KEHIDUPAN masyarakat dengan segala kegiatannya tak dapat dilepaskan dan dipisahkan dari kegiatan yang barang tentu akan menghasilkan sampah. Sampah muncul sebagai konsekuensi dari aktivitas manusia, baik yang bersifat domestik maupun industri.
Tantangan sampah semakin rumit seiring dengan pertambahan jumlah penduduk, percepatan urbanisasi dan gaya hidup masyarakat. Produk sekali pakai, plastik, kemasan-kemasan berlebihan, dan limbah industri yang semakin meningkat, serta kurangnya pengetahuan masyarakat akan pentingnya mengolah limbah yang mereka hasilkan—dengan cara sederhana—mengakibatkan masalah ini seolah rumit untuk dipecahkan.
Berangkat dari permasalahan tersebut, pada Jumat, 12 Januari 2024, SMPN 1 Singaraja melakukan kegiatan P5 dengan tema “Gaya Hidup Berkelanjutan”. P5 adalah Proyek Penguatan Pelajar Pancasila. Program ini bertujuan untuk membangun krakter siswa agar lebih peka terhadap lingkungan serta mengetahui isu-isu penting di masyarakat.
Ada beberapa pilihan program yang dipilih oleh siswa kelas 7, mulai dari pembuatan ecoenzyme, pembuatan pupuk padat dan cair, pembuatan VOC, pembuatan lukisan wajah plastik, dan pembuatan ecobrick.
Banyak siswa tertarik untuk membuat ecobrick, seingat saya ada sekitar 77 siswa yang ingin belajar membuatnya. Sebagai Trainer Gea Ecobrick dan sekaligus penggiat lingkungan, saya menjelaskan, kegiatan pembuatan ecobrick ini bertujuan mengajak para siswa untuk memulai memilah dan mengelola plastik yang mereka hasilkan dengan cara, sekali lagi, sederhana.
Siapa pun dapat membuat ecobrick, termasuk siswa SMPN 1 Singaraja; tapi harus dimulai dengan benar dan diberikan pemahaman oleh trainer kenapa harus membuat ecobrick. Sebelum membuat ecobrick, trainer akan menjelaskan tentang plastik, lingkungan, dan ecobrick itu sendiri.
Setelah itu siswa saya ajak untuk praktik membuat ecobrick, dengan peralatan yang sederhana, botol, tas kresek bekas, plastik saset sebanyak-banyaknya, gunting dan stik bambu yang berfungsi untuk memadatkan.
Kami juga menyiapkan timbangan yang berfungsi untuk menimbang ecobrick yang dibuat—karena ecobrick mempunyai berat standar 200 sampai 500 gram, tergantung jenis botolnya.
Ecobrick bisa digunakan menjadi kursi, meja, atau bahkan kalau sudah banyak bisa digunakan sebagai bata untuk membangun ruang-ruang terbuka hijau di sekolah. Hal ini tentu dapat mendukung program sekolah adiwiyata.
Dengan program-program seperti ini, sekolah dapat membantu untuk menumbuhkan kreatiftas pada siswa serta merubah perspektif siswa dan masyarakat atas konotasi sampah yang cenderung selalu negatif.
Sebelum mendapatkan pelatihan, banyak siswa membuang plastik sekali pakai begitu saja, seolah benda tersebut tak dapat dimanfaatkan. Namun, setelah mendapatkan pelatihan ini, siswa menjadi sadar, ternyata sampah yang mereka buang, ketika dipilah dan diolah dengan baik, akan menciptakan nilai fungsional bahkan nilai ekonomi tinggi.[T]