Kumbhakarna tiba-tiba tersentak tatkala menyadari lidahnya telah keliru berucap. Wajahnya tiba-tiba tertunduk lesu ketika teringat pada nasibnya. Tirakat keras yang dilakukannya benar-benar sudah pupus. Sungguh memilukan, seorang kesatria perkasa yang semestinya berlaga di medan perang kini harus beristirahat panjang di atas ranjang.
Kumbhakarna tahu bila kesaruan nasibnya adalah ulah Dewi Saraswati, sang penguasa kata-kata. Kumbhakarna berusaha tegar dan tak ingin menyalahkan siapapun. Ia sekaligus mafhum bila segalanya terjadi karena kelengahan pikirannya. Ia sadar hanya peminjam kata-kata dari penguasanya yang sejati sehingga tidak seutuhnya merasa berhak untuk mengajukan protes.
Kalau punya kesempatan tentu dia cuma ingin berpesan kepada setiap orang bahwa kata-kata itu laksana alat pinjaman yang mesti dipergunakan dengan penuh kehati-hatian. Bila tidak mawas maka alat itu dapat menjadi rusak, melukai orang lain, atau kedua-duanya. Meski tidak sering secara eksplisit disampaikan, si pemilik pastilah memiliki standar harapan agar alat miliknya tetap aman ketika dipinjamkan.
Saban enam bulan (menurut perhitungan Kalender Bali) umat Hindu di Bali memperingati kemuliaan Devi yang telah memusnahkan upaya keras Kumbhakarna. Bisa jadi para bijak di masa lampau telah menyadari jika Kumbhakarna yang sangat perkasa saja dapat diperdaya oleh Sang Devi, apalagi manusia biasa yang penuh kelemahan.
Hal itu pulalah yang menyebabkan ajaran-ajaran tentang pengendalian lisan bertebaran dalam tradisi Hindu Nusantara. Kendatipun berdasarkan sumber-sumber tekstual juga tampak bila tradisi ‘puasa bicara’ merupakan kelanjutan dari kebiasaan orang-orang suci di Tanah Bharata.
Salah satu narasi yang cukup populer tentang ‘puasa bicara’ dapat ditemukan dalam Teks Adiparwa Jawa Kuno yang mengisahkan seorang pendeta mulia bernama Bhagawan Samiti yang sangat taat menjalankan puasa bicara (monabrata).
Ketika sang pendeta tengah tekun melaksanakan monabrata di dalam hutan dekat pertapaannya tiba-tiba Raja Parikesit lewat untuk mengejar binatang buruan. Saat melihat keberadaan sang pendeta, Raja Parikesit segera menanyakan arah pergi binatang buruan yang sedang dibuntutinya.
Tentu saja sang pendeta tidak menjawab pertanyaan Raja Parikesit karena dapat membatalkan brata yang tengah dijalaninya. Kebisuan Bhagawan Samiti membuat Raja Parikesit merasa tidak dihargai sehingga membalasnya dengan mengalungkan bangakai ular di leher sang pendeta.
Peristiwa pelecehan tersebut diketahui oleh putera Bhagawan Samiti yang pemarah bernama Sang Srenggi. Saking murkanya atas perlakuan Parikesit kepada ayahandanya, Sang Srenggi mengutuk Raja Parikesit tewas tergigit Naga Taksaka dalam waktu tujuh hari. Kendatipun segala upaya telah dilakukan untuk melindungi Raja Parikesit dari kutukan Sang Srenggi namun akhirnya nyawa sang raja tidak dapat diselamatkan.
Kisah tersebut mengindikasikan pelaku-pelaku monabrata sangatlah istimewa. Orang-orang yang berani mengganggu pelaku brata tersebut akan menerima akibat yang fatal. Ketentuan itu tak terkecualikan juga bagi seorang raja besar sekaliber Parikesit.
Sejatinya Parikesit adalah sosok yang istimewa. Sebab ketika tercemar oleh racun panah Asvattama saat masih berada dalam kandungan Utari, Bhatara Kresnapun turut berupaya keras untuk menyelamatkan nyawanya. Sayangnya ketika tanpa sengaja mengganggu pendeta yang tengah melaksanakan monabrata, nyawanya tidak dapat tertolong lagi.
Monabrata menduduki posisi yang penting dalam Agama Hindu karena merupakan prototipebagi pengendalian kata-kata secara lebih luas. Orang-orang yang terbiasa berbicara dengan bebas pastilah merasakan kesulitan-kesulitan ketika mulai berlatih monabrata. Pada tahap ini manusia juga menyadari bila berkata-kata merupakan kebutuhan yang mendasar dan sangat rentan untuk lepas kontrol.
Banyak orang kerap baru berpikir ulang atau menyesali diri ketika ucapannya telah salah arah. Temuan kata-kata secara fungsional sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan produktif sekaligus juga dibayangi oleh potensinya yang dapat menimbulkan bencana. Kata-kata lazimnya dipergunakan dalam aktivitas komunikasi.
Komunikasi sendiri berasal dari bahasa latin cum (bersama) dan units (satu). Secara lebih jelas istilah tersebut dihubungkan dengan kata latin communio yang mengarah kepada hubungan untuk mencapai kesatuan. Kendatipun telah diarahkan sebagai alat untuk mencapai hubungan yang menentramkan namun seringkali kata-kata juga secara tidak sengaja atau dengan sengaja disimpangkan sehingga mengakibatkan dampak-dampak yang tidak diharapkan.
Satu-satunya solusi untuk mewujudkan komunikasi yang penuh etika adalah mendidik pelaku-pelakunya dengan bersungguh-sungguh. Bahasa pada dasarnnya tidak hanya berfungsi dalam urusan-urusan eksternal seperti untuk menyampaikan maksud tertentu kepada orang lain seperti merayu, membujuk, memberitahu, menyampaikan keluhan, dan sebagainya. Secara lebih privat bahasa memiliki peran dalam menata proses berpikir seseorang pada dimensi internal.
Wilhelm Von Humbolt menyatakan bahasa terdiri dari dua bagian yakni bunyi dan pemikiran. Bunyi merupakan struktur eksternal sedangkan pemikiran adalah struktur internal. Struktur eksternal berupa bunyi dapat didengar oleh orang lain ketika seorang penutur tengah berbicara. Uniknya ketika berada dalam kesendirian suara-suara seperti yang dimiliki oleh struktur eksternal juga tetap mengendap dan berputar-putar dalam pikiran seseorang.
Bayangkan ketika bahasa tidak dikenal oleh seorang individu maka orang tersebut bahkan menjadi sangat sulit untuk melakukan monolog dengan dirinya sendiri. Pastinya orang-orang yang berada dalam kondisi demikian juga sangat sulit untuk melaksanakan tugas-tugas hidupnya yang lain.
Para penganut Hindu telah semenjak lampau menyadari anugerah bahasa yang sangat kompleks oleh karenanya tiada henti-hentinya melakukan pemujaan kepada Saraswati. Di Bali, orang-orang yang sangat pintar sekalipun tidak berani takabur dan tetap menjadikan Saraswati sebagai junjungannya. Terlebih ketika akan membuka kitab-kitab utama bahkan yang sebenarnya telah dikuasainya di luar kepada seorang ahli tetap akan memohon restu dari Dewi Saraswati.
Budaya semacam itu sejatinya dapat mencegah kemunculan orang-orang pintar yang bertindak sekehendak hatinya. Dalam dimensi keilmuan juga menghindarkan kebebasnilaian dari ilmu pengetahuan. Pada kondisi yang terarah semacam itu orang-orang cerdas belajar ilmu-ilmu pengetahuan utama bagi transformasi diri sekaligus sebagai wujud loyalitas sosialnya. Pengejawantahan lebih lanjut dari monabrata adalah praktiknya dalam relasi sosial.
Setelah berpikir dan bermonolog internal dengan matang seseorang kemudian dapat menata perkataannya secara berhati-hati ketika berinteraksi dalam lingkungan sosialnya. Terkait dengan hal itu Sarasamuscaya 75 memperingatkan terdapat empat hal yang tidak pantas terdapat dalam perkataan, yakni ucapan yang jahat, ucapan kasar, ucapan yang mengandung fitnah, dan ucapan yang mengandung dusta (nyang tanpa prawrttyaning, wak, pat kwehnya, pratyekanya, ujar ahala, ujar aprgas, ujar picuna, ujar mithya).
Kelanjutan dari tradisi lisan tentu dapat ditemukan pada tradisi tulisan. Manusia dengan kecerdasannya mampu menata tulisan sebagaimana menata kata-kata. Ketika tradisi virtual semakin mapan tradisi tulisan juga semakin berkembang pesat. Orang-orang dapat menulis atau menemukan konten tulisan apapun dengan mudah seolah tanpa batas. Puncaknya muncul tulisan-tulisan bertipe programming language yang semakin populer dari hari ke hari. Bahasa tipe itu juga dapat melantarkan maksud-maksud pembuatnya, seperti halnya kata-kata konvensional.
Tampak jelas juga bila programming language yang dengan mudah menghegemoni ucapan dan tulisan konvensional dapat merubah cara pandang maupun budaya para penggandrungnya. Seperti kehadiran media virtual yang dengan tiba-tiba dapat menggeser kebiasaan-kebiasaan lama secara instan. Dengan demikian kehadiran tipe bahasa baru seperti itu patut kita waspadai karena tabiatnya yang belum banyak dikenal.
Von Humbolt pernah berpendapat jika cara pandang seseorang tentang kehidupan dan budaya disesuaikan dengan bahasa asalnya. Apabila seseorang ingin membebaskan diri dari garis bahasa asalnya maka harus mempelajari bahasa lain. Demikian pula ketika ingin mengubah cara pandangnya maka seseorang harus mengenal budaya serta dialek bahasa lain terlebih dahulu. Bersandar pada gagasan Humbold tersebut semestinya disiapkan langkah-langkah antisipasi agar bahasa-bahasa varian baru tidak menimbulkan kekacauan.
Kendatipun formatnya telah sangat maju, programming language tetaplah berada di bawah kekuasaan Dewi Saraswati sebagai penguasa bahasa/ kata-kata (Vagdevi, Vagisvari). Sebab programming language meruapakan perkembangan lebih lanjut dari bahasa konvensional yang telah eksis sebelumnya.
Guna mengindari ‘terpeleset’ ketika menggunakan bahasa fitur baru maka setiap orang mesti memuja Dewi Saraswati dengan bersungguh-sungguh. Sang Devi selalu mengarahkan pemuja-pemujanya untuk menggunakan bahasa dalam bentuk apapun dengan benar. Selanjutnya para pemuja yang menyadari bila bahasa yang dipergunakan bukan seutuhnya milik dirinya akan sangat berhati-hati.
Perayaan Saraswati di Bali bukanlah sekadar mengupacarai naskah-naskah kuno yang telah dikeurubuti rayap, namun juga mengupacarai format-format bahasa masa depan yang dipastikan tidak melahirkan bencana. Kita optimis bahwa Saraswati selalu relevan menjadi payung zaman yang beradab.[T]