Bentara Budaya Bali, 30 Oktober 2017…
Malam itu, saya (yang awam dengan musik Bali) menikmati bunyi-bunyian musik dari alat musik tradisional Bali. Tapi, bebunyian yang muncul bukanlah suara musik ‘Bali lumrah’ . Adalah suara-suara asing yang saya dengar, dan seperti ‘mengkacaukan’ naluri pendengaran yang lebih akrab dengan bunyi-bunyi alat musik tradisional ‘Bali lumrah’.
Semua terasa asing dan aneh bagi saya yang penikmat awam. Dari cara memukul gamelan, meniup seruling, memukul kendang, semuanya terasa tidak lumrah. Begitu pula, suara yang dihasilkan.
Tak terdengar hentakan-hentakan dinamis layaknya musik ‘Bali lumrah’, melainkan suara lembut seperempat atau setengah nada, terkadang satu setengah nada. Itupun saya rasakan seperti terkesan tertahan. Kadang hadir bunyi yang seolah membawa kita ke ruang hampa dan seolah mengajak kita menahan nafas mengikuti ketukan bunyi. Selanjutnya, dilapis bebunyian aneh dari reong yang dipukul tepinya, menghentak dan memberi kesan kita untuk bernafas lega, mengiringi keriuhan reong.
Repertoar Sekeha Gamelan Wrdhi Cwaram malam itu menampilkan 4 komposisi musik karya Wayan Gde Yudane. Komposisi juga akan ditampilkan di Paris dan Belgia pada Europalia Festival akhir tahun ini.
Yang menarik, empat buah komposisi musik yang tampil di Bentara Budaya Bali malam itu, tambah Yudane, terinspirasi dari puisi-puisi karya Yuliarsa
Otak saya (yang sekecil otak ayam dan agak beku ini) yang terbiasa dengan ‘ketukan-ketukan lumrah’, seperti selalu ‘terjebak’ mengikuti irama musik yang dimainkan Sekeha Gamelan Wrdhi Cwaram malam itu. Saya betul-betul tersesat membaca ‘sajak suara’ Yuliarsa Sastrawan, dengan pendekatan realis.
Sebab, sajak Yuliarsa yang selama ini saya anggap bergenre prosa liris, telah berubah menjadi sesuatu yang (bagi saya) ‘nir-genre’. Melalui sentuhan Yudane, prosa liris yang ada dalam persepsi saya telah memetamorfosakan dirinya menjadi ‘poetika suara’ yang absurd, tanpa genre. Cara saya dalam merasa dan berpikir yang ‘linear’ pun lantas seperti ‘diobrak-abrik’ oleh irama puitis itu.
Selama menikmati 4 buah ‘sajak suara’ Yudane-Yuliarsa yang bertajuk Spring, Aquifers, Ephemeral, Journey – terus menerus, perasaanku seolah dikendalikan oleh bunyi-bunyian yang terasa asing di indra pendengaran saya. Persepsi saya atas irama musik gamelan, menjadi ‘serba salah’, repertoar malam itu banyak menghadirkan ‘kosa suara’ yang mengajarkan pada saya untuk membaca ‘multi matra’ irama, multi dimensi dari musik.
Begitulah kalau ‘penyair kata’ bertemu dengan ‘penyair suara’, banyak kemungkinan yang terbuka lebih luas. Saya seperti diajarkan bagaimana membuka persepsi kita pada bunyi, tempo, nada, irama, dan unsur-unsur lainnya dari musik — seluas mungkin.
Matur suksma para suhu, ada pelajaran baru yang amat penting bagi saya, tentang ‘multi matra’ dari musik. Lebih dari itu, adalah munculnya kesadaran akan pentingnya pemahaman ‘multi matra’ merasa, dan ‘multi matra’ berpikir. (T)