SETELAH persembahyangan di Pura Goa Gong, Perjalanan Tirtayatra Toska (SMA Negeri 2 Kuta Selatan) menuju Pura Batu Pageh Banjar Kelod Desa Ungasan. Waktu tempuh dari Pura Goa Gong ke Pura Batu Pageh sekitar 15 menit, dengan jarak sekitar 4 km. Sebagaimana Pura-pura besar lain di Gumi Delod Ceking, kawasan luar Pura Batu Pageh juga telah dijamah kaum kapitalis, sejak 1990-an. Di sebelah Barat Pura Batu Pageh berdiri megah Hotel Bali Cliff saat Presiden Soeharto memerintah.
Sejak berdirinya Hotel Bali Cliff, jalan menuju Pura Batu Pageh berganti nama menjadi Jalan Bali Cliff, yang sebelumnya bernama Jalan Batu Pageh. Nama Jalan Batu Pageh lebih terkesan arkhais magis, berbeda dengan nama Jalan Bali Cliff lebih tercitrakan modern hedonis. Lebih modis, mungkin.
Namun, saya lebih suka mematenkan nama Jalan Batu Pageh ketimbang Jalan Bali Cliff. Alasan saya, nama itu menyatu dengan tujuan Pura Batu Pageh yang mengisyaratkan kesungguhan pejalan kehidupan mencapai tujuan dengan menguatkan integritas beragama. Selain itu, mematenkan nama Jalan Batu Pageh juga berarti mewarisi tetamian leluhur yang telah memberikan kekuatan semangat untuk selalu pageh membawa diri menjaga palemahan dengan semangat spiritual.
Hotel Bali Cliff memang tidak lama beroperasi dan sekarang sudah mangkrak. Karyawannya sudah lama dirumahkan. Sejak berdirinya Hotel Bali Cliff, pemblokiran tanah sekitar pantai Gumi Delod Ceking terjadi secara masif dengan harga pindang. Petani pemilik tanah dengan surat yang disebut pipil terus-menerus dirayu dan digoda maklar dengan iming-iming kemajuan. Sering pula iming-iming mengatasnamakan kekuasaan yang tidak kuasa dilawan. Melawan berarti berhadapan dengan tekanan dan teror.
Sejak itu pula, kelompok masyarakat petani banyak yang goyah dan melahirkan orang kaya baru (OKB). Kaum OKB dari menjual warisan itu tidak bertahan lama. Banyak pula yang uangnya habis sia-sia ditabung di bank. Lacur, bank-nya bangkrut, seperti Bank Aken, Bank Pekutatan, dan Bank Ratnadi. Para kolektor bank kala itu sering membawakan babi guling buat nasabahnya. Nasabah yang petani lugu tidak sadar bila itu adalah umpan pancingan, makan babi guling gratis.
Sebagai catatan pengingat, tidak banyak anak-anak OKB itu yang mau bersekolah walaupun dana tersedia. Berbeda dengan zaman anak-anak Delod Ceking pada 1970-an, banyak di antara mereka yang menangis minta disekolahkan, tetapi orang tua tidak berdaya. Sekarang dana tersedia, anak-anaknya malah tidak ingin belajar. Inilah dunia sungsang. Ibarat laut dengan ombaknya, kadang-kadang tenang, kadang-kadang gemuruh penuh dinamika. Lautpun ada pasang surutnya.
Sejarah kelam itu tampaknya perlu direfleksikan ketika rombongan Toska ber-tirta yatra serangkaian Siwa Ratri ke Pura Batu Pageh, yang diawali dengan matur piuning di Pura Taman Sari sebelum menuju Pura Dalem Batu Pageh.
Sembahyang di Pura Taman Sari Batu Pageh sebelum ke Pura Dalem Batu Pageh di tengah goa | Foto Dayu Dena
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, Pura Dalem Batu Pageh seperti juga Pura-Pura lain di Bali dalam perjalanan dharma yatra Dang Hyang Dwijendra dikisahkan diiringi Wong Samar dan Kera. Oleh karena itu, nyaris tidak ada Pura di ngampan Gumi Delod Ceking tanpa monyet. Bahkan, monyet-monyet itu kini bertamu ke rumah-rumah penduduk ngidih nasi dan ngelungsur daksina ke sanggah-sanggah. Begitu pula, secara lisan berkembang di masyarakat penyungsungnya, Wong Samar itu dipercaya masih menjadi penghuni di antara goa-goa walaupun pembangunan fasilitas pariwisata makin bertumbuh, boros lahan mengeruk tebing-tebing karismatis yang membuatnya kian samplar cara nak lengar. Kurang elok, seperti diolok-olok kemajuan. Padahal tanah natah sudah berpindah ke wong sunatra.
Semoga masih banyak yang magehang raga, sebagaimana tersimpul dalam makna Pura Batu Pageh. Secara etimologi, Batu Pageh terdiri atas dua kata : batu dan pageh. Batu dapat diartikan baat tuhu “berat sekali” dan pageh berarti pagar/benteng. Batu yang berat bila dipakai pagar pastilah kuat. Oleh karena itu, Pura Batu Pageh dapat dimaknai sebagai pagar/benteng sejati yang kuat. Kekuatan itu tidak semata-mata secara fisikal, tetapi juga secara spiritual.
Jika menelusuri secara historis, semangat orang-orang bukit sebelum 1990-an tiada tepermanai. Biasa berpuasa karena gumi sayah. Makenta sebagai laku upawasa sehari-hari. Hidup prihatin, tidak pasrah sebelum berjuang. Beras tiada, air susah. Syukurnya dekat laut. Menjadi nelayan menjual ikan-ikan terbaiknya demi mendapatkan beras. Mereka menjadi pengalu, maurup-urup ke gunung Tabanan di lumbungnya padi Bali. Mengeja huruf-huruf dalam diri matilesang dewek, nandurin karang awak. Menggarami gunung menyatukan asam dalam kuali peradaban. Majalan matanja negen uyah, gerang, bangkuang dari rumah ke rumah. “Jro,…uyah…gerang,,,,bangkuang…tumbasin !” Begitulah pengalu dari Gumi Delod Ceking berkomunikasi dengan orang-orang gunung.
Tawaran itu pun berbalas dengan humanis humoris dari tuan rumah. “Uyah…gerang…bangkuang, ten baang kuang, Jro,” kata tuan rumah menawar. Kosa kata penawaran pun menjadi kelakar yang bersumber dari katung yang dibawa berkeliling ke desa-desa. Sungguh diksi indah dari pengalu Gumi Delod Ceking.
Itulah peta jalan orang-orang dari Gumi Delod Ceking yang banyak mendapat cibiran orang-orang Kota. “Kit, Cai manjus nganggen dewasa. Nuju Kajeng Kliwon, Purnama, Tilem”, Begitu kata teman saya seorang guru menjelang pensiun mengenang masa lalunya bersekolah di kota mabekel ubi keladi komak kacang ijo misi gerita. Makanan itu kini diburu orang-orang kota yang mencibir, ketika orang-orang bukit meninggalkan tradisi bercocok tanam beralih bercocok beton. Hidup dengan kekakuan tetapi pura-pura bahagia.
Eh, kok ngelantur ya. Kita kembali ke perjalanan Tirtayatra ke Pura Dalem Batu Pageh. Tiba di Jaba sisi Pura Taman Sari, pecalang Desa Adat Ungasan berjaga di parkir. Karena rombongan Toska bersembahyang, tidak dikenakan karcis masuk Kawasan. Cukup membayar parkir. Sebelum menuju Pura Dalem Goa Batu Pageh, rombongan Toska bersembahyang di Pura Taman Sari secara mandiri setelah menghaturkan canang asebit sari. Selanjutnya rombongan Toska menuju Pura Dalem Batu Pageh melalui jalan setapak dengan sejumlah anak tangga.
Sembahyang di Pura Taman Sari Batu Pageh sebelum ke Pura Dalem Batu Pageh di tengah goa | Foto Dayu Dena
Saya sebagai orang wed bukit, sudah biasa melalui medan jalan demikian. Berbeda dengan Gen Z yang hidup bersahabat dengan gadget rada melelahkan. Akan tetapi, mereka perlu melatih fisiknya agar sehat dan kuat selain batin harus penuh spirit. Semangat Indonesia Raya : bangunlah jiwanya bangunlah badannya. Jadi, Tirtayatra Toska ke Pura-Pura se-Delod Ceking Bali termasuk ke Pura Batu Pageh selaras dengan 7 kebiasaan Anak Indonesia Hebat. Biasa bangun pagi, berdoa, makan sehat bergizi, bergerak, gemar belajar, bermasyarakat, dan merangsang tidur lebih cepat sepulang Tirtayatra.
Sebelum sampai di Pura Dalem Batu Pageh, di jaba tengah rombongan Toska melalui Pura Dalem Kepandean. Menurut Jro Mangku Ngara, “Pura Kepandean bukanlah mengacu pada penyungsungnya yang Warga/Soroh Pande, melainkan mengacu pada tempat mempertajam/mengasah ilmu. Yang dipuja adalah Dewa Brahma berbusana merah dengan saktinya Ratu Ayu Mas Manik Maketel (Dewi Saraswati)”.
Beberapa langkah setelah melewati Pura Kepandean, sampailah rombongan Toska di jaba tengah dengan wantilan yang cukup representatif untuk berteduh para pemedek. Tempat mategtegan menarik nafas, pranayama dengan pemandangan laut lepas biru mendamaikan. Untuk sampai ke Goa Pura Dalem Batu Pageh, pemedek melalui beberapa anak tangga beton dengan ceceran kotoran kelelawar membasahi tangga. Para pemedek perlu berhati-hati dengan kesadaran matahari dan kesabaran ibu pertiwi menapaki anak tangga yang licin.
Sebelum Hotel Bali Cliff berdiri awal 1990-an, untuk sampai ke Goa Pura Dalem Batu Pageh, pemedek mesti naik tangga bambu yang disebut jan. Jadi, pemedek naik menuju goa satu-persatu dan perlu berhati-hati, agar sampai di Utama Mandala dengan selamat.
Pemandangan di Utama Mandala sungguh luar biasa. Anggun goanya berhadapan dengan laut lepas, seakan saling sapa antara Lingga di Pura Dalem Batu Pageh dengan Yoni di Samudra mahaluas. Stalaktit yang menggantung di langit-langit goa tak ubahnya ranting-ranting tanaman yang tumbuh hendak menyapa tanah.
Sambil menyiapkan sarana persembahyangan, rombongan Tirtayatra Toska menghaturkan Daksina Pejati melalui perantara Jro Mangku Ngara sekaligus melakukan pemujaan “ngastawayang” dan memimpin persembahyangan bersama, Bersamaan dengan puja pemangku, saya menembangkan Kidung Mogi. Setelah Puja Pemangku mendoakan banten aturan, dilanjutkan dengan melaksanakan Pancasembah bersama. Sungguh hening dan khusuk sayup-sayup angin laut menerpa dan deburan ombak seakan menyapa bersama Kelelawar yang menggantung di anatra stalaktit, “Selamat Datang untuk para pemedek di Pura Dalem Batu Pageh, ”.
Menurut Jro Mangku Ngara, Pura Dalem Batu Pageh menganut konsep Trimurti. “Konsep Brahma (Ratu Kepandean), Wisnu (Laut sebagai beji-nya), dan Siwa (Lingga-nya di Dalem Goa Batu Pageh). Bila pemedek malukat, di Pura ini juga ada beji-nya yang disebut Telaga Waja berada di area Goa bagian Barat di utama Mandala,” kata Jro Mangku Ngara yang dibenarkan oleh Jro Mangku Istri Manis Kariati, pengayah di Pura Taman Sari.
Jro Istri Manis Kariati juga menambahkan, “Bila malukat di Telaga Waja Pura Batu Pageh, yang terletak di dalam goa bagian barat disarankan membawa dua daksina : satu kaatur ring Telaga Waja dan satu lagi ring Gedong. Istimewanya, Airnya tidak pernah habis, walaupun musim kemarau, yang disebut katiga kangkang.”
Dari informasi kedua Jro Mangku Batu Pageh itu, saya menyimpulkan pertalian Pura Gunung Payung, Pura Goa Gong, dan Pura Dalem Batu Pageh sangat erat, Tirta-nya murni dari lokasi Pura. Di Pura Gunung Payung di Kubung Patirtan, di Goa Gong dan Batu Pageh dari tetesan stalaktit yang berada di dalam goa.
Penyerahan Dana Punia dari Toska kepada Pemangku Pura Dalem Batu Pageh, Jro Mangku Ngara | Foto Dayu Dena
Begitulah berkah alam yang wajib dijaga dan disucikan melalui ritual dengan semangat spiritual. Yang berbeda dari ketiga Pura ini adalah tegak pujawali-nya. Pujawali di Pura Gunung Payung pada Purnama Sasih Kaulu pada 12 Februari 2025, bertepatan dengan Hari Suci Pagerwesi. Pujawali Pura Goa Gong bertepatan dengan Soma Pon Sinta (Soma Ribek) dan Pujawali di Pura Batu Pageh pada Sukra Kliwon Sungsang (Sugihan Bali).
Begitulah, Pura Dalem Batu Pageh menyimpan harta karun peradaban yang tidak ternilai harganya. Di Pura ini, jejak sekaa unen dengan sesolahan Legong Karang Suung Pedungan Denpasar, hingga kini masih masolah setiap pujawali, pada Sugihan Bali. Selain itu, jejak toleransi Siwa-Budha juga ditemukan di Pura Dalem Batu Pageh, sama dengan di Pura Goa Gong dan Pura Gunung Payung. Bila ditarik garis, ketiga Pura ini adalah segitiga emas peradaban spiritual Bali mulia di Gumi Delod Ceking, di Kaki Pulau Bali. Kemurnian emasnya harus tetap dijaga agar taksu-nya makin bersinar ke seantero dunia. Selanjutnya, perjalanan Tirtayatra Toska akan menuju Pura Goa Selonding di Pecatu dikabarkan pada edisi berikutnya. [T]
Penulis: I Nyoman Tingkat
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisNYOMAN TINGKAT