Catatan Pengamatan Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022
“Bohong … bohong … bohong …!” teriak spontan seorang anak ketika menyaksikan sosok ilusif yang tingginya nyaris dua kali manusia normal yang dimainkan oleh I Putu Bagus Bang Sada Graha Saputra (Gus Bang) dan Razan Wirjosandjojo. Sosok ilusif itu hadir dalam Dimensi, sebuah pertunjukan yang dipresentasikan Gus Bang dan Razan di halaman Pura Kahyangan Tiga, Banjar Teges Kanginan, Peliatan. Komentar spontan dan jujur dari anak itu membocorkan konstruksi ilusi dimensi tubuh yang dibangun oleh Gus Bang dan Razan dengan selembar sarung. Konstruksi ilusif itu ditolak dengan jujur dan polos oleh anak itu. Si anak menyadari bahwa ada dimensi yang tersembunyi di balik konstruksi yang dibangun oleh Gus Bang dan Razan pada 21 Juli 2022 malam itu.
Presentasi Gus Bang dan Razan berangkat dari dua kata kunci: dimensi dan ramalan. Razan sedang tertarik dengan semesta ramalan yang—menurutnya—merupakan kelindan antara yang terlihat dan tak terlihat (atau tersembunyi). Gus Bang memiliki perhatian khusus pada perkara dimensi tubuh dalam tari, baik dimensi fisik maupun dimensi dimensi dalam relasinya dengan indentitas historis dan kultural tubuh. Perkara dimensi serta yang-terlihat dan yang-tak-terlihat ini sebelumnya muncul dalam perbincangan saat peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 mengunjungi situs Gunung Kawi, terutama ketika menilik candi-candi yang menjulang dan bersandar di tebing-tebing padas yang mengapit Tukad Pakerisan, Tampaksiring, 19 Juli. Gus Bang dan beberapa peserta lain bertanya-tanya mengapa candi-candi itu hanya dipahat setengah saja sehingga lebih mengesankan candi-candi hanya memiliki dua dimensi ketimbang tiga dimensi.
Peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur dalam Sesi Sharing Methode di depan Candi Tebing Pura Gunung Kawi
Presentasi dan kunjungan ke Gunung Kawi tersebut merupakan bagian dari Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022 yang berlangsung 18–24 Juli 2022 di Gianyar, Bali. Program yang merupakan pre-event dari Indonesia Bertutur 2022 ini mempertemukan 18 penari/koreografer muda dari berbagai wilayah di Indonesia dalam sebuah platform laboratorium. Dalam wacana dan praktik seni pertunjukan kekinian, laboratorium memang menjadi salah satu platform yang efektif dan signifikan untuk melakukan kerja-kerja penciptaan serta distribusi dan pertukaran pengetahuan. Pemerintah—dalam hal ini, Direktorat Perfilman, Musik, dan Media; Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—sebagai salah satu stakeholder seni tari telah ambil bagian dan perannya pada bagian hulu dari aliran dan konstelasi kerja seni kekinian di Indonesia. Pelibatan komunitas lokal—dalam hal ini Teater Kalangan—sebagai pengoperasi program di lapangan, merupakan sebuah gestur yang baik untuk meninggalkan jejak pengetahuan di Bali sehingga Bali bukan hanya diposisikan sebagai objek dan sumber pengetahuan.
Mengalami Masa Lampau dan Menumbuhkan Masa Depan via Tubuh-Hibrida-Kini
Ada cita-cita signifikan yang disematkan pada laboratorium ini, di mana 18 penari/koreografer muda dengan identitas ketubuhan yang beragam bertemu, berbagi, bertukar, dan berdialog—bukan hanya melalui wacana verbal, melainkan juga melalui praktik dan kontak ketubuhan. “Harapannya, laboratorium ini bisa mengenali kaitan dan keberlanjutan yang lampau dan yang akan datang lewat praktik-praktik ketubuhan dalam tari dan koreografi.” Demikian cita-cita tersebut tertulis dalam pengantar program ini. Untuk mencapai cita-cita tersebut, para penari/koreografer muda ini “diundang untuk membangun percakapan, menguji ide-ide mereka, dan menampilkan satu karya tunggal atau kolaborasi pendek pada akhir laboratorium. Karya-karya yang ditampilkan disarankan berdasarkan pemahaman tentang situs cagar budaya terdekat di wilayahnya, namun bebas untuk menginterpretasikan narasi dan maknanya atau mengembangkannya sesuai dengan arahan kekaryaan masing-masing.”
Melati Suryodarmo Selaku Direktur Artistik Indonesia Bertutur 2022 Memberikan Sambutan dalam pembukaan Temu Seni Tari Serangkaian Indonesia Bertutur 2022
“Mengalami masa lampau, menumbuhkan masa depan” merupakan tema utama yang diusung Indonesia Bertutur 2022, sebuah tema yang menekankan pada kesadaran akan sejarah yang membangun tubuh-penari dari para peserta. Tubuh mereka adalah tubuh-penari yang terus bertumbuh, bukan hanya karena usia yang masih belia, melainkan juga karena persentuhan mereka dengan berbagai praktik dan pengetahuan tari—dan di luar tari—serta keberagaman sumber “nutrisi” yang membuat tubuh-kini mereka tumbuh sebagai tubuh-hibrida. Lagi, tubuh mereka adalah tubuh-penari yang selalu terbuka, tetapi juga memiliki—dan terus membangun—benteng yang selalu siap sedia mengamankan berbagai bentuk dan konsep keterampilan, pengetahuan, serta gagasan yang telah dengan legawa mereka serap dan tubuhkan. Di samping itu, hampir semua peserta laboratorium merupakan penari/koreografer yang pernah/masih mengenyam pendidikan tari secara akademis. Kenyaman pendidikan tari akademis di Indonesia adalah proses menjadi hibrida; setidaknya bisa dilihat dari kurikulum pendidikan tari di Indonesia yang mengajarkan tari tradisi dan nontradisi dalam kesatuan kurikulum.
Demikianlah para peserta datang ke laboratorium ini dengan membawa identitas tubuh-hibrida-kini mereka yang ditambah dengan berbagai narasi dari situs-situs purbakala di wilayah masing-masing. Narasi dari situs-situs itu akan menjadi semacam nutrisi baru jika diolah dengan baik, walaupun para peserta menunjukkan variasi kadar kedekatan mereka dengan situs-situs itu, baik secara wacana maupun praktik. Bekal narasi situs dalam tubuh mereka kemudian berkelindan dengan narasi situs yang mereka temui di Bali, baik melalui keberhadapan dan kehadiran langsung di ruang situs, mengalami situs-situs dari masa lampau itu sebagai situs-situs yang kini dan di sini, maupun melalui berbagai pengetahuan verbal dan tertulis yang disampaikan beberapa narasumber. Hadir dan mengalami ruang dan waktu di beberapa situs di Bali bukan hanya merupakan kebaruan bagi peserta dari luar Bali, melainkan juga bagi lima peserta dari Bali. Hal ini menunjukkan bahwa laboratorium ini dengan cukup titis mengarahkan perspektifnya kepada para peserta sehingga latar sosiokultural yang menyejarah dalam tubuh-hibrida-kini pun “diganggu” dan “dipertanyakan” kemapanan serta keyakinannya.
Kelindan narasi situs-situs itu, ditambah dengan perspektif laboratorium, diharapkan bisa menjadi gelora kreativitas dan interpretasi dalam tubuh mereka yang telah menjadi tubuh-hibrida-kini. Gelora tersebut—yang terdiri dari energi-energi pertemuan, tabrakan, rangkulan, penolakan, penerimaan, penetrasi, dll.—diharapkan menjadi titik kritis mereka dalam membaca masa lampau dan menumbuhkan masa depan.
Gunung Kawi: Tubuh-Candi, Tubuh-Penari, Situs sebagai Panggung
Hadir di situs Gunung Kawi, Tampaksiring, 19 Juli, seakan dengan serta merta menghadirkan gelombang narasi dan interpretasi yang “mengganggu” tubuh-penari para peserta. Kompleks percandian yang diperkirakan hadir dari abad XI ini terdiri dari sepuluh bangunan candi yang dipahat di tebing padas; hal ini membedakannya dengan semua candi yang ada di Nusantara, yang dibangun dengan susunan batu atau batu bata. Konstruksi candi-candi di Gunung Kawi inilah yang memantik perbincangan tentang dimensi sepanjang perjalanan mengunjungi dan mengalami situs Gunung Kawi; sebagaimana disinggung pada bagian awal tulisan ini. Candi-candi yang dipahat hanya setengah bagian depan, sehingga secara bentuk lebih cenderung sebagai relief ketimbang arsitektur candi, memberi kesan bangunan candi hanya dihadirkan sebagai dua dimensi ketimbang keutuhan tiga dimensi.
Perbincangan tersebut kemudian berkembang melalui penautannya dengan keberadaan tubuh di atas panggung. Gus Bang, misalnya, memiliki perhatian khusus terhadap dimensi tubuh penari yang sering kali hanya hadir bagian muka semata (dua dimensi), hal mana yang kemudian menjadi stimulan bagi sesi sharing method-nya nanti. Perbincangan tentang penautan candi dengan tubuh kemudian dengan segera mengantarkan sebagian besar peserta menyejajarkan, mengasumsikan, atau mengidentifikasi candi sebagai tubuh: tubuh-candi disejajarkan dengan tubuh-penari. Dari perspektif kreativitas, penyejajaran ini tentu saja argumentatif. Tubuh-candi dan tubuh-penari sama-sama merupakan tubuh-kreatif, tubuh yang dikreasi; keduanya adalah tubuh yang diciptakan dengan berbagai modus dan tujuan. Tubuh-candi berasal dari material batu (padas, andesit, bata) yang dikonstruksi secara arsitektural dan kultural. Tubuh-penari pun demikian, secara material, ia berasal dari tubuh-jasmaniah yang dikonstruksi secara kultural (biografis) dan koreografis (teknis).
Lagi, dalam langgam kebudayaan Bali, candi (atau pura, juga rumah) selalu dibangun dengan konstruksi levelitas tubuh manusia. Ia memiliki bagian kepala (langit), badan/torso (udara), dan kaki (bumi). Jika kita tautkan dengan tubuh-penari, maka dengan mudah kita menemukan relasi per bagian atau level tubuh dengan motif-motif tertentu dalam koreografi. Kepala, torso, dan kaki adalah bagian-bagian tubuh kunci yang diberi perhatian khusus dalam menciptakan motif-motif dasar dalam tari. Dalam langgam tari Bali, misalnya, kita menyaksikan bagian-bagian itu menjadi titik-titik utama dalam menghadirkan posisi agem.
Selain kata kunci tubuh, setidaknya ada dua kata kunci lain yang mengemuka dalam perbincangan para peserta, yaitu air dan alir. Kenyataan geografis yang melingkupi kompleks percandian Gunung Kawi, yang berada di daerah aliran sungai (DAS) Tukad Pakerisan, rupanya memunculkan impresi yang kuat dalam diri para peserta. Impresi dari stimulan alam yang demikian cenderung dengan mudah ditangkap oleh tubuh seniman. Hal ini bisa dikatakan sebagai prosedur alamiah tubuh dalam menangkap ruang alam di sekitarnya. Namun, kedua kata kunci yang berasal dari impresi alamiah para peserta ini juga mendapat siraman ide sastrawi dari presentasi dua narasumber—I Ketut Eriadi Ariana dan Ni Made Ari Dwijayanthi—yang mencoba menginterpretasi nilai-nilai kawi dari situs Gunung Kawi melalui penelusuran sejarah, arsitektur, dan sastra itu sendiri. Dari kedua presentasi ini, para penari/koreografer mendapat perluasan perspektif dalam memaknai kehadiran Gunung Kawi dalam lanskap penciptaan: bukan lagi melulu ketuhuhan, melainkan juga narasi sastrawi. Kata kunci air dan alir memang dengan mudah beroperasi sebagai metafora dalam dunia narasi sastra dan ketubuhan tari.
Helly Minarti (kiri), I Ketut Eriadi Ariana (tengah), dan Ni Made Ari Dwijayanthi (kanan) pada sesi diskusi “Gunung Kawi: antara yang Silam dan yang Liyan”
Kelindan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang terjadi dalam tubuh para peserta dengan segera direfleksikan pada hari itu juga oleh beberapa peserta dalam sharing method, sesi berbagi metode ketubuhan di antara para peserta. Kesegeraan refleksi ini setidaknya terjadi dalam sharing method yang dilakukan oleh Razan, Gus Bang, dan Ayu Permata Sari. Razan langsung mengajak peserta lain untuk berbagi metode di halaman situs candi sebelah timur yang terdiri dari lima candi. Di sana, Razan langsung merespons dengan argumen bahwa candi-candi yang dua dimensi itu memiliki kualitas tiga dimensi, kemudian ia menghubungkannya dengan kesadaran tubuh dalam ruang. Hal senada juga dilakukan Gus Bang yang memiliki perhatian terhadap dimensi candi dalam tautannya dengan dimensi tubuh, kemudian menghubungkannya dengan napas. Sedangkan, Ayu Permata merefleksikan pengalamannya ikut sembahyang di Pura Gunung Kawi yang memberinya pengalaman baru perihal posisi tubuh perempuan dan tubuh laki-laki dalam relasinya dalam kebudayaan dan dengan Tuhan.
Dalam beberapa perbincangan, para peserta juga sering mengindentifikasi tubuh sebagai situs—di samping tubuh sebagai candi. Identifikasi atau penyejajaran ini sepertinya mesti ditelusuri logikanya. Tubuh dan candi bisa diidentifikasi sebagai keberadaan tunggal kebendaan atau material. Namun, tidak demikian halnya dengan situs yang lebih mengada sebagai ruang—situs adalah ruang bagi benda-benda purbakala. Dengan demikian, jika ingin menautkan situs dengan dunia tari, maka penyejajaran yang logis adalah dengan panggung—dalam arti luas sebagai ruang. Tubuh-penari dan tubuh-candi sebagai tubuh-kreatif masing-masing meruang dalam panggung dan situs.
Cak Rina: Situs Simpul Yang-Tradisi dan Yang-Kontemporer
Entah berapa peserta yang mengetahui atau menyadari bahwa kunjungan ke Cak Rina di Teges Kanginan, Ubud, 21 Juli, adalah juga sebuah kunjungan situs, alih-alih kunjungan budaya. Cak Rina yang ada sekarang tentu saja salah satu akarnya adalah Cak Rina karya Sardono W. Kusumo pada 1970-an—di mana Ketut Rina (inisiator Cak Rina kini) adalah seorang bocah yang turut bermain—serta berbagai proses yang melingkupinya. Kehadiran Sardono di Teges Kanginan pada dekade 1970-an secara historis barangkali merupakan simpul pertama pertemuan antara yang-tradisi (Bali) dan yang-kontemporer (melalui Sardono); dan Cak Rina merupakan salah satu hasilnya, di samping Dongeng dari Dirah dan Pesta Desa Teges Kanginan. Dengan demikian, Teges Kanginan (dan Cak Rina di dalamnya) merupakan situs dari simpul pertemuan itu. Cak Rina sendiri kini adalah sebuah komunitas dan versi tari kecak yang spesifik. Dalam ceramahnya di depan peserta laboratorium di halaman rumahnya, Rina dengan lantang mengakui Sardono sebagai guru pertamanya. Dia pun menceritakan bagaimana pertemuan dan prosesnya dengan Sardono persis seperti apa yang ditulis Sardono dalam buku Hanuman, Tarzan, Homo Erectus (2004), sebuah catatan biografis kekaryaan Sardono.
I Ketut Rina Memberi Workshop Tari Kecak pada Peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur
Workshop tari kecak versi Cak Rina yang dialami peserta dengan serta merta mengantarkan pada kesadaran akan keberadaan tubuh sebagai tubuh-suara dalam tari. Kesadaran para penari/koreografer yang selama ini barangkali berkutat pada kesadaran tubuh-gerak seakan diguncang oleh Rina melalui kecak yang bukan hanya menuntut keterampilan gerak, melainkan juga keterampilan suara. Bahkan, dalam kecak gerak dan suara adalah kesatuan entitas ekspresi tubuh. Tubuh-gerak dan tubuh-suara berjalan simultan, bersatu sebagai tubuh-cak. Pengalaman sebagai tubuh-cak—walau dalam waktu workshop yang terbatas—memperluas pandangan para peserta terhadap spektrum ekspresi tari yang bukan melulu gerak. Perluasan spektrum ekspresi tari ke ekspresi suara tentu saja bukan hal yang baru bagi penari/koreografer yang bersentuhan dengan tari tradisi. Berbagai jenis tari di Nusantara memiliki perluasan spektrum yang demikian; walaupun dalam kasus cak yang terjadi bukan menari sambil menyanyi, melainkan menari dan bersuara yang bersumber dari satu energi napas tanpa pemilahan.
Presentasi Hasil Worskshop Tari Kecak di Pura Kahyangan Tiga Teges Kanginan
Berada di Teges Kanginan dan mengalami Cak Rina, bagi peserta yang menyadarinya, tentu saja memberikan energi tersendiri yang muncul dari simpul kreatif dan historis dari yang-tradisi dan yang-kontemporer. Harapannya, tentu saja, peserta bukan hanya mengalami Cak Rina sebagai tarian dan halaman Pura Kahyangan Tiga Teges Kanginan (tempat mereka berpentas cak hasil workshop pada malam harinya) sebagai panggung semata, melainkan juga mengalami getaran energi dan filsafat simpul itu sendiri. Apalagi, tubuh-hibrida-kini sebagian besar peserta adalah bagian dari perpanjangan sejarah artistik simpul yang demikian: tubuh-tradisi dan tubuh-kontemporer dalam satu tubuh-penari. Lagi, jika dikaitkan dengan tema program ini, Cak Rina adalah gambaran utuh dari tubuh-hibrida-kini yang tumbuh dari masa lampau (tari sanghyang dari kepercayaan kuno, kecak oleh Wayan Limbak dan Walter Spies, dan Cak Rina-nya Sardono), eksis di masa kini, dan akan terus bertumbuh ke masa depan.
Pura Samuan Tiga: Membaca dan Mengunduh Makna Pertemuan
Ketika berada di Mandala Wisata, Pura Samuan Tiga, Bedulu, Blahbatuh, 22–23 Juli, barangkali tidak ada peserta yang mengetahui dan menyadari bahwa mereka tengah berada di sebuah situs kecak yang lebih tua dari Teges Kanginan dan Cak Rina. Di Bedulu inilah tari kecak diciptakan oleh Wayan Limbak (dengan order dari Walter Spies), yang rumahnya nyaris hanya sepelemparan batu dari Pura Samuan Tiga. Ini barangkali hal yang terlewatkan atau lupa dikoneksikan oleh penyelenggara melalui fasilitator. Namun demikian, kunjungan, pembacaan, dan proses di areal Pura Samuan Tiga menghamparkan makna yang mendalam bagi laboratorium ini, terutama dalam konteks historis pura yang dipercayai telah berusia lebih dari satu milenium itu.
Program Napak Tilas di Pura Samuan Tiga yang dipandu oleh Dewa Gede Yadhu Basudewa dan BNPB Bali
Pura Samuan Tiga, sebagaimana namanya, dipercayai (melalui tradisi lisan) sebagai situs pertemuan tiga golongan kepercayaan utama di Bali pada masanya (abad XI), yaitu Siwa, Budha, dan Bali Aga, serta penyatuan sekte-sekte yang hidup menjadi satu kepercayaan, yaitu Tri Murti. Walaupun kepercayaan historis ini secara arkeologis tidak ditemukan buktinya, berbagai tinggalan benda purbakala yang tersimpan dalam pura menunjukkan adanya fusi dari berbagai sekte, bahkan fusi dari beberapa masa perkembangan sejarah. Dengan demikian, walaupun ada ketidaksinkronan antara yang folkloris dan yang arkeologis, Pura Samuan Tiga tidak bisa dibantah sebagai sebuah situs pertemuan. Narasi pertemuan yang melingkupi pura ini selaras dengan konsep pertemuan yang hendak diraih oleh laboratorium ini: pertemuan dan pertukaran antarpenari/koreografer. Di sinilah makna pertemuan itu menemukan situs dan refleksi sejarahnya.
Konsep tubuh-hibrida seakan menemukan situsnya di Pura Samuan Tiga, baik secara arkeologis (kebendaaan) maupun secara folkloris (naratif). Di sini, para peserta semestinya melakukan pembacaan yang lebih mendalam dan mengunduh lebih banyak lagi makna pertemuan, perjumpaan, pertukaran, dan bahkan tabrakan serta penolakan yang terjadi sepanjang proses laboratorium. Dari Pura Samuan Tiga semestinya bisa dibaca dan diinterpretasi bahwa makna pertemuan bukan hanya sesuatu yang luhur dan mulia, bahwa penyatuan bukan selalu menjadi jalan yang membawa ke arah kedamaian atau harmoni, melainkan juga meruahkan narasi tentang represi dan bahkan kuasa otoriter yang nyaris dekat dengan fasisme. Pembacaan, interpretasi, dan pemaknaan pertemuan semacam ini adalah juga keniscayaan dalam proses penciptaan tari, terutama dalam lingkup kolektif.
Selain dari segi wacana di atas, Pura Samuan Tiga semestinya juga bisa dibaca sebagaimana para peserta membaca Gunung Kawi, di mana candi diidentifikasi sebagai tubuh dan situs sebagai panggung. Dalam pola keruangan dan arsitektural yang serupa, dalam konteks Pura Samuan Tiga, bangunan pura secara indvidual semestinya juga bisa diidentifikasi atau disejajarkan dengan tubuh, sedangkan mandala (yang uniknya, di Pura Samuan Tiga terdapat tujuh mandala) adalah panggung. Dalam laku kultural keseharian orang Bali, mandala pura juga sering berfungsi sebagai kalangan (panggung) bagi berbagai jenis seni wali dan bebali. Sayang sekali pengetahuan dan wacana ini tidak menjadi perbincangan dalam laboratorium ini, walaupun secara praktik beberapa peserta telah mencapai pemaknaan ke arah itu—hanya barangkali tak tersadari.
Sharing Method: Mengoreografi Modus-Modus Pembentukan Tubuh-Kini
Sharing method dalam laboratorium ini menghamparkan sesi-sesi yang menarik karena digunakan oleh peserta sebagai ruang dan kesempatan untuk—bukan hanya berbagi, melainkan juga—menunjukkan bagaimana mereka mengoreografi tubuh-kini mereka (yang hibrida) serta menggelar satu atau lebih modus bagaimana mereka membentuk biografi tubuh-penari mereka. Ketika—sebagaimana namanya—sharing method ini mewujud sebagai ruang pertemuan untuk berbagi, maka dengan seketika ia mewujud pula sebagai salah satu modus yang memproses tubuh-penari para peserta sebagai tubuh-hibrida. Dalam sesi-sesi yang terjadi, para peserta menggelar bekal tubuh yang beragam, mulai dari bekal tradisi suatu komunitas budaya, bekal yang mereka peroleh dari proses berbagi yang lain, bekal yang diklaim sebagai anggitan sendiri, serta bekal yang mereka peroleh dari berbagai pengalaman dalam laboratorium ini.
Peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur dalam Sharing Mhetode di Halaman Hotel Amatara Agung Raka, Ubud
Pada sesi pertama sharing method di areal situs Gunung Kawi, 19 Juli, Ayu Anantha Putri berbagi modus-modus perjumpaan bekal tradisi (tari Bali) dan pertemuan dengan tari kontemporer yang dialaminya semasa kuliah di ISI Denpasar. Dia pengistilahkan perjumpaan tersebut sebagai campuhan, pertemuan dua sungai. Sepertinya, definisi tersebut juga dipantik oleh narasi tentang air dan alir yang muncul dalam perbincangan selama kunjungan di situs Gunung Kawi. Dalam modusnya, Ayu Anantha mengklaim pembuatan berbagai motif gerak baru yang menurutnya merupakan pengembangan yang-tradisi dengan konsep kontemporer. Dia berharap motif-motif gerak baru yang diciptakannya kelak menjadi milik (ciri khas) karya dan tubuh-penarinya. Walaupun masih melakukan polarisasi antara yang-tradisi dan yang-modern, Ayu Anantha mencoba menciptakan suatu fusi yang mewujud sebagai yang-kontemporer dengan berbasis pada yang-tradisi.
Di sisi lain, Ayu Permata yang juga memiliki bekal tradisi (Lampung), menyikapi latar bekalang kulturalnya dengan perlawanan. Dia merespons budaya represif terhadap perempuan yang berlaku di daerah asalnya, yang menurutnya dimainkan oleh dua agen besar: adat dan agama. Dua agen besar itu menempatkan perempuan pada posisi subordinasi: tidak diperkenankan menjadi pemimpin, tidak diperkenankan menari setelah menikah. Dalam metode yang dibagikan Ayu Permata kepada peserta lain, kekuatan dua agen besar itu diwujudkan dengan dua orang pemanggil nama, sedangkan si perempuan yang tersubordinasi diwujudkan dengan seorang yang jika dipanggil namanya harus bergerak ke arah pemanggil. Gerak menuju ke arah panggilan ini menciptakan koreografi yang terombang-ambing di antara dua kutub. Metode Ayu Permata ini seakan mendapatkan kekuatannya ketika dia ikut serta dalam kegiatan sembahyang di Pura Gunung Kawi, di mana dia mengalami perbauran antara tubuh lelaki dan tubuh perempuan, tanpa aturan siapa yang harus berada di baris depan dan siapa yang di belakang. Hal ini diakuinya sebagai hal yang jauh berbeda dengan tradisi yang berlaku di daerah asalnya—yang dimainkan oleh dua agen besar tadi.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Gus Bang adalah salah satu peserta yang dengan serta merta merespons pengalaman di Gunung Kawi dengan metode yang dibagikannya. Dia memiliki bekal ketubuhan yang memperhatikan dengan khusus masalah dimensi tubuh. Perbincangan tentang dimensi candi di Gunung Kawi yang terkesan dua dimensi memantik kembali bekal yang dibawa Gus Bang ini. Menurutnya, candi-candi di Gunung Kawi bukan dua dimensi, melainkan tiga dimensi dengan dimensi ketiganya tersembunyi atau invisible. Dia menautkan perkara dimensi candi ini dengan dimensi tubuh-penari di atas panggung. Menurutnya, banyak penari yang hanya memiliki kesadaran dua dimensi tubuh, yaitu tubuh bagian muka (depan) semata, karena hanya dimensi itulah yang berhadapan dengan penonton. Kesadaran demikian menjebak tubuh-penari dalam kungkungan tubuh-tontonan, tubuh yang bergerak hanya untuk penonton, bukan untuk keutuhan tubuh-penari itu sendiri. Dengan kesadaran terhadap jebakan yang demikian, Gus Bang mencoba membangun kesadaran tubuh tiga dimensi sehingga kehadiran tubuh di atas panggung menjadi holistik. Di samping itu, dari sisi kepenontonan, kesadaran akan tiga dimensi tubuh adalah suatu kesiapan untuk ditonton dari sisi mana pun, dari dimensi mana pun. Dalam metode yang dibagikannya, Gus Bang mencoba menyertakan unsur napas, yang menurutnya adalah unsur baru dalam metodenya, yang terinspirasi dari presentasi tentang Tutur Angkihan oleh Ni Made Ari Dwijayanthi.
Senada dengan Gus Bang, Razan juga berbagi metode dengan berangkat dari pemahaman tentang dimensi candi. Jika sesi berbagi metode lainnya di Gunung Kawi berlangsung di wantilan, Razan langsung mengajak peserta lain untuk berbagi metode di halaman situs candi sebelah timur yang terdiri dari lima candi. Di sana, Razan berargumen bahwa candi-candi yang dua dimensi itu memiliki kualitas tiga dimensi di baliknya. Tiga dimensi itu bisa muncul jika kita punya imajinasi dan pemahaman akan sesuatu yang tersembunyi. Dari argumen ini, Razan telah melakukan pembacaan terhadap “cita-cita” dari suatu bentuk—dalam hal ini candi: kita paham bahwa candi yang secara material itu dwidimensional, tetapi dia merepresentasikan suatu “cita-cita” yang tridimensional. kemudian ia menghubungkannya dengan kesadaran tubuh dalam ruang. Pemahaman semacam ini kemudian digunakan Razan untuk melatih kesadaran dan komunikasi tubuh dengan ruang, yang dalam beberapa bagian juga melibatkan imajinasi. Latihan ini berlanjut dengan jangkuan ruang yang lebih luas, yaitu perjalanan kembali dari kompleks situs menuju jalan desa yang melewati jembatan dan ratusan anak tangga menaik. Para peserta diinstruksikan untuk melakukan “perjalan sunyi” tanpa berbicara dengan siapa pun. Latihan ini mirip dengan meditasi berjalan yang banyak dilakukan oleh para biksu.
Sesi-sesi sharing method lainnya dilanjutkan pada 20 Juli di Hotel Amatara Agung Raka, Ubud, di mana para peserta tinggal selama program. Metode yang dibagikan Pebri Irawan barangkali merupakan salah satu hal yang jarang dilakukan di dunia tari: bermain dengan perkara emosi. Di sampung suara, perkara emosi juga cukup jarang disentuh dunia tari ketimbang perkara gerak (yang utama), tempo, ritme, dan ruang. Metode Febri berangkat dari dunia bela diri (Persilatan Melati Putih) dengan memanfaatkan teknik tebas sebanyak enam kali dalam satu putaran, yang dilakukan dengan intensi “membunuh” yang menjadi sumber emosi. Teknik ini menggunakan modus pelampiasan emosi dengan tujuan untuk melepaskan emosi dari dalam tubuh sehingga tubuh berada dalam kondisi netral. Selain itu, Pebri juga bermain dengan sentuhan di titik-titik tubuh sebagai stimulan untuk bergerak dengan emosi tertentu.
Metode yang dibagikan oleh Mekratingrum Hapsari (Mike) juga merupakan perkara yang cukup jarang disentuh dunia tari: kontak mata. Mike memanfaatkan kontak mata sebagai media untuk membangun asumsi terhadap orang lain (liyan?). Menurutnya, kontak mata ini diproyeksikan untuk mengenali apa yang ada di dalam diri orang lain: perasaan, sifat, karakter, bahkan hingga ke ruang-ruang masa lalu. Sejauh mana proyeksi ini bisa berhasil dicapai tentu saja bergantung pada kemampuan pelakunya. Namun, Mike lalu mengarahkan kontak mata ini untuk menciptakan gerak. Peserta berpasangan, terus saling tatap lekat, lalu bergerak dengan memainkan jarak dan levelitas tubuh. Karakter gerak, jarak, dan levelitas yang muncul diharapkan muncul dari impresi dan asumsi yang diperoleh dari kontak mata.
Peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur dalam Sharing Mhetode di Halaman Hotel Amatara Agung Raka, Ubud
Sementara, Alisa Soelaeman menitikberatkan metodenya pada kesadaran tubuh akan ruang dan tubuh itu sendiri, suatu keterampilan dasar bagi segala jenis performer, tetapi sering kali diabaikan. Alisa memulainya dengan pengenalan terhadap ruang, lingkungan yang melingkupi tubuh. Dari ruang di luar tubuh, Alisa meneruskannya ke dalam tubuh: kesadaran akan napas serta koordinasi organ-organ saat tubuh bergerak. Kesadaran akan organ-organ penggerak tubuh ini ditautkan dengan kesadaran akan berat badan dalam relasinya dengan gravitasi: kesadaran tubuh berpijak di tanah/bumi. Alisa memfokuskan bagian ini sebagai tumpuan tubuh saat bergerak. Latihan semacam ini sering kali diabaikan oleh para performer yang lebih disibukkan dengan kejaran berbagai pernik laku panggung.
Latihan kesadaran ruang dari Alisa direspons oleh Puri Senjani Apriliani yang sekaligus menjadi respons untuk latihan-latihan lain yang menurut Puri terlalu banyak bermain pada tensi tinggi, powerful, dan keras. Maka dari itu, Puri ingin mencoba mengajak peserta lain untuk menangkap energi positif dari ruang dan orang lain di sekitar. Hal ini dimulai dengan kesadaran terhadap ruang, lalu kontak fisik dengan peserta lain dengan tanpa tegangan, rileks, dan mencoba merasakan energi yang mengalir atau tertransmisi dari satu tubuh ke tubuh yang lain. Kontak fisik semacam ini sangat efektif dalam membangun rasa dan kesadaran akan kehadiran subjek lain di sekitar kehadiran satu individu. Kesadaran bahwa subjek tak pernah berdiri sendiri, tetapi berada di sekitar dan saling dukung bersama subjek-subjek lain, merupakan kesadaran untuk membangun kehidupan dalam ruang yang utuh.
Relasi subjek vis a vis subjek melalui kontak mata juga ditemukan dalam metode latihan yang dibagikan oleh Ela Mutiara Jaya Waluya. Terinspirasi dari peristiwa panggung saweran atau ibing-ibingan, yang sebelumnya diasumsikan Ela sebagai relasi subjek–objek, Ela menciptakan metode untuk gerak berpasangan yang bertumpu pada tatapan mata. Satu putaran berlangsung dengan salah satu menyetir gerak yang lain melalui pandangan mata, lalu bergantian. Melalui cara ini, kontak mata diharapkan memberikan perluasan orientasi dari yang semula menatap (subjek) dan ditatap (objek) menjadi saling menatap dan saling menggerakkan: subjek–subjek. Latihan semacam ini mirip dengan latihan mendengarkan pada ranah keaktoran. Aktor yang baik bukanlah pembicara yang baik, melainkan pendengar yang baik. Mendengar bukanlah suatu kegiatan yang dibebankan kepada objek, melainkan kegiatan subjek yang timbal baik dengan subjek lain.
Di sisi lain, Bhatara Swargaloka yang terbiasa dengan proses penciptaan tari untuk entertainment, menggunakan metode menarik dalam melatih daya hafal penari. Penari terbiasa dengan perkara hafalan gerak dalam hitungan demi hitungan. Namun, dalam metode ini, Bhatara justru tidak menggunakan gerak sebagai metodenya, melainkan kata—hal yang cukup untik bagi dunia tari yang sangat jarang berkata-kata. Bhatara menggunakan permainan kata berantai dengan penekanan pada logika kalimat. Latihan yang sering dilakukan dalam dunia teater ini biasanya bertujuan untuk melatih konsentrasi, ingatan, logika penciptaan kalimat/narasi, serta pengucapan kata/kalimat.
Perkara stamina menjadi perhatian metode yang dibagikan I Komang Adi Pranata (Mang Adi). Dia menelusuri perkara ini melalui pengetahuan lokal (Bali) yang hingga kini melingkupi kehidupan sosiokultural manusia Bali. Mang Adi memulainya dengan konsep Tri Hita Karana dalam proses penciptaan: parhyangan dilakukan dengan mempertimbangkan ala ayuning dewasa (baik-buruknya) hari dalam proses penciptaan; pawongan diterapkan dengan menciptakan hubungan yang harmonis antarpersonal yang terlibat dalam penciptaan; dan palemahan diimplementasikan dengan niat menyerap energi semesta ke dalam tubuh. Bagian terakhir ini kemudian dicoba praktikkan oleh Mang Adi bersama peserta lain melalui metode gerak aliran energi yang mirip meditasi.
Peserta lainnya dari Bali, I Nyoman Krisna Satya Utama, juga mencoba menggali pengetahuan lokal Bali dalam metode yang dibagikannya. Pengetahuan yang berasal dari ilmu arsitektur tradisional Bali, yaitu sikut awak (body measurement), digunakan Krisna Satya untuk menemukan jumlah ketukan gerak yang mesti dilakukan oleh tubuh. Walaupun cenderung memberlakukan sikut awak sebagai hitungan teknis, bukan perkara penubuhan yang lebih sublim, Krisna Satya mencoba mencapai kualitas gerak yang lahir secara organik dari tubuh itu sendiri. Gerak menubuh dengan organik, bukan muncul atau terpelajari dari luar tubuh.
Eka Wahyuni (Echa) yang lebih banyak bekerja sebagai koreografer ketimbang penari membagikan metodenya dalam mengenali tubuh penari yang terlibat dalam garapan-garapannya. Metode pertama adalah melatih pengenalan dan kepekaan terhadap ruang yang dilakukan dengan permainan ingatan penglihatan. Metode Echa ini efektif dalam melatih kesadaran visual terhadap ruang hingga ke detail-detail apa yang ada di dalam ruang. Metode kedua adalah latihan kesadaran dan kepekaan terhadap waktu yang dieksekusi dengan merancang rangkaian gerakan untuk delapan kali hitungan, yang mana pada tahap selanjutnya rangkaian gerakan ini dilakukan dalam durasi lima menit. Pada tahap lebih lanjut lagi, rangkaian gerakan tersebut dilakukan dalam durasi sepuluh menit. Konsistensi kelambangan dan kesadaran akan waktu merupakan salah satu tujuan latihan ini.
Keterbatasan kondisi tubuh dieksplorasi oleh Angelina Ayuni Praise (Yuni) dalam menciptakan metode yang mencoba memaksimalkan potensi gerak yang berada dalam batasan-batasan tertentu. Pengalaman kecelakaan yang dialaminya, sehingga menyebabkan kakinya tidak mungkin bisa digerakkan saat menari, menstumilasi Yuni dalam penemuan metode ini. Yuni membayangkan bagaimana melakukan tarian yang semestinya membutuhkan kaki, tetapi tidak melibatkan kaki. Berjalan dengan mengandalkan pantat menjadi pengalaman baru bagi tubuh kemudian. Metode ini sangat efektif untuk menciptakan motif-motif gerak baru yang berasal dari tumpuan organ-organ yang selama ini jarang didayagunakan.
Pandangan mata yang fokus menjadi pengalaman pertama Yezyuruni Forinti (Uni) dalam menekuni tari setelah sebelumnya dalam latar budayanya dia menganggap tari sebagai sesuatu yang “bermain-main saja”, hanya untuk “bersuka-suka saja”, kesenangan. Ketika mulai mendalami tari melalui pendidikan akademis, dan menemukan dunia tari sebagai sebuah dunia yang “serius” dan sangat konseptual, Uni menemukan bahwa pandangan mata yang fokus menjadi salah satu keahlian penting yang harus dikuasai penari. Uni melakukannya dengan cara yang sederhana: berjalan sepelan mungkin dengan pandangan mata fokus pada satu titik tertentu.
Gede Agus Krisna Dwipayana (De Krisna) membagikan metode unik yang berasal dari praktik transmisi keterampilan dan pengetahuan yang dilakukan oleh Gusti Biang Sengog, seorang guru tari legong yang masyhur dari Peliatan, Ubud, sekitar paruh pertama abad XX. Biang Sengog melatih para murid-penarinya dengan cara memijat dan menekuk organ tubuh mereka—dengan sasaran struktur tulang—dari belakang. Pijatan dan tekukan ini merupakan cara untuk menuntun gerak tari yang sedang diajarkan, mentrasfernya ke tubuh para murid. Namun, dengan cara demikian, bukan hanya transfer gerak yang terjadi, melainkan juga transfer energi dari tubuh guru ke tubuh murid. Pola transmisi keterampilan tari semacam ini kini sangat jarang ditemukan. Kini, pengajaran tari lebih banyak dilakukan para guru dengan membimbing dari depan, dari perspektif penonton menyaksikan tari. Proses transmisi dari belakang lebih memberikan pemahaman dan kesadaran akan dunia belakang panggung, dunia para pencipta, dunia dalam para penari. De Krisna mencoba menduplikasi metode ini dan menemukan kemungkinan-kemungkinan penerapannya dalam kerja tarinya kini.
Simultanitas gerak dan suara (tari dan lagu) ditemukan dalam metode presentatif yang dibagikan oleh Priccilia EM. Rumbiak (Elis). Elis membagikan suatu rangkaian motif gerak tari tradisi suku Asmat dan memadukannya dengan sepotong lagu dari suku Sentani. Metode yang diduplikasi oleh peserta lain ini menunjukkan kerja lintas tradisi Papua yang terbuka. Mengalami modus-modus terbuka dari ruang-ruang budaya tradisi semacam ini, kita mempertanyakan kembali makna perubahan dan kekontemporeran yang dipraktikkan dalam ruang-ruang budaya tradisi.
Sharing method ditutup oleh Kurniadi Ilham yang, dengan mempresentasikan otoritasnya sebagai koreografer, membagi metode yang mengembalikan tari kepada gerak-laku keseharian dalam berhadapan dan hidup di ruang keseharian. Latihan dilakukan dengan terlebih dahulu menanggalkan tubuh-penari dan berlaku sebagai manusia. Ilham memanfaatkan berbagai keahlian hidup keseharian yang tampak sederhana, seperti berjalan, berjalan mundur, berjalan jongkok, berjalan jongkok mundur, berjalan sambil membawa kuris dengan berbagai variasi, dan lain-lain. Ilham mencoba mengarahkan kesadaran tubuh terhadap kebaradaan objek kepada rangsangan untuk menciptakan teks yang dialami tubuh.
Focus Group Discussion: Mengoreografi Wacana dari Pengetahuan dan Interpretasi
Focus group discussion (FGD) menjadi satu medan untuk mengudar wacana dari biografi tubuh, bekal narasi situs dari masing-masing wilayah, narasi dan berbagai pengetahuan yang diperoleh selama laboratorium, beserta berbagai interpretasinya. Dari presentasi hasil FGD yang dibagi dalam empat kelompok peserta, 21 Juli, terbaca bagaimana tubuh-penari mereka mencoba mengoreografi wacana dari berbagai pengetahuan dan interpretasi personal maupun kolektif. Medan perbincangan wacana semacam ini merupakan suatu kelangkaan dalam dunia tari yang lebih banyak bekerja dalam medan gerak tubuh. Perkembangan dunia tari kiwari Indonesia menunjukkan perkembangan signifikan dengan munculnya medan-medan perbincangan wacana semacam ini.
Diskusi Antar Peserta Temu Seni Tari Indonesia Bertutur
Berbagai wacana berkelindan dalam medan ini, mengerucut dalam berbagai kata kunci yang dibagikan oleh masing-masing kelompok. Berbagai kata kunci dan jabarannya menunjukkan bagaimana para peserta membuat asumsi, kesimpulan, hipotesis, atau premis terhadap pengalaman mereka selama laboratorium, di sini lain juga menjadi semacam refleksi dari suatu proses mengalami.
Kelompok 1, misalnya, mengajukan kata kunci terlihat dan tak terlihat, koneksi, serta sensibilitas dan sensitivitas. Semua kata kunci ini mengerucut pada bagaimana tubuh berelasi dengan ruang, terutama ruang situs-situs yang mereka kunjungi. Situs sebagai warisan masa lampau menyimpan narasi dan dimensi yang terlihat dan tak terlihat daalam keberadaannya kini dan di sini. Percobaan tubuh untuk melakukan koneksi dengan keberadaan situs yang demikian membutuhkan sensibilitas dan sensitivitas tubuh—dalam hal ini tubuh-penari—yang mampu membaca dan mengalami yang terlihat maupun yang tak terlihat.
Masih memiliki relasi dengan kata-kata kunci dari Kelompok 1, Kelompok 2 menjabarkan wacana mereka yang berasal dari interpretasi terhadap narasi-narasi situs yang dibawa dari wilayah masing-masing dan narasi-narasi situs yang ditemui selama laboratorium. Interpretasi tentang pembangunan situs yang tak lepas dari pengetahuan akan lingkungan alam sekitar, keterlibatan tubuh dalam proses pembangunannya, bagaimana politik keruangan memengaruhi pola pembangunan dan laku tubuh di dalamnya, bagaimana respons tubuh terhadap ruang, hingga sampai pada kesimpulan “tubuh sebagai arsitektur”, menjadi perhatian kelompok ini.
Sedangkan, kesimpulan—yang agak keliru—tentang “tubuh sebagai situs” muncul dalam salah satu kata kunci yang diajukan oleh Kelompok 3. Kata kunci ini dijabarankan lebih pada bagaimana daya tahan tubuh yang ditautkan dengan daya tahan situs masa lampau yang masih bisa eksis hingga kini. Dari jabaran ini kemudian muncul kesimpulan tentang bagaiman tubuh juga butuh dipelihara dan dikonservasi sebagaimana situs purbakala diperlakukan pada masa kini. Dari modus pemeliharaan ini kemudian muncul narasi tentang pembenahan/konservasi sebagai suatu laku pembentukan yang barangkali disejajarkan dengan laku mengoreografi.
Masih senada dengan kelompok lain, Kelompok 4 juga berusaha melakukan penautan antara situs-situs dari masing-masing wilayah dengan situs-situs yang ditemui selama laboratorium, terutama Gunung Kawi. Dari penautan ini kemudian muncul kata-kata kunci keseimbangan, alir, ruang dan dimensi, dan titik temu. Keseimbangan dijabarkan sebagai kesetaraan posisi unsur lelaki dan perempuan dalam situs-situs dan pengalaman peserta ketika memasuki situs-situs itu. Alir yang muncul dari situs Gunung Kawi yang mengapit Tukad Pakerasin juga ditautkan dengan tubuh manusia yang sebagian besar terdiri dari unsur cairan. Begitu pula ruang dan dimensi—yang sudah banyak dibahas di atas—muncul dari penautan antara candi dan tubuh dalam lingkup keruangan dan situs. Titik temu direfleksikan dari posisi candi-candi Gunung Kawi yang dua kompleksnya berhadapan dari sisi barat dan timur, yang merupakan respons keruangan terhadap posisi terbit dan terbenam matahari.
Presentasi: Lampau-Kini-Nanti dalam Tubuh-Penari yang Berbenteng Terbuka
Presentasi pertunjukan pendek dari para peserta pada menjelang akhir dan akhir proses laboratorium bukan hanya menjadi medan untuk menghadirkan dan menunjukkan diri di panggung, melainkan juga menjadi refleksi titik temu antara yang-lampu, yang-kini, dan yang-nanti. Pertunjukan-pertunjukan pendek yang dipresentasikan peserta juga menunjukkan bagaimana tubuh-penari mereka yang hibrida memiliki benteng yang terbuka, suatu sistem pengamanan yang justru selalu siap dimasuki oleh berbagai pengaruh dan tawaran, alih-alih memblokadenya. Presentasi yang terbagi ke dalam tiga kategori—solo, kolaborasi, dan kolektif pewujudan—dengan jelas menunjukkan sifat benteng terbuka yang dimiliki tubuh-penari para peserta.
Bincang Seniman dan Fasilitator sebelum pertunjukan yang Dipandu Tim Pengamat. Ayu Diah Cempaka, Helly Minarti, Ibed S. Yuga, Joned Suryatmoko (dari kiri ke kanan)
Beberapa presentasi karya solo berangkat dari karya-karya yang telah jadi dan sudah pernah dipentaskan oleh peserta masing-masing. Namun, dari karya yang sudah jadi itu, para presenter karya tunggal ini melakukan perubahan di sana-sini terhadap karyanya sebelum mempresentasikannya dalam laboratorium ini. Mereka mencoba menyerap berbagai ide yang didapatkan dalam laboratorium dan membuka benteng karya yang sudah jadi itu. Kadar perubahan yang bervariasi itu muncul dari pengetahuan dan pengalaman memasuki situs, berbagai metode dalam sharing method, serta perbincangan antarpeserta serta fasilitator. Resap Tunggal yang dipresentasikan Ayu Anantha, misalnya, yang berangkat dari semangat “mengontemporerkan” tari tradisi Bali dengan modus-modus spesifik yang dikreasi penciptanya, mengalami perubahan yang cukup signifikan dari karya jadi sebelumnya. Ayu Anantha mengakui perubahan itu terutama terjadi pada dirinya sendiri, sebagai imbas dari laboratorium, sehingga dalam mempresentasikan karyanya ia lebih mengandalkan spontanitas, alih-alih koreografi yang tertata. Modus perubahan serupa terjadi pada karya Lampah oleh Mang Adi. Karya jadi yang berangkat dari teks refleksi diri semasa pandemi ini dipresentasikan dengan perubahan dari yang semula penuh aksesoris visual tubuh menjadi yang tubuh polos keseharian ditambah topeng natural dan kelambu hitam, dengan gerak yang jauh lebih meditatif dari karya sebelumnya.
Modus lain perubahan dari karya solo yang telah jadi menjadi karya yang dipresentasikan dalam laboratorium ini terjadi pada karya Puri (Fase Tubuh) dan Mike (A Day to Remember), yang mana keduanya berangkat dari konsep karya yang interaktif dengan penonton: Puri dengan memanfaatkan sentuhan fisik dari penonton terhadap tubuhnya; Mike dengan menubuhkan berbagai jawaban tertulis dari pertanyaan-pertanyaannya yang diajukan secara tertulis pula kepada penonton. Di samping itu, kedua karya ini juga berangkat dari narasi biografi tubuh-penari mereka masing-masing: Puri yang berangkat dari biografi tubuh dalam relasinya dengan tubuh orang tuanya; Mike mengindentifikasi tubuhnya sebagai rumah, biografi tubuh dan biografi rumah yang saling membangun. Konsep interaktif dengan sendirinya menjadikan karya terus berubah dan bertumbuh pada setiap pementasannya. Namun, Puri maupun Mike mengakui bahwa berbagai perubahan juga terjadi dalam karya mereka sebagai akibat dari persentuhan dan perjumpaan yang terjadi sepanjang laboratorium.
Pertunjukan “Nasarin” ditarikan oleh Gede Agus Krisna Dwipayana dan Ayu Anantha Putri
Karya-karya solo lainnya menjalankan modus perkembangan dari karya-karya yang sedang bertumbuh. Meski sedikit berbeda, modus ini terjadi dalam karya solo Alisa (Suara yang Lebih Pelan) dan Razan (Ayam). Suara yang Lebih Pelan merupakan karya sedang tumbuh yang berangkat dari ide tentang bulan, baik sebagai satelit bumi maupun putaran waktu. Alisa menumbuhkan ide tentang bulan ini dengan berbagai pengetahuan tentang berbagai perayaan dalam Hindu Bali yang berpatokan pada penanggalan bulan. Alisa yang memiliki basis balet mengoreografi bulan dengan putaran-putaran tubuh yang mengimpresikan siklus bulan. Sedangkan, Ayam karya Razan memiliki perjalanan tumbuh yang lebih panjang. Awalnya ia merupakan karya yang sudah pernah dipertunjukkan, berjudul Fajar di Ufuk Barat, berangkat dari gagasan tentang peralihan yang dikaitkan dengan biografi kakek buyutnya. Karya ini dipentaskan Razan dengan menari bersama celengan berbentuk ayam. Selama laboratorium, Razan mendapat masukan cukup banyak tentang budaya ayam di Bali, terutama tajen. Inilah yang merangsangnya untuk membuat karya solo dengan menari bersama ayam hidup. Karya solo ini dengan cukup tangkas memperlihatkan keterampilan tubuh-penari Razan serta narasi tentang ayam yang sublim dalam tariannya dengan ayam yang sangat tenang dan penuh energi.
Karya-karya dengan kategori kolektif pewujudan dipresentasikan dengan sebelumnya mengalami modus-modus perubahan yang serupa dengan karya-karya solo. Karya-karya pada bagian ini terdiri dari karya yang sudah jadi, karya sedang tumbuh, serta karya yang “mementaskan metode”. Jenis karya “mementaskan metode” ini, salah satunya, bisa dilihat dari karya Ayu Permata bersama Alisa dan Mang Adi. Karya ini berangkat dari metode “panggil nama” yang dibagikan Ayu Pertama dalam sharing method. Ayu Permata, dkk. memanfaatkan penonton sebagai “pemanggil nama” sehingga pertunjukan menjadi sangat interaktif dan riyuh, nyaris memunculkan kesan yang sama dengan peristiwa tajen. Nasarin karya De Krisna bersama Ayu Anantha juga merupakan karya “mementaskan metode” yang berangkat dari metode memijat yang dibagikan De Krisna dalam sharing method. De Krisna memilih mengajak Ayu Anantha yang merupakan seorang penari legong. Harapannya, metode Biang Sengog, yang memang digunakan untuk mengajarkan tari legong, menemukan kesejajaran dan konteksnya dalam peristiwa kini dan tubuh legong kini.
Karya-karya lain dari kategori kolektif pewujudan adalah Pesona oleh Echa bersama Gus Bang; Sabung oleh Razan bersama Yuni, Ilham, dan Elis; Sssst! oleh Ilham bersama De Krisna dan Yuni; serta Seen/Unseen oleh Puri bersama Bathara. Pesona merupakan karya Echa yang sudah pernah dipentaskan, sebuah karya yang mengoreografi pemotret penari dengan modus interaktif. Jika dalam karya sebelumnya Echa menggunakan penari gong (Kalimantan), dan dipentaskan secara daring, dalam presentasi kali ini Echa meminta Gus Bang menari Bali. Para pemotret juga diambil dari penonton. Karya dengan konsep interaktif seperti ini memang sangat luwes dalam menghadapi perubahan demi perubahan. Sabung karya Razan juga sudah pernah dipentaskan sebelumnya, tetapi dalam platform seni performans berdurasi tiga jam. Pertunjukan yang berangkat dari ide tentang judi, kepastian dan ketidakpastian, dugaan, dan ramalan ini menggunakan hitungan langkah sebagai narasi utamanya. Dalam presentasi kali ini, pertunjukan ini menonjolkan sisi judinya dengan mengambil taruhan sebenarnya dari penonton. Dua orang bermain komikal dirancang sebagai semacam pemilik ayam aduan sekaligus juri pada pertandingan yang dimainkan Razan dan Yuni. Perubahan menjadi bentuk yang lebih cair dan komunikatif verbal ini tidak jauh dari ketertarikan Razan terhadap budaya judi tajen. Karya sedang tumbuh dalam kategori ini adalah Sssst! oleh Ilham, sebuah karya yang berangkat dari narasi perusakan situs Candi Muara Jambi yang diakibatkan oleh riuhnya industrialisasi dan politik kepentingan di sekitar candi. Ilham mewujudkan ide ine dengan mengoreografi keriuhan suara kaleng-kaleng yang ditusuk batang besi berbentuk segitiga. Kebisingan yang ditimbulkannya bukan hanya menjadi “derita” bagi para penarinya, melainkan juga bagi penonton yang dalam satu bagian diajak masuk ke dalam segitiga besi, guna mengalami kebisingan itu lebih dekat dengan berbagai modus. Seen/Unseen mencoba merespons berbagai hal acak yang ditemui Puri sejak awal laboratorium, dan merelasikannya dengan narasi feminin dan maskulin yang menjadi salah satu ketertarikannya. Puri mewujudkan idenya ini bersama Bathara karena merasa menemukan basis tubuh yang sama dalam tubuh Bathara. Karya ini dengan cukup lihai memainkan kamuflase-kamuflase kehadiran di ruang penonton, serta tegangan dan tabrakan, pertemuan dan penolakan, yang diluncurkan secara bersamaan ketika tubuh keduanya bertemu di panggung.
Karya-karya hasil kolaborasi dalam presentasi laboratorium ini menunjukkan modus-modus penciptaan yang lebih beragam, tetapi sebagian besar berangkat dari respons terhadap apa yang telah mereka serap dalam proses laboratorium. Karya-karya kolaboratif semacam ini semakin jelas memperlihatkan keterbukaan benteng-benteng yang dimiliki tubuh-penari para peserta. Namun demikian, beberapa karya tidak serta merta muncul sebagai respons dari apa yang bergelimang dalam laboratorium, tetapi berangkat dari bekal tubuh yang telah dibentengi, lalu dibuka untuk dimasuki berbagai gagasan yang beredar dalam laboratorium. Dimensi, misalnya, karya kolaborasi Razan dan Gus Bang yang disinggung di awal catatan ini merupakan karya yang berangkat dari bekal tubuh Razan dan Gus Bang: perihal dimensi dan ramalan. Ide ini kemudian bertumbuh dengan asupan narasi dari situs Gunung Kawi. Demikian pula Rooted yang merupakan hasil kolaborasi Echa, Uni, Yuni, dan Mang Adi, berangkat dari narasi situs yang mereka bawa dari wilayah masing-masing, dipertemukan dengan berbagai narasi situs yang ditemui selama laboratorium, dan dipresentasikan dengan gerak tubuh beserta bayangan yang berjajar tanpa saling respons, layaknya jajaran candi-candi.
Karya-karya kolaboratif yang mencoba menyublimkan lebih dalam narasi-narasi tentang situs, dan membentangkannya lebih jauh dengan sertaan ide-ide tautan, terdapat dalam Secret Coco (kolaborasi Ela, Pebri, Krisna Satya, dan Gus Bang) dan Tanda Baca (Puri, Bathara, Mike, dan Alisa). Secret Coco mecoba membaca konsep keruangan situs melalui pertemuan keragaman fisik dari para penari yang bersama-sama memikul satu meja yang di atasnya diletakkan sebutir kelapa. Keseimbangan coba diraih dari keragaman tinggi badan para penari sehingga kelapa tidak jatuh. Karya ini juga bermain-main dengan momentum, tegangan, kekhawatiran, kecemasan, dan ketakutan melalui sebutir kelapa yang suatu saat akan jatuh. Sedangkan, Tanda Baca berangkat dari ide tentang air dan alir dari situs Gunung Kawi yang mendasari proses bekerja mereka: mengalir. Refleksi demi refleksi perjalanan tubuh kemudian muncul dalam aliran proses mereka, yang kemudian menjadi materi bagi berbagai bentuk koreografi yang mereka ciptakan. Dari sana muncul material isolasi yang menurut mereka lekat dengan ide tentang tanda, dan juga lekat dan lepasnya isolasi memberi impresi tentang elemen yang bertaut dan terlepas; hal yang mengingatkan mereka pada proses penciptaan dan uasnya candi-candi.
“Saling Gema” kolaborasi Ayu Permata Sari (kiri) dan Priccilia Elisabeth Monica Rumbiak (kanan)
Dua karya kolaboratif lainnya menunjukkan modus yang beragam, bergerak di antara saling silang biografi, metode, narasi situs, tubuh-suara, serta karya sedang tumbuh. Mola, kolaborasi Ela dan Krisna Satya, misalnya, berangkat dari metode sikut awak dari Krisna Satya yang direspons dengan metode tatapan mata dari Ela. Karya ini, yang menggunakan dua bilah bambu sebagai “alat pengukur” sekaligus pengoneksi dua tubuh, menciptakan tegangan-tegangan yang beragam dari relasi antara tubuh–tubuh, tubuh–bambu, serta kombinasi semuanya, yang kemudian juga menciptakan ruang-ruang tembus dari formasi-formasi tertentu yang mengimpresikan bangunan yang diciptakan dari sikut awak dan kontak fisik. Sedangkan, Saling Gema yang merupakan kolaborasi Ayu Permata dan Elis merupakan respons cepat sekaligus penerimaan dan penyubliman yang cukup apik dari ketertarikan mereka terhadap metode tubuh-suara dalam Cak Rina. Karya ini dengan cukup tangkas mentransmisi tubuh-suara Cak Rina ke dalam tubuh-suara Ayu Permata yang berlatar budaya Lampung dan tubuh-suara Elis yang berlatar Papua. Kedunya mengoreografi suara melalui laku bermain-main dengan keberhadapan tubuh dan keberhadapan suara yang simultan dan padu. Tubuh-gerak dan tubuh-suara mereka beresonansi melalui impresi-impresi tegangan, momentum, napas, trans, yang semuanya merupakan tangkapan dari resonansi Cak Rina.
Penutup: Catatan tanpa Simpulan buat Tubuh-Hibrida-Kini yang Berjalan ke Depan
Sebagaimana terbaca dan termafhumi, catatan yang terlalu panjang ini terlalu berobsesi untuk mencatat segala hal yang terjadi dalam Temu Seni Tari Indonesia Bertutur 2022. Akibatnya, catatan ini abai terhadap kedalaman dan bergerak terlalu di permukaan dengan mencatat secara banal apa-apa yang terjadi tanpa sempat menorehkan refleksi dan tinjauan kritis, apalagi simpulan yang mendalam atau sublim. Catatan ini justru terjebak menjadi semacam laporan jurnalistik yang bahkan compang-camping dan penuh lompatan narasi. Namun, tanpa maksud berkilah, catatan ini diharapkan—setidaknya—menjadi rekaman jejak yang berserak bagi sekian banyak pertemuan, pertukaran, tabrakan, dan rangkulan yang dialami oleh 18 tubuh-hibrida-kini para penari/koreografer muda dalam laboratorium ini. Catatan ini barangkali cukup untuk menjadi narasi tinggalan bagi 18 tubuh yang terus berjalan ke depan itu, yang membawa serta tubuh-masa-lalu mereka serta narasi-narasi sebelum tubuh-masa-lalu mereka.[T]