SENI pewayangan di Bali adalah panggung yang selalu hidup, ladang subur di mana kreativitas para dalang dapat tumbuh dan berkembang. Namun, di tengah gemuruh gender wayang, muncul pertanyaan yang tak kalah menggema, apakah style dalam pewayangan Bali adalah sekat yang membatasi kebebasan berekspresi, atau justru pijakan kokoh yang memperkaya seni? Perdebatan ini terus menggelitik saya dalam menciptakan ruang untuk merenungkan hubungan antara tradisi dan inovasi.
GAYA & STYLE: ANTARA KEBEBASAN DAN BATASAN
Dalam dunia pewayangan, istilah gaya dan style sering digunakan, tetapi jarang dipahami secara mendalam. Menurut saya gaya adalah refleksi individu seorang dalang, mencerminkan kepribadian, kreativitas, dan sentuhan secara personalnya. Contoh nyata dapat kita lihat pada sosok alm. Ida Ngurah Bagus Buduk yang merupakan dalang tersohor di Kabupaten Badung, beliau dikenal dengan pakem tradisi Wayang Bebadungan yang kental, suaranya yang khas, formulasi alur cerita yang pas, dan joke yang segar. Sehingga beliau saat ini menjadi kiblat dalang-dalang muda dalam mempelajari pawayangan style bebadungan
Sementara itu, style memiliki cakupan yang lebih besar, ia adalah identitas kedaerahan yang tumbuh dari akar tradisi lokal. Di Bali, style wayang memiliki ragam kekayaan, dari Wayang Bebadungan di Badung, Wayang Sukawati di Gianyar, hingga pembagian besar antara Bali Utara dan Selatan. Style berfungsi sebagai benang merah yang menyatukan kekhasan lokal pewayangan Bali.
Namun, inilah letak dilema yang menggelitik. Ketika seorang dalang merasa terkungkung oleh style, apakah itu berarti tradisi telah membelenggu kreativitasnya? Ataukah ini hanya dalih bagi kurangnya eksplorasi seni? Pertanyaan ini membuka ruang diskusi yang menarik, bahkan kontroversial.
MENGHIDUPKAN TRADISI, MERANGKUL INOVASI
Dalam percakapan dengan ayah saya yaitu Agung Aji Dalang, yang juga seorang dalang tradisi, beliau pernah berkata “Mengikuti style bukan berarti kehilangan kebebasan. Justru tradisi itu adalah pijakan untuk menciptakan sesuatu yang berakar dan bermakna.”
Beliau menambahkan, “Kreativitas tanpa dasar tradisi seperti pohon tanpa akar. Ia mungkin tumbuh, tetapi mudah tumbang diterpa waktu.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa style bukan sekadar aturan kaku, melainkan fondasi bagi dalang untuk mengembangkan gaya pribadi mereka.
Style adalah peta, sedangkan gaya adalah perjalanan yang kita pilih sendiri. Jika ada dalang yang merasa style menghambat kreativitasnya, mungkin masalahnya bukan pada style, tetapi pada cara ia memahami dan mengolahnya.
Style memberikan struktur dan arah, sementara gaya adalah elemen dinamis yang membuat setiap pertunjukan menjadi hidup dan unik. Sayangnya, perdebatan ini sering kali berujung pada sikap saling tuding. tradisi yang baik tidak pernah membelenggu, ia menjadi pelita yang memandu perjalanan seni.
STYLE YANG DIFORMULASIKAN: MENYEGARKAN PEWAYANGAN
Ketika style diformulasikan dengan cermat, ia mampu melahirkan sesuatu yang segar tanpa kehilangan akar tradisinya. Contohnya dapat kita lihat pada sajian pertunjukan Wayang Cenk Blonk. Dengan gaya khasnya, ia berhasil menggabungkan elemen berbagai style pewayangan di Bali. Namun, penggabungan itu tidak membuatnya melenceng dari tradisi, melainkan memperkaya pewayangan dengan warna baru. Menariknya, menurut pengamatan saya, apa yang dahulu dianggap sebagai gaya khas Ceng Blonk kini mulai berkembang menjadi style baru yang secara tidak langsung diakui dalam dunia pewayangan Bali.
Hal ini membuktikan bahwa ketika tradisi dan inovasi diramu dengan baik, mereka mampu melahirkan warisan baru yang relevan dan memikat. Seni pewayangan tidak lagi hanya menjadi peninggalan masa lalu, tetapi juga medium dinamis yang terus beradaptasi dan menyegarkan diri di tengah zaman yang berubah.
TRADISI DAN KREATIVITAS, BUKAN SEKAT TETAPI JEMBATAN
Perdebatan tentang style dan gaya sebenarnya adalah cerminan dari dinamika seni itu sendiri. Tradisi tidak dimaksudkan untuk menjadi tembok yang membatasi, melainkan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Sebaliknya, kreativitas sejati lahir dari keberanian untuk mengeksplorasi tanpa melupakan akar.
Dari pada melihat style sebagai sekat, para dalang sebaiknya memanfaatkannya sebagai kanvas besar untuk melukiskan gaya unik mereka. Seni pewayangan Bali, dengan kekayaan tradisi dan potensinya yang luar biasa, akan terus hidup sebagai medium kreatif yang tak lekang oleh waktu, menginspirasi, memikat, dan memuliakan budaya.
Kata saya sih “Tradisi adalah warisan, bukan batasan. Ketika yang lama dan yang baru disatukan dengan hati, pewayangan akan selalu relevan, segar, dan bermakna.” [T]
- BACA artikel lain dari penulisI GUSTI MADE DARMA PUTRA