Ibu Penjual Tipat Cantok: “Belakangan ini hujan turun tiada henti ya bu?”
Ibu Penjual Sate Babi: “Iya bu, dari pagi sampai malam jeggg hujan melulu.”
Ibu Penjual Tipat Cantok: “Begini dah cuaca buruk, apa – apa susah untuk dikerjakan.”
Kurang lebih seperti itulah dialektika yang saya dengarkan di Kantin Lapangan Lumintang, Denpasar Sabtu pagi , di musim hujan. Sambil memegang sate babi di tangan setelah lari pagi, saya malah lebih menikmati obrolan ibu – ibu yang saling sahut – menyahut. Sampai – sampai, suara derasan air yang turun dari langit pun harus sungkem dengan suara ibu – ibu yang menggelegar tersebut.
Belakangan ini, hujan memang senantiasa mengiringi cuaca di Pulau Bali. Bukan satu atau dua daerah, seluruh kabupaten di Bali kompak memberitakan prakiraan cuaca demikian adanya. Sehingga tidak salah, apabila Ibu Dagang Sate mengatakan dari pagi sampai malam, hujan senantiasa turun bak tamu yang tidak bisa dihentikan.
Lebih daripada itu, saya sesungguhnya lebih menyoroti kalimat yang terlontar dari Ibu Dagang Tipat Cantok. Ia mengatakan bahwa hujan menjadi cermin dari cuaca buruk, sehingga orang-orang tidak bisa beraktivitas sebagaimana mestinya.
Sambil menyantap sate babi beserta tipat yang lenyoh (pulen), saya benar – benar merenungi kalimat refleksi dari Ibu Dagang Tipat Cantok tersebut. Meskipun terdengar biasa saja, kalimat yang terlontar semacam menjadi suatu klise dan dejavu bagi saya akhir – akhir ini.
Banyak Agenda Batal Atas Dalil ‘Hujan’
Meskipun hanya sekedar air yang turun dari langit, tidak bisa dipungkiri bahwa hujan memang menjadi tantangan dalam menjalankan aktivitas. Terlebih ketika hujan memiliki intensitas tinggi, serta diimbangi dengan durasi yang cukup lama. Untuk beberapa pihak, hal ini bahkan bisa dipandang sebagai ancaman karena dapat membatalkan beberapa agenda.
Sah-sah saja jika beberapa pihak berpikiran demikian. Namun yang menjadi ironi adalah, ketika semua pihak mengarahkan hujan dengan diksi ‘cuaca buruk’ dan dipandang sebagai sesuatu yang sangat mengerikan. Ditambah lagi untuk beberapa kasus, hujan terkesan dipaksa menjadi dalil oleh beberapa oknum dalam menghindari suatu agenda.
“We Wa Hujan itu air! Kayak tidak punya jas hujan saja hujan dirimu! Aku beliin ya biar perlu.”
Inilah jawaban yang saya terima beberapa hari lalu dari seorang sahabat. Saking kesalnya karena beberapa agenda batal, saya pada akhirnya turut teracuni dan mencoba menggunakan dalil yang sama untuk dapat rebahan. Namun berkat kalimat nyelekit tersebut, cukup untuk menampar diri dan mungkin kita semua agar tetap semangat dalam menjalani hari. Toh habis hujan, biasanya akan ada pelangi. hehehehe
Cuaca Hujan di Indonesia Diidentikkan dengan Suasana Amegakure
Sebagai pecinta Meme, ada sisi menarik dari hujan yang turun di akhir tahun kali ini. Selain Bali, ternyata hampir seluruh wilayah Indonesia mengalami musim hujan yang serupa. Hal inilah yang menjadikan anak Meme kemudian mengindektikkan Indonesia sebagai Amegakure.
Amegakure sendiri merupakan nama sebuah desa hujan di serial Naruto. Desa ini dikenal sebagai desa yang problematik dan menjadi tempat persembunyian para tokoh antagonis.
Hal inilah yang dikorelasikan juga dengan kondisi Indonesia di hari ini. Dimana akhir tahun, dipenuhi oleh beberapa isu dan kasus hukum yang mengiringi. Mulai dari Kasus Trio Gus yang mencengangkan, kasus oknum Anbu yang diduga menshuriken murid akademi dengan dalil tawuran antar ninja, sampai kasus lainnya.
Musim Hujan sudah Terprediksi
Musim hujan di akhir tahun sesungguhnya menjadi sesuatu yang telah terprediksi dari sejak awal. Bagaimana tidak? Indonesia dengan kondisi geografisnya memang dikenal hanya memiliki dua musim, yaitu hujan dan kemarau. Musim Kemarau yang biasanya datang di awal sampai pertengahan Tahun, sementara Musim Hujan yang biasa datang intens datang setiap akhir tahun. Jadi daripada menghardik hujan, bukanlah lebih baik menyediakan payung?
Dari sisi budaya Bali sendiri yaitu Wariga, peralihan musim dari kemarau ke hujan sesungguhnya juga telah diperhitungkan dari sisi waktu. Hal ini oleh masyarakat Bali ditandai dengan datangnya Purnama Sasih Kalima di akhir tahun. Sasih tersebut menjadi penanda waktu dan ruang untuk Musim Hujan turun dengan harmoni. Sehingga sudah semestinya, hujan dipandang bukan semata – mata hanya sebagai cuaca buruk, melainkan sebagai bagian dari kuasa alam dengan segala anugerahnya.
Hujan itu Rahmat Tuhan!
Di musim hujan seperti sekarang, semacam hal lumrah apabila media cetak maupun online beberapa kali mengabarkan tentang adanya jalan tergenang atau banjir. Beberapa oknum pun pada akhirnya kembali menyalahkan hujan yang turun tiada henti. Tak lekang juga dari ingatan, ketika saya pernah jatuh 2 kali dari motor karena jalanan licin tergenang air hujan. Meskipun demikian, apakah bisa semata – mata kita menyalahkan hujan?
Opah di serial kartun Upin & Ipin pernah mengatakan, hujan adalah bagian dari rahmat Tuhan. Hadirnya banjir, jalan tergenang, maupun musibah lainnya bukanlah semata – mata karena air yang turun dari Bapa Akasa (langit). Justru berkat datangnya hujan, bisa menjadi pengingat oleh Hyang Maha Kuasa, agar umat manusia wajib menjaga dan memperhatikan alam beserta isinya.
Lebih lanjut, hujan juga menjadi sumber kehidupan bagi seluruh makhluk hidup. Bisa dilihat ketika hujan tiba, pohon menjadi tumbuh subur dan bahagia, serta burung – burung berkicau dengan bebas dan merdunya. Anak – anak kecilpun bisa menari di bawah hujan dengan riangnya. Cerminan ini menjadi wujud kecil dari hadirnya hujan sebagai rahmat Yang Maha Kuasa.
Kembali ke Sate Babi
Lama saya menyelami tentang eksistensi hujan beserta segala klisenya, pikiran saya diarahkan kembali pada bau sate babi yang ada di hadapan. Konklusi sederhana pun muncul di sanubari, dimana hujan dengan segala hitam dan putihnya memang sewajarnya bisa menjadi bahan dialektika rutin focus group discussion (FGD) ibu-ibu kantin. Selesai menyantap tusukan sate yang terakhir, untaian kalimat lantang pun tiba-tiba muncul.
“Aduhh jeg hujan diributin, medagang dulu selegang. To lihat! Berkat hujan banyak pengunjung yang datang. Yuk siap-siap!” ujar Bapak pengebek sate sebagai penutup dialektika FGD ibu-ibu di Kantin Lumintang. [T]
BACA artikel lain dari penulisDEWA GEDE DARMA PERMANA