NASI PUTIH yang saya masak kemarin siang, pagi ini sedikit berair. Tidak lama lagi, nasi yang tinggal sepiring itu akan segera basi.
Saya gamang, apakah akan saya makan atau saya berikan kepada burung-burung liar di halaman. Saya cium sekali lagi untuk memastikan. Aman.
Selama ini saya berusaha untuk tidak membuang makanan. Jika nasi atau makanan lain terlanjur basi, saya jemur atau langsung saya berikan hewan-hewan liar yang berkeliaran di seputar rumah.
Saya nyalakan kompor untuk menggoreng tempe dan telur ayam. Saya ingat, di kulkas kecil yang baru saya beli seminggu lalu, ada tauge segar.
Setelah saya bersihkan, tauge saya siram air panas yang sedianya untuk membuat kopi. Beberapa menit kemudian, lauk dan sayur untuk sarapan tersaji di meja makan
Saya ambil nasi di alat penanak nasi. Butir-butir nasi itu sudah mulai lengket. Tapi aromanya tidak menandakan nasi basi, hanya cita rasanya saja yang berubah.
Ketika mulai menghadap nasi dengan lauk dan sayur sederhana itu, saya kembali gamang. Apakah akan saya makan, atau keluar rumah untuk membeli nasi pecel di Yu Paini?
Tapi apakah bijak, membeli nasi pecel ketika ada makanan yang sudah siap santap?
Sesuap nasi masuk di mulut berikut sepotong tempe, telor mata sapi dan beberapa helai tauge.
Nasi yang sudah hambar itu tertolong dengan gurihnya paduan aroma bawang putih dan kedelai. Disusul lezatnya secuil kuning telur yang saya goreng setengah matang.
Sambil mengunyah, saya teringat cerita Kang Narji yang kemarin berkunjung ke rumah. Kami ngobrol tentang berbagai hal, dari sapi hingga gemak, dari biji pepaya hingga bibit durian lokal.
Tiba-tiba obrolan berbelok ke kisah Mbok Paerah. Janda miskin yang pernah mencoba bunuh diri dengan menusuk perutnya sendiri.
***
Janda 5 anak dan 12 cucu itu berniat mengakhiri hidupnya beberapa bulan lalu. Karena timbunan masalah keluarga yang seakan tidak ada habisnya.
Puncaknya, saat dua anak lelakinya yang sudah sama-sama berkeluarga, bertengkar hebat.
Pertengkaran dipicu oleh kambing milik sang kakak yang dijual adiknya secara diam-diam.
Dua kakak-beradik itu sama-sama miskin. Bedanya, kakaknya lebih giat bekerja dan bisa mengumpulkan uang untuk membeli kambing. Sedangkan adiknya pemalas dan ingin mendapatkan uang secara instan.
Ketika pertengkaran memuncak, keduanya mengeluarkan sabit, ibunya yang tidak lagi mampu mendamaikan segera mengeluarkan ultimatum.
“Aku akan bunuh diri jika kalian tidak menghentikan pertengkaran!”
Diacungkan pisau dapur berkarat, sambil matanya melotot kepada dua anaknya. Tapi mereka tak bergeming. Pertengkaran dilanjutkan.
Janda tua itu segera menancapkan pisau di perut, kemudian rebah di tanah.
Dua anaknya histeris, tetangga kiri-kanan segera berhamburan keluar rumah untuk memberikan pertolongan.
Semesta tidak menghendaki janda malang itu tewas. Setelah menginap dua hari di rumah sakit, dia sembuh. Tapi biaya yang dikeluarkan tidak sedikit.
Kisah tentang tragedi kemiskinan yang demikian menyayat itu menteror emosi saya.
Tiba-tiba saja muncul hasrat yang kuat dalam diri saya, untuk menghabiskan nasi yang hampir basi tersebut.[T]