HARTANTO ADALAH SEORANG PENYAIR telah menulis puisi sejak tahun 1980-an dan masih tetap menulis hingga kini. Namun ia tak hanya menulis puisi. Ia juga katalisator seni berpengaruh, bukan hanya di Bali, melainkan juga di tingkat nasional bahkan internasional.
Pergaulannya luas dan yang lintas batas. Ia kerap hadir untuk memberi inspirasi pada lahir dan munculnya berbagai even seni. Dalam bisang seni rupa ia bisa diseut sebagai maecenas yang memfasilitasi perupa untuk menggelar pameran atau masuk dalam pergaulan seni rupa yang lebih lapang.
Hartanto juga mengelola penerbitan Bali Mangsi, yang berpartisipasi pada pengembangan semangat literasi di Bali.
Untuk segala kiprahnya di dunia seni itu, ia diberi penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha 2023 dari Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Penghargaan itu diserahkan Rektor ISI Denpasar Prof. Dr. I Wayan “Kun” Adnyana dan diterimanya saat acara wisuda sarjana ISI Denpasar dan pembukaan Festival Nasional Bali Sangga Dwipantara III di di Gedung Citta Kelangen ISI Denpasar, Selasa, 28 Februari 2023.
Hartanto mendapat penghargaan bersamasejumlah seniman dan maestro seni lain. Mereka adalah I Wayan Pugeg yang dikenal sebagai maetro seni patung, I Ketut Pradnya yang dikenal sebagai pendiri Museum Arsitektur Wiswakarma, I Gusti Ngurah Adi Putra dikenal sebagai komposer, I Gusti Ngurah Suweka sebagai seniman Seni Pertunjukan, I Made Yasana yang diketahui sebagai seniman lukis yang terkenal, dan Happy Salma seorang artis dan seniman penting di bidang sastra, film, dan teater.
Hartanto sendiri mendapat penghargaan sebagai penyair dan maecenas seni rupa. Apa maksudnya maecenas seni rupa?
“Mengenai maecenas seni rupa dalam penghargaan ini, tentu bukan maecenas dalam hal finansial, melainkan cenderung pada wacana dan produk pemikiran. Bukti konkritnya, saya kerap mengajak beberapa teman perupa untuk ‘bertarung’ di tingkat internasional,” kata Hartanto tentang penghargaan yang diterimanya.
Hartanto tentu sangat bangga dengan penghargaan yang diterimanya ini.
“Penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha ini, saya dedikasikan utamanya pada ‘mahaguru’ Umbu Landu Paranggi, serta majalah MATRA yang merupakan proses kelanjutan setelah apresiasi sastra ala Umbu di media Bali Post,” kata Hartanto.
Umbu, kata Hartanto, saat di Bali Post menyediakan dua halaman untuk ruang apresiasi sastra. Satu halaman untuk remaja, dan satu halaman untuk budaya.
“Ini merupakan satu-satunya ruang sastra media cetak di Indonesia yang menyediakan dua halaman,” kenang Hartanto.
Sesungguhnyalah, kata Hartanto, Umbu tidak berpretensi bahwa apresian di ruang sastranya itu jadi penyair, melainkan ia membuka area pemikiran seluas-luasnya lewat seni sastra.
Hartanto (depan, nomor 3 dari kanan) saat menerima penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha 2023
Nah, kembali ke kata maecenas, kata Hartanto, istilah itu tidak melulu berkaitan dengan finansial, melainkan cenderung pada wacana dan produk pemikiran.
“Bukti konkritnya, saya mengajak beberapa teman perupa untuk ‘bertarung’ di tingkat internasional,” ujar Hartanto.
Beberapa kali, Hartanto mengajak teman-teman perupa ke perhelatan Beijing International Art Biennale, dan salah satu yang cukup bergengsi di tingkat dunia adalah keikutsertaan empat perupa dari Bali dalam pameran di Olympic Fine Art, saat Olympiade Beijing 2008.
“Selain di tingkat internasional, saya juga aca[ mengajak teman-teman perupa dalam perhelatan tingkat nasional,” katanya.
Tentang penghargaan dari ISI Denpasar ini, kata Hartanto, amat penting juga bagi pemicu pertumbuhan apresiasi seni budaya. Selain itu, penghargaan ini diharapkan juga akan memicu kegairahan ekosistem literasi di Bali.
“Saya sangat berharap, penghargaan Bali-Dwipantara Nata Kerthi Nugraha ini kelak makin berkembang ke tingkat nasional bahkan internasional,” ujarnya.
Hartanto menyatakan sangat hormat pada semua penerima penghargaan. “Dedikasi dan totalitasnya yang luar biasa, akhirnya sampai pada capaian yang menggembirakan,” ujarnya. [T]