Geguritan Rajendra Prasad: Tonggak Awal Jejak Bung Karno dalam Sastra Bali Tradisional[i]
SEBAGAI salah satu tokoh yang berperan vital dalam kemerdekaan bangsa Indonesia, kenangan tentang kisah hidup Bung Karno bisa ditemukan dalam berbagai dokumentasi seperti foto, video, dan berbagai tulisan.
Foto Sang Proklamator yang kharismatik tak hanya terpajang di berbagai tempat kenegaraan, tetapi juga menyusup hingga ke kamar-kamar pribadi pengagumnya. Demikian pula videonya. Badan Arsip Nasional yang sering memutar video Bung Karno pada momentum kebangsaan, hingga kini masih punya taksu untuk menyulut nyali anak bangsa agar tetap menyala mempertahankan kedaulatan Indonesia.
Tak hanya itu, ratusan tulisan telah mengabadikan salampah laku Bung Karno dalam berbagai bidang kehidupan. Ia sendiri juga mencatat sari-sari pemikirannya dalam sebuah buku berjudul “Di Bawah Bendera Revolusi”. Pemikiran-pemikirannya yang bergenre sastra tertuang dalam sejumlah naskah drama ketika beliau mengalami pengasingan di Ende, Nusa Tenggara Timur (Sugilanus, 2019).
Tjokorde Gde Ngoerah
Di antara berbagai dokumentasi itu, seorang pengarang bernama Ida Tjokorde Gde Ngoerah dari Puri Saren Kauh, Puri Agung Ubud diam-diam mencatat lawatan Bung Karno ke Bali pada tanggal 14 Desember tahun 1958. Menariknya, catatan itu tersaji dalam sebuah karya sastra Bali Tradisional berjudul Geguritan Rajendra Prasad. Sejauh pelacakan yang dilakukan terhadap khazanah geguritan Bali, baik di Gedong Kirtya maupun Pusat Dokumentasi Kebudayaan Bali, karya sastra yang menarasikan kiprah Bung Karno yang lain belum ditemukan. Dengan demikian, Geguritan Rajendra Prasad ini dapat dijadikan sebagai tonggak karya sastra Bali tradisional paling awal yang menceritakan salampah laku Bung Karno.
Tjokorde Gde Ngoerah | Foto: Cokorde Gede Bayu Putra
Ida Tjokorde Gde Ngoerah yang menulis kisah Bung Karno ini adalah figur sastrawan produktif. Dari ketekunan beliau mengabdi kepada Hyang-Hyanging Aksara lahir karya-karya sastra yang penting dalam peradaban batin Bali.
Beliau adalah sosok yang ada di balik Kakawin Gajah Mada, Geguritan Sri Nata Wasitwa Amla Nagantun, Geguritan Sudamala, Geguritan Tataka Suddha, dan yang lainnya. Sebagian karya-karya beliau itu tersimpan di Puri Anyar Ubud, tempat adinda beliau yang bernama Tjokorde Rai Sayan. Sebagian lagi disimpan di Perpustakaan Lontar, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana. Kampus yang disebutkan terakhir itu dalam sejarahnya kita ketahui diresmikan langsung oleh Bung Karno. Beliau yang menapakkan kakinya di halaman kampus pertama Bali itu barangkali tak pernah tahu bahwa sepenggal perjalanannya ditulis dalam sebuah lepitan lontar berjudul Geguritan Rajendra Prasad di tempat itu sendiri.
Pemilihan bentuk geguritan oleh Tjokorde Gde Ngoerahsebagai media penuangan kisah Bung Karno ini tentu memiliki maksud khusus. Dengan menggubah kisah perjalanan Bung Karno dan Rajendra Prasad berbentuk karya sastra, lawatan Sang Putra Fajar tidak menjadi dokumentasi pemikiran yang kaku dan beku, tetapi senantiasa cair, menarik, dan estetik.
Di samping itu, dengan bentuk geguritan, karya sastra ini bisa dinyanyikan sehingga spektrum masyarakat yang menyimaknya menjadi lebih luas dan pada saat yang bersamaan kisahnya menembus ceruk-ceruk hati masyarakat pendengarnya. Dengan demikian, melalui Geguritan Rajendra Prasad sepenggal kisah Bung Karno sejatinya abadi. Tulisan atau aksara sesuai fitrahnya memang membuat sesuatu tak akan mudah ditadah waktu dan tak akan karam ditelan samudra zaman.
Geguritan Rajendra Prasad
Lontar Geguritan Rajendra Prasad, Koleksi Unit Lontar Unud | Foto: Guna Yasa
Geguritan Rajendra Prasad mengisahkan perjalanan Bung Karno menemani presiden India yang saat itu dijabat oleh Rajendra Prasad. Kala itu, Bung Karno tiba lebih dulu di Bali untuk menyambut Rajendra Prasad di bandara Tuban. Betapa meriah sambutan yang dipersiapkan oleh masyarakat Bali. Sepanjang jalan yang akan dilalui dua pemimpin Negara tersebut dipasangi penjor (muparengga penjor sami, salwiring kinawanan). Jalan-jalan dibersihkan (awanikon suddha bresih). Sementara itu, kepala daerah dan para punggawa siap menyambut dengan busana serba mewah.
Lagya presidhan śukarṇna, sang tuhu makadhi luwih, alĕp cumandang manrima, sang prapta ngambareng langit, tan liyan sang adhi luwih, rajendrāprasad kawuwus, presidhen ĭndhya nĕgarā, dipta halus nyunyur manis, ulat arum, tĕmu akṣi sirang karwa (Pupuh Sinom, bait 9).
Terjemahan.
Pada saat yang bersamaan Presiden Sukarno, yang benar-benar utama, dengan berwibawa menunggu untuk menyambut, seorang tamu yang masih terbang di langit, tiada lain ia yang adimulia, yaitu Rajendrāprasad, Presiden Negara India, raut wajah yang berkarisma, tatapannya bersahaja, bertemu pandang beliau berdua.
Setelah Rajendra Prasad mendarat, Bung Karno menyambutnya dengan cara berjabat tangan sembari menyampaikan ucapan selamat datang. Para petugas langsung mempersilakan Presiden India dan Indonesia itu menuju mobil yang telah disiapkan. Bala tentara mendampingi dengan berbagai senjata, sedangkan para pejabat mengikuti di iring-iringan belakang. Para siswa yang memegang bendera juga tidak ketinggalan menyambut kedatangan Rajendra Prasad dan Bung Karno.
Tjokorde Gde Ngoerah tidak menyebutkan secara pasti tempat yang dipilih oleh Bung Karno dan Rajendra Prasad untuk beristirahat di Denpasar. Dugaan yang kuat mengenai tempat ini adalah Hotel Inna Bali, hotel tertua di Bali yang terletak di jantung Kota Denpasar[ii]. Namun, tak berselang lama di Denpasar, beliau berdua langsung menuju Istana Tampaksiring.
Dalam karya sastra ini, Ida Tjokorde Gde Ngoerah juga menyebutkan bahwa di tahun 1958, istana Tampak Siring baru saja dibangun (astana kang wau putus, pangusiran macengkrama). Penelusuran di berbagai artikel lain menunjukkan informasi yang benar. Istana Tampak Siring memang pertama kali dibangun tahun 1957. Tjokorde Gde Ngoerah menyatakan bahwa istana Tampak Siring bagaikan Ambarawati yang dipenuhi dengan berbagai keutamaan yang memanjakan mata setiap orang yang memandang. Agaknya, pengarang tahu persis pada masa lampau di daerah aliran sungai Tukad Pakerisan memang ada pertapaan yang disebut dengan Ambarawati.
Kedatangan Bung Karno dan Rajendra Prasad di istana Tampak Siring disambut dengan berbagai hidangan lezat dan hiburan. Pada bagian ini, Ida Tjokorde Gde Ngoerah sengaja menambahkan penjelasan mengenai ihwal kelahiran beberapa desa di Tampak Siring. Berbekal teks Usana Bali, Tjokorde Gde Ngoerah membabar pertempuran antara Maya Danawa dengan Indra yang secara mitologis diyakini berada di seputar wilayah Tampak Siring. Ketika pasukan Maya Danawa dikejar oleh para dewata, tiba-tiba di sebuah tempat yang agak tinggi, para raksasa berwujud seperti api yang menyala. Oleh sebab itulah wilayahnya disebut Tihapi.
Katngĕr mungguh ring kretha, mrupa kadi apuy ngĕndih, balā dewā ngĕsahaṣa, wiroṣa mangĕtut buri, inaran padati api, malih makĕlap kinepung, wĕkas inaran laplapan, manggĕh kroda mangkin wrĕddhi, tan sah mburu, lilih ira kabayabya.
Terjemahan.
Diduga naik di kereta, berwujud seperti api yang menyala, pasukan para dewa segera mengejar, sangat ganas mengejar, sehingga desa itu disebut Padati Api, karena ada yang berkelip maka dikejar lagi, sehingga akhirnya desa itu dinamai Laplapan, semakin besar kemarahan para dewa, niscaya dikejar, tetapi berhasil kabur menuju arah barat laut.
Petikan di atas menunjukkan etiologi nama Desa Tihapi (kini Tatiapi). Selanjutnya, karena para raksasa yang berwujud api itu berlari, maka cahayanya seperti berkelap-kelip sehingga wilayah itu lama-kelamaan disebut dengan Laplapan. Masih banyak nama-nama daerah seperti Panuswan, Kendran, Blusung, Tampak Siring, dan yang lainnya yang disebutkan oleh Tjokorde Gde Ngoerah hingga akhirnya Dewa Indra berhasil mengalahkan Maya Danawa dan menciptakan sumber air yang terkenal hinggal saat ini bernama Tirta Empul.
Pasca bercengkrama selama beberapa hari di Istana Tampak Siring, Bung Karno dan Rajendra Prasad melanjutkan perjalanan ke Ubud. Di tempat yang kini menitis menjadi destinasi wisata dunia itu, Bung Karno dan Rajendra Prasad disambut di Pura Mahasaraswati. Ida Tjokorde Gde Ngoerah menarasikan keindahan arsitektur pura yang kini dikenal dengan sebutan Pura Langon tersebut dengan sangat rinci. Mulai dari halaman luar pura yang dikelilingi kolam, patung, dan air mancur. Hingga di halaman dalam pura dengan berbagai meru, patung yang dipuja, dan berbagai sarana upacara pemujaannya. Keberhasilan Tjokorde Gde Ngoerah menguraikan tatanan pura ini dengan begitu rinci disebabkan karena beliau sendirilah arsitek pura Mahasaraswati itu. Tjokorde Gde Ngoerah juga mengarsiteksi pembangunan Puri Agung Ubud pasca tertimpa gempa dahsyat sekitar tahun 1960-an.
Di Pura Mahasaraswati, Bung Karno dan Rajendra Prasad diperciki tirta penyucian oleh para pendeta didampingi oleh keluarga Puri Ubud terutama Anak Agung Oka Gianyar. Para pelayan kedua presiden tersebut berasal dari berbagai wilayah di Gianyar seperti Ubud, Tegalalang, dan Kedewatan. Usai berbagai rangkaian upacara untuk memohonkan keselamatan kepada Presiden Indonesia dan India, Tjokorda Gde Ngoerah menceritakan dua orang pelayan yang membawa kenang-kenangan khusus untuk kedua tamu Negara itu. Kenang-kenangan itu berwujud teratai emas dan diterima oleh Sukarno serta Rajendra Prasad dengan perasaan senang.
Bertolak dari Pura Mahasaraswati, Bung Karno dan Rajendra Prasad sempat mampir sebentar ke Museum Ratna Warna (Museum Puri Lukisan). Di museum tersebut, beliau disuguhi berbagai karya lukisan dan patung dengan kualitas terbaik. Tak berselang lama, Presiden Indonesia dan India itu pun pulang.
Kepulangan Bung Karno dan Rajendra Prasad dari Museum Ratna Warna juga mengakhiri geguritan yang ditulis oleh Tjokorde Gde Ngoerah. Pengarang yang juga menulis Geguritan Sri Nata Wasitwa Amla Nagantun dan Tataka Suda ini adalah pencatat peristiwa zaman yang baik. Ia seperti tak mau melewatkan berbagai peristiwa yang sempat terjadi di catus pata Ubud. Jejak perjalanan Bung Karno dan Rajendra Prasad abadi dalam geguritan yang bisa didendangkan hingga hari ini.
Diplomasi Indonesia dan India
Sewindu sebelum Rajendra Prasad tiba di Indonesia, pada tahun 1950 Presiden Soekarno mendapat undangan dari presiden India Rajendra Prasad untuk berkunjung ke India guna merayakan perayaan kemerdekaan bangsa India dari penjajahan Inggris. Kemerdekaan India dirayakan pada tanggal 26 Januari 1950. Turut serta dalam rombongan presiden republik Indonesia itu adalah Ibu Negara, Fatmawati. Rombongan ini bertolak dari Indonesia pada 23 Januari 1950. Setiba di India rombongan disambut Presiden Rajendra Prasad yang ketika itu berusia 70 tahun.
Foto Penyambutan Bung Karno oleh Rajendra Prasad tahun 1950 di India | Foto https: Wikipedia
Setelah beberapa hari tinggal dan dijamu di istana kepresidenan, Bung Karno dan rombongan diundang perdana menteri India yang bernama Jawaharlal Nehru, dan diminta bermalam di rumahnya yang begitu besar dan indah. Fatma sangat mengagumi rumah Nehru yang berkonsep tradisional swadesi. Semua perabot dan perlatan rumah sang perdana menteri yang asli buatan bangsa India sendiri. Dalam waktu singkat, Fatma sudah sangat akrab dengan Nehru. Ketika itu, usia Fatmawati baru 28 tahun. Nehru menyayangi Fatma bagaikan anaknya sendiri. Setiap jalan beriringan, Nehru selalu menggandeng tangan Fatmawati.
Lima tahun setelah kedatangan Bung Karno ke India, pada tahun 1955 terjadi pertemuan konferensi Asia Afrika di Bandung. Pertemuan yang juga sering disebut Konferensi Bandung ini diikuti oleh negara-negara Asia-Afrika yang baru saja meraih kemerdekaannya. Konferensi Asia-Afrika diprakarsai oleh Indonesia, Myanmar, Sri Lanka, India, dan Pakistan. Pertemuan yang terjadi dari tanggal 18-24 April 1955 di Gedung Merdeka, Bandung ini pada intinya tujuan mempromosikan kerjasama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika dan melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya. Dalam pertemuan tersebut, India diwakili oleh perdana menterinya yang bernama Jawahlal Nehru.
Dari rangkaian pertemuan ini, hubungan antara Indonesia dengan India terajut baik. Jawaharlal Nehru dan Soekarno kemudian menjadi tokoh penggerak Gerakan Non Blok yang mampu meredakan ketegangan antara Blok Barat yang dinahkodai Amerika Serikat dan Blok Timur oleh Uni Soviet. Gerakan ini mampu membawa warna baru dalam kancah politik dunia[1]. Soekarno pernah menulis surat pada Nehru, “India dan rakyatnya terikat erat pada kami dengan darah dan kebudayaan. Hubungan ini telah terjalin dari awal tercatatnya sejarah. Kata India juga akan selalu ada dalam hidup kami. Sebagian kata itu merupakan rangkaian huruf pertama yang kami pilih untuk menamai bangsa dan negara ini” (Suryo Nugroho, 2016: 127).
Lekatnya hubungan Indonesia dengan India di era tahun 1940-an disebabkan oleh situasi negara yang tidak jauh berbeda. Kedua negara itu masih belum stabil secara politis pasca dekolonisasi bangsa Barat. Gerakan Nonblok yang digagas oleh Bung Karno dan Jawaharlal Nehru ditujukan untuk menghimpun kekuatan baru Negara-negara berkembang di Asia dan Afrika dalam forum internasional[2].
Bertitik tolak pada rajutan hubungan antara Sukarno dengan para pemimpin India seperti Rajendra Prasad dan Nehru, Bung Karno sesungguhnya berusaha merawat hubungan politis negara-negara yang baru saja merdeka. Perjalanan Bung Karno dengan Rajendra Prasad di Bali yang termuat dalam Geguritan Rajendra Prasad juga mengabadikan usaha diplomasi dua pemimpin negeri. Dua pemimpin negeri itu tidak saja peletak fondasi bangsanya masing-masing, tetapi juga tidak pernah lelah untuk menyalakan nyali negara-negara lain untuk berdiri sesama tinggi dengan Amerika Serikat dan Uni Soviet.
Sebagai doa penutup untuk keabadiaan Bung Karno dan Rajendra Prasad yang sudah mencapai alam shunya, mari kita petik mantra Mretyunjaya yang dialirkan Ida Tjokorda Gde Ngoerah kepada kita:
mretyujaya, ayu werdi jagat pati, suka sriya dharma stuti, nemua suka nemua ayu, Ongkara nama wikrana, anugraha sidhi mandhi, ayunulus, suddha kang jagadhita ya.
[1] https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/muspres/foto-kunjungan-sukarno-pada-tahun-1950-ke-india/
[2] https://eprints.umm.ac.id/54364/3/BAB%20II.pdf
[i] Parama Suksma dihaturkan kepada Cokorda Gede Bayu Putra, Cokorda Agung Ichiro Sukawati, dan Ratu Aji Ida Bagus Oka Manobhawa atas nyala semangat yang senantiasa dijaga dalam menelusuri kekaryaan Tjokorde Gede Ngoerah.
[ii] Informasi didapatkan dari sahabat Kadek Surya Jayadi, seorang dosen muda dari Program Studi Sejarah, FIB Unud.
BACA artikel lain dari penulis PUTU EKA GUNA YASA