PERTUNJUKAN perdana tahun ini di panggung Ksriarnawa akan dipimpin langsung oleh Adhi Swara dan Raka Swati sebagai sutradara, pimpinan produksi, asisten sutradara, pemeran utama, yang juga merangkap sebagai pemain, tata artistik, kostum dan lain-lain.
“Tugasmu hanya menonton, menonton saja, mudah kan? ” kata Adhi Swara sambil melirik Raka Swari.
Aku hanya bisa bengong dan terpana, tak ingin menebak-nebak.
Sekian lama menjadi asiaten, anak buah Raka Swari dan Adhi Swara, membuat aku mampu meredam rasa penasaran, juga berbagai tanya.
“Tugas saya hanya menonton,” batinku berusaha memfokuskan pikiran pada nafas kemudian menyalurkannya ke mata dan telinga.
Panggung gelap, sangat gelap. Aku tetap membuka mata, menatap ke depan, berusaha memandang apa yang bisa dipandang. Tak ada yang terlihat, kuirup napas perlahan, kusimpan sejenak, dan kulepaskan dengan pelan, kututup mata kembali, kucoba merasakan napas yang masuk dan ke luar, kutajamkan telinga, yang kudengar hanya suara detak jantungku yang perlahan seirama tarikan dan pelepasan nafasku yang lembut dan perlahan.
Kucoba buka mata perlahan, kepekatan hitam seperti perlahan memudar, seirama tarikan dan hembusan nafasku, panggung menjadi agak kelabu, yang membuat perasaanku tak tentu. Lumayang-lumayung.
Warna kelabu itu kurasakan mengumpul mendesak ke tengah makin ke tengah, makin menyempit, makin kecil dan makin kecil, dari semburat cahaya merah muda, makin kecil menjadi semburat kuning muda, mengecil lagi menjadi semburat abu, kemudian menjadi titik cahaya putih terang, bening serupa kaca, yang berkilat memendar ke seluruh panggung, semua ruangan, titik cahaya kecil itu keliling panggung, keliling ruangan.
Dari satu menjadi dua, menjadi tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, sembilan dan banyak, kini bisa kulihat kursi-kursi yang kosong tanpa penonton, tiang-tiang panggung dan ruangan, pintu masuk, lantai, tirai dan semuanya. Beberapa diantara titik cahaya putih itu bersatu menjadi titik cahaya lebih besar, menjadi lebih besar dan lebih besar lagi.
Kini kulihat seperti sebuah sosok cahaya putih yang menari, awalnya lembut, makin lama makin cepat, dan cepat sampai sosok itu terbelah menjadi dua.
“Apakah itu sosok cahya tubuh Raka Swati dan Adhi Swara?” tanya batinku.
“Tapi mana laki mana perempuan?” pikirku, sungguh tubuh cahaya itu tak bisa bedakan jenis kelaminnya.
Saat kedua tubuh itu menari dengan gerakan selaras aku merasa sangat menikmatinya, ada rasa bahagia yang menjalar dalam seluruh tubuhku.
Keindahan tarian itu membuat pikiranku berhenti bertanya dan menduga-duga. Hanya menikmati rasa bahagia.
Saat adegan kedua badan cahaya itu bersatu dan memisah kembali, pendar-pendar cahaya pelangi berputar-putar dalam ruangan, sebelum terfokus pada satu tiang yang tinggi menjulang, dengan urutan warna putih, kuning merah, hitam.
“Ooo, di antara putih kuning, ada orange, di antara merah putih ada merah muda, di antara putih hitam ada biru, di antara hitam kuning ada hijau, seperti warna pelangi,” batinku bersorak.
Tapi up, itu yang kulihat tepat di depan mataku yang tegak lurus dengan tiang. Saat pandanganku kuangkat, kutemukan formasi warna itu makin ke atas dan ke atas lagi, sampai kekuatan penglihatanku. Saat tatapku makin ke bawah formasi yang sama juga kutemukan.
Aku tercenung.
“Hm warna bukan material, ia bersifat spirit, tercipta dari jarak pandang dan kepadatan unsur penyusun,” simpulku sementara.
“Lalu suara? ” pikiran tak bisa lagi kubendung.
“Napas yang kuirup menjadi bunyi detak jantung, pelan, lambat dan cepat menjadi frekwensi, jauh dan dekat menjadi jarak dan volume,” batinku tersenyum.
Selanjutnya berbagai adegan drama dan tari yang dimainkan Raka Swari dan Adhi Swara bisa kuikuti dan kupahami.
“Aku adalah bumi, aku adalah air, aku adalah api, aku adalah udara, aku adalah ruang kosong,” kata Raka Iswari.
“Akulah bumi, akulah air, akulah api, akulah udara dan akulah ruang kosong itu,” jawab Adhi Swara seperti berbantah-bantahan dengan Raka Swari.
Aku tersenyum ingat mitologi perseteruan Dewa Wisnu dan Dewa Brahma dalam mendapatkan ujung Lingga sebagai manifestasi Siwa.
Dewa Wisnu menjadi babi hutan mencari ke dalam tanah, Dewa Brahma menjadi burung Garuda mencari ke langit. Dewa Wisnu esensi air mengalir ke kerendahan, membasahi, merekatkan material, Dewa Brahma esensi api, meninggi, memanaskan material, mengubah, menguasai.
“Aku lingga, purusha, spirit, kau yoni, Pradana,” kata Adhi Swara pada Raka Swari sembari membuat tubuhnya membesar meninggi makin tinggi, sehingga memenuhi alam semesta.
“Aku juga lingga, spirit yang kecil sangat kecil sehingga memenuhi tubuhmu dengan nafas,” ejek Raka Swari
Selanjutnya berbagai adegan seru, sedih, lucu silih berganti dimainkan oleh mereka berdua secara bergantian, dalam rupa dan suara yang beraneka.
“Terima kasih telah mengajarkan saya tentang lingga dan yoni, tentang linggayoni yang menjadi jagat karana, penyebab semua akibat,” sujudku penuh hormat. [T]
Penulis: Mas Ruscitadewi
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: