HUTAN lebat, sejuk dan lestari. Di tengah hutan itu, Ki Barak bergerak bersama pengikutnya, bergerak menuju Denbukit. Ia bertemu Panji Landung dan menyampaikan semacam ramalan bahwa kelak Ki Barak akan menjadi raja di wilayah Denbukit.
Begitulah pementasan Fragmentari Bianglala Denbukit dibuka. Lalu cerita bergerak, pesan-pesan bergerak, dan kemeriahan pun menguar pada panggung terbuka di Lapangan Bhuana Patra Singaraja, Selasa malam, 26 Maret 2024.
Fragmentari yang digarap kru dari Bidang Kesenian Dinas Kebudayaan Buleleng itu adalah kesenian pembuka dari acara “Malam Semarak Buleleng Berbangga” serangkaian perayaan HUT ke-420 Kota Singaraja. Acara itu sendiri dibuka Pj. Bupati Buleleng Ketut Lihadnyana.
Di tengah panggung yang gemerlap dengan lampu warna-warni, dengan tata artistik penuh cahaya terang itu, fragmentari semacam Bianglala Denbukit ini sekilas tampak seperti pelengkap panggung semata. Lihat saja, panggung itu sepertinya didesain dengan prioritas utama pada pementasan musik, sehingga kesenian tradisional semacam Fragmentari Bianglala Denbukit seakan-akan berada pada ruang yang keliru.
Apalagi, layar di latar panggung menyala terang dengan gambar warna-warni bianglala, sepertinya membuat tubuh-tubuh penari dikulum oleh cahaya warna. Padahal, dalam kesenian tradisional, cahaya seharusnya memberi “roh” pada tubuh penari agar penari bisa memancarkan sinar taksunya di atas panggung.
Namun, tak apa. Penari-penari dalam fragmentari itu sepertinya punya kekuatan untuk menunjukkan taksunya. Mereka, para penari yang sebagian besar sudah matang itu, tetap tampak menonjol di antara properti panggung yang terlalu “megah”.
Fragmentari itu dimulai dengan tarian hutan yang indah dengan iringan tabuh manis sekaligus energik. Lalu masuklah tokoh utama, pendiri Kerajaan Buleleng, Ki Barak — yang kemudian dikenal sebagai Anglurah Panji Sakti.
Ki Barak menunggangi Singa Ambara Raja dalam Fragmentari Bianglala Denbukit | Foto: Dok. Disbud Buleleng
Cerita kemudian bergerak. Tari-tarian yang ditata Dekgeh dan iringan tabuh yang ditata Ketut Pany Ryandhi itu lantas mengalir dari awal hingga akhir, mengantarkan cerita tentang keberagaman Buleleng yang memikat.
Fragmentari itu memang bercerita tentang keberagaman budaya Buleleng di masa kini dengan balutan kisah sejarah berdirinya Kota Singaraja dengan tokoh raja besar Ki Barak Panji Sakti. Ide garapan datang dari I Ketut Mulyadi, seorang seniman tari kebanggan Buleleng yang biasa dipanggil dengan nama Ucik.
Sementara dalang dipercayakan pada Wayan Sujana dan Putu Suarsana. Selain kru dari Dinas Kebudayaan Buleleng, pemain fragmentari yang berjumlah 50 orang itu juga dibon dari STAHN Mpu Kuturan, Undiksha Singaraja dan penari dari Dekgeh Dance Art Community.
Adegan demi adegan dalam fragmentari itu mengalir dengan lancar, dengan pembabakan yang diatur dengan baik.
Ki Barak bertemu Panji Landung di tengah hutan di atas bukit. Ki Barak mendengar ucapan Panji Landung, bahwa kelak dia akan memerintah dan jadi penguasa di wilayah Denbukit. Untuk itulah, Ki Barak berkeinginan untuk mengetahui seperti apakah daerah yang akan menjadi daerah kekuasaannya kelak. Dengan bantuan Singa Ambara Raja, Ki Barak menyisir wilayah Denbukit mulai dari ujung barat sampai ujung timur.
Nah, pada babak-babak inilah masuk kemudian, seperti sekuel-sekuel dalam film, beberapa atraksi seni yang menunjukkan tentang betapa beragamnya seni-budaya Buleleng. Bukan hanya kesenian tradisional Bali, melainkan juga kesenian khas Muslim dan Tionghoa. Di situ muncul pesan bianglala, pelangi, warna-warni, yang meski disampaikan secara agak berlebihan oleh sang dalang, namun pesan itu setidaknya memberi renungan pada kita tentang apa-apa saja yang patut jadi kebanggaan warga di Bali Utara.
Tampil sebagai sekuel garapan seni di tengah fargmen itu antara lain gebug ende, wayang wong tejakula, adrah pegayaman, barongsai, atraksi lumba lumba lovina, dan sapi grumbungan.
Meski cerita dalam garapan ini tergolong carangan, semacam modifikasi cerita lama yang digabungkan dengan kondisi kontekstual saat ini, namun cerita ini tidak kehilangan alur untuk sampai pada pesan penting yang ingin disampaikan. Hal-hal baru yang masuk dalam garapan cerita, semisal gebug ende dan adrah, memang terasa menyimpang dari logika sejarah, namun garapan ini sepertinya bukan bertumpu pada sosialisasi sejarah, melainkan fokus pada pesan.
Gebug ende, kita tahu, bukanlah atraksi seni asli dari Buleleng. Atraksi itu dibawa oleh orang-orang dari Desa Seraya, Karangasem, yang migrasi ke wilayah Gerokgak, Buleleng bagian barat. Peristiwa migrasi itu tentu saja peristiwa baru dan jauh dari setting sejarah perjalanan Ki Barak Panji Sakti dari Klungkung ke Buleleng atau Denbukit.
Adrah, misalnya, adalah kesenian khas Muslim dari Desa Pegayaman. Kata sejarah, warga Muslim itu dibawa oleh Panji Sakti dari Jawa pada saat Panji Sakti sudah menjadi raja. Jadi, logikanya seperti tak masuk akal jika Ki Barak sudah melihat kesenian adrah pada saat ia baru saja memasuki Denbukit.
Semarak keberagaman seni budaya yang ditampilkan dalam Fragmentari Bianglala Denbukit | Foto: Dok. Disbud Buleleng
Namun, sekali lagi, fragmentari Bianglala Denbukit ini sejak awal memang tidak bicara soal sejarah, meski sejarah itu sendiri sebenarnya juga masih bisa diperdebatkan. Fragmentari ini bicara soal pesan, dan pada saat itulah penggarap harus lihai melakukan melakukan modifikasi terhadap cerita-cerita yang sudah dikenal masyarakat sekaligus memasukkan unsur-unsur kekininian agar cerita menjadi segar. Dan fragmentari Bianglala Denbukit, bisa disebut sebagai fragmen yang secara utuh bicara soal keberagaman dan kebanggaan, dan bukan bicara soal romantisme sejarah.
“Bianglala atau pelangi memiliki warna yang berbeda, di mana tiap warna memiliki karakteristik yang berbeda pula,” kata Mulyadi tentang ide garapannya.
Seperti halnya Denbukit atau Buleleng, kata Mulyadi, memiliki tradisi adat dan budaya yang berbeda di setiap bagian wilayahnya, yang dianalogikan sebagai warna warna dari bianglala. “Itulah inti dari fragmentari itu,” kata Mulyadi yang tamatan ISI Denpasar itu.
Pesan ini memang klise. Tapi seperti itu memang tugas kesenian. Ia menyampaikan pesan yang sama dengan cara yang beragam dan berbeda-beda. Kata-kata yang tepat sepertinya bukan “klise”, melainkan “konsisten”.
“Pesan yang ingin disampaikan dalam garapan ini adalah, kita sebagai warga Buleleng sudah sepatutnya mengetahui budaya lokal genius yang beragam dari berbagai etnis. Dan kita bisa hidup rukun berdampingan dengan etnis yang berbeda,” kata Mulyadi. [T]