 %.
Keikutsertaan ayah berperang zaman Jepang hingga menghilang sampai-sampai kakek berkaul, “Jika ayah kembali, akan mengupah Arja Basur”. Ayah memang akhirnya kembali setelah kakek berkaul dan kaul baru dibayar pada 1995, ketika saya sudah punya anak pertama.
Walaupun ayah ikut menjadi seinendan zaman Jepang, ia tidak menjadi veteran. Konon, sertifikat keikutsertaannya berjuang melawan Jepang, dipinjam teman dari desa tetangga untuk mengurus veteran. Dasar lugu bin polos, ayah menyerahkan begitu saja. Namun apa yang dijanjikan untuk mengurus veteran itu tak pernah kembali. Saya jadi ingat kisah akur anjing dan kambing pada mulanya, yang melahirkan sesonggan Bali, “silih-silih kambing”. Konon pada mulanya anjing bertanduk. Karena bersahabat baik dengan kambing, dipinjamlah tanduknya, tanpa curiga akan diliciki. Saking nyamannya kambing bertanduk, ia tak mengembalikan tanduk kepada anjing.
Kembali ke Sekolah Rakyat. Berdasarkan penelusuran mesin pencari, Sekolah Rakyat berdiri pada 1907 di setiap daerah yang dikuasai penjajahan Belanda. Tujuan Sekolah Rakyat zaman Belanda memberikan kesempatan kepada warga pribumi untuk belajar ilmu pengetahuan dengan biaya gratis. Pada zaman Belanda, Sekolah Rakyat berlangsung selama 3 tahun. Saat Jepang menjajah, Sekolah Rakyat menjadi 6 tahun. Setelah Merdeka, Sekolah Rakyat berganti nama menjadi Sekolah Dasar (SD) pada13 Maret 1946.Kebijakan Belanda mendirikan Sekolah Rakyat tidak terlepas dari kebijakan politik etis (politik balas budi) yang dikembangkan Van De Venter pada 17 September 1901. Ada tiga sasaran politik etis Belanda : irigasi, emigrasi, dan edukasi. Irigasi dan emigrasi lebih menguntungkan Belanda dalam memertahankan wilayah kekuasaannya dengan mempekerjakan kaum pribumi melalui sistem kerja rodi. Hasilnya sudah pasti demi keuntungan dan langgengnya kekuasaan Belanda. Sindiran orang Bali dalam metafora, “Cara nyebit tiing, ngamis kacerikan”, benar adanya dan berlaku hingga kini. Ketika masih hidup, ayah menyebut, “Gumi gelah anak gede”. Kedua frase berkearifan lokal Bali itu mencerminkan relasi kuasa yang mencengkram yang kecil dan lemah.
Sejarah mengajarkan Belanda menjajah selama 3,5 abad, ada juga hikmahnya. Kita juga pantas berterima kasih kepada Belanda yang meletakkan dasar-dasar pendidikan modern kepada kaum warga pribumi. Kelak, Politik Etis Belanda khususnya dalam bidang edukasi inilah membentuk kesadaran kaum pribumi tentang pentingnya semangat nasionalisme dengan berdirinya Budi Utomo diikuti dengan berdirinya Taman Bacaan Rakyat (14 September 1908), Balai Pustaka (17 September 1917) yang kemudian menjadi Angkatan Balai Pustaka dalam Sastra Indonesia. Baik Taman Bacaan Rakyat maupun Balai Pustaka adalah cikal bakal program Gerakan Literasi kini, yang berakar di dunia Pendidikan. Namun disayangkan, Belanda yang memberikan karpet merah bagi kaum pribumi dalam bidang Pendidikan tetap diskriminasi. Pendidikan diperuntukkan hanya bagi kaum laki-laki sedangkan perempuan cukup ngempu di rumah dan menghibur dengan selalu dekat dapur, sumur, dan kasur.
Kini, ketika Sekolah Rakyat dibangkitkan kembali didasari pandangan bahwa masih banyaknya anak usia sekolah yang putus sekolah dan tidak mendapat pendidikan yang layak sehingga potensial jatuh miskin ekstrem. Draf yang dikeluarkan Kemensos pada 16 Maret 2025 menyebutkan data kemiskinan ekstrem di Indonesia sebesar 3,17 juta. Dari jumlah itu sebagian besar menyenyam pendidikan setingkat SD bahkan lebih rendah (74,51%). Relasi Pendidikan dengan kemiskinan disadari sebagai jalan keluar memutus rantai kemiskinan. Oleh karena itu, ajakan Ganjar Pranowo mencetak satu sarjana setiap keluarga layak dipertimbangkan walaupun ia kalah dalam kontestasi dalam Pemilu 2024.
Dalam draf itu juga disebutkan Sekolah Rakyat Unggul (SRU) memiliki 9 nilai inti (core value) yang dikembangkan yaitu welas asih, pola pikir terus berkembang, tata budaya, kesehatan, pendidikan berkualitas yang relevan, kepemimpinan, agen perubahan, kesetiakawanan sosial, serta keberlanjutan dan inovasi. Sungguh luar biasa niat untuk memutus mata rantai kemiskinan ektrem bila program SRU ini berhasil dilaksanakan secara konsisten dan kontinu.
Selain itu, SRU juga diproyeksikan berasrama dan gratis di bawah Kemensos tetapi penyiapan gurunya oleh Kemendikdasmen. Seleksinya konon diprioritaskan kepada guru penggerak dan sudah bersertifikat pendidik melalui jalur PPG. Oleh karena berada di dua Kementerian yang berbeda, perlu regulasi yang jelas agar tidak merugikan profesi guru. Guru di bawah Kemendikdasmen sudah jelas regulasinya terkait tugas pokok dan fungsinya dalam memenuhi hak-hak dan kewajibannya, termasuk hak mendapatkan Tunjangan Profesi Guru (TPG) setiap bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan, walaupun sering telat.
Bagaimana bila nanti guru itu ditarik ke SRU yang pada tahun pertama mungkin tidak memenuhi syarat jumlah jam mengajar yang selama ini diekuivalensikan setara 24 jam pelajaran. Selain itu, skema guru yang direkrut ke SRU juga akan dilatih secara ofline selama satu bulan dan pasti meninggalkan siswa. Dampak lanjutannya, terjadi kekurangan guru di sekolah regular di bawah Kemendikdasmen seperti dikeluhkan sejumlah sekolah di berbagai daerah. Sementara itu, program pengangkatan guru PPPK tahun 2025 ditunda dan progres guru mengikuti percepatan PPG juga dikurangi.
Niat memuliakan warga negara yang miskin ekstrem dengan mendirikan SRU memang sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan bangsa, khususnya menjalankan pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak telantar dipelihara oleh negara. Basis data anak miskin ekstrem sesuai dengan Inpres Nomor 4 Tahun 2025 tentang Data Terpadu Sosial dan Ekonomi Nasional. Walaupun demikian, perlu kehati-hatian dalam pencuplikan dan pemutakhiran data mengingat basis data itu sangat dinamis. Dinamikanya bisa bergerak lintas desa, kecamatan, kabupaten, bahkan provinsi.
Daripada pemerintah membangun SRU dengan fasilitas wah melebihi fasilitas sekolah regular kini, ada baiknya juga melirik dan memberdayakan sekolah swasta tradisional yang sudah ada dan membantunya untuk bangkit kembali. Faktanya, banyak sekolah swasta tradisional yang hidup segan mati tak mau. Menghidupkan kembali denyut sekolah swasta menjadi SRU, adalah bentuk subsidi nyata keberpihakan pemerintah sebagaimana awal Kemerdekaan hingga Orde Baru, sekolah swasta mendapatkan subsidi guru dan gedung bangunan (ruang kelas, lab) sehingga sinergitas pemerintah dan swasta makin mesra dan mutualistik. Di sejumlah sekolah swasta tradisional, keluhan kepala sekolah tentang banyaknya anak kurang mampu juga sudah sering digemakan. Kolaborasi program SRU dengan sekolah swasta yang sudah ada perlu dikomunikasikan secara humanis, konsisten, kontinu dan mutualistik.
Selain itu, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) yang sudah ada juga bisa lebih diberdayakan sehingga gema efisiensi yang digaungkan pemerintah lebih mengena. Namun, PKBM merupakan lembaga pendidikan nonformal, sementara SRU dirancang seperti sekolah formal. Walaupun demikian, regulasi bisa diselaraskan sehingga landasan hukumnya jelas dan terukur.
Seperti juga sekolah swasta tradisional, PKBM juga didirikan atas dasar idealisme dan kepedulian untuk memutus mata rantai persoalan anak-anak putus sekolah (kawin muda, miskin ekstrem, membantu orang tua). Selama ini, peran PKBM telah berhasil menjalankan misinya memutus mata rantai anak putus sekolah. Prinsifnya belajar sambil bekerja sehingga muatan keterampilan hidup lebih diutamakan. Itu juga berarti memutus mata rantai kemiskinan ekstrem bersinergi dengan program SRU yang dicanangkan pemerintah. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT