DUA MALAM saya menghabiskan riang dan senang di Desa Senaru, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Timur. Lalu besok paginya, 14 Juni, masih tetap dengan riang dan senang, saya akan bergerak ke timur lagi, tepatnya desa Sembalun.
Dua malam di Desa Senaru seakan berminggu-minggu rasanya. Ada banyak hal yang temui sangat mirip dengan apa-apa yang ada di Bali, termasuk di desa saya di Desa Les, Tejakula, Buleleng.
Potensi Desa Senaru memang terletak pada alam dan budayanya. Di desa itu ada air terjun Sendang Gile dan Tiu Kelep. Di situ juga ada Rumah Adat Bayan. Ada hamparan kebun kopi Senaru, hingga terdapat pembuat brem khas Lombok. Ada juga jalur pendakian ke Gunung Rinjani lewat Desa Senaru.
Pemandu wisata partikelir seperti saya langsung membuat beberapa catatan untuk diingat-ingat, dan untuk dipelajari kembali nanti. Saya mecoba mengenali potensi Desa Senaru, apalagi jika bicara air terjun, di desa saya di Desa Les terdapat terjun dan beberapa sumber air. Kesamaan, kemiripan, dan perbedaan, dan apa-apa yang bisa dipelajari dari air terjun di Senaru, saya akan pelajari dengan baik.
Air terjun di Desa Senaru | Foto: Don Rare
Seperti di Desa Senaru, di desa saya di Desa Les juga ada sejumlah rumah tua masa lalu. Rumah itu juga masih bisa dikunjungi. Meski tidak ada kebun kopi sepert di Senaru, setidaknya di desa saya ada kebun coklat dan vanili yang bisa menjadi pengganti. Dan jika di Senaru ada pembuat brem khas Lombok, di Desa Les juga ada petani arak bali dan gula juruh yang masih berproduksi hingga hari ini.
Meski tidak ada gunung di Desa Les, setidaknya bukit masih asri dan bersiap untuk menyambut para pecinta trekking.
Terlihat sepertinya Desa Senaru dan Desa Les memang banyak memiliki persamaan. Tapi beberapa hal yang saya temukan selama menginap di Desa Senaru adalah diskusi para warga desa sebagai sumber daya manusia.
Warga dan rumah tua di Desa Senaru | Foto: Don Rare
Di sebuah kedai kopi, para pemandu muda menawarkan jasa untuk trekking, porter kepada para pengunjung lokal. Mereka sangat percaya diri dan menjadi diri sendiri. Terlebih hal yang menarik saya rasakan sendiri ketika bertemu dengan pemandu perempuan, women guide.
Tak hanya guide laki-laki di Desa Wisata Senaru, tapi memang ada guide perempuan. Pendiri kelompok guide perempuan itu adalah seorang perempuan bernama Sukatni atau yang biasa di panggil Katni.
“Women Guide di Senaru memang menjadi hal yang sangat menarik sekaligus inovatif dalam hal emansipasi wanita dan hak perempuan,” ungkap Kepala Desa Senaru Raden Akria.
Saya bersama guide perempuan di Desa Senaru | Foto: Don Rare
Saya kebetulan juga sempat bertemu guide perempuan di rumah adat Bayan, Desa Senaru. Selepas hujan saya berkunjung ke rumah adat dan disambut oleh guide perempuan. Dalam hati saya teringat beberapa minggu lalu di perjalanan saya bersama tamu di Desa Les , memang saat itu saya mengikutsertakan seorang perempuan untuk menjadi pemandu.
Wah, sungguh sebuah kebetulan dan kenyataan. Pada akhirnya sumberdaya manusia, ketulusan dan bagaimana cara pandang terhadap pariwisata semuanya akan berpulang pada masing-masing orang dan masing-masing pengelola.
Yang jelas pesan dalam lisan dan beberapa catatan yang bertebaran yang mengatakan tetua dulu menciptakan kebudayaan tujuannya untuk penghormatan terhadap semesta alam, bukan untuk pariwisata, pun membuat indahnya irigasi persawahan hanya untuk memastikan semua sawah mendapatkan pengairan merata. Bukan juga untuk mendatangkan tamu ke sawah sebanyak-banyaknya dan kemudian membelinya dan membangun tiang-tiang beton.
Tapi semuanya akan berubah, konon hanya perubahan yang kekal. Tetapi banyak hal bermakna dari Senaru yang saya resapi. Jika tak ada tamu, mereka tetap menjadi petani, tetap ke kebun kopi, ke kebun mete.
Mereka belajar dari Bali dan Bali akan belajar dari siapa? Entahlah , hanya Tuhan yang maha tahu. Terima kasih Senaru. Tetaplah setia pada alammu. [T]
Jalur pendakin ke Gunung Rinjani lewat Desa Senaru | Foto: Don Rare