Catatan Harian Sugi Lanus, 17 Juni 2022
Seandainya ada pemurnian Hindu Bali: Kemana kira-kira arahnya? Pemurnian dari anasir-anasir apa? Anasir luar? Anasir dalam? Atau keduanya?
Seandainya ada pemurnian, ada beberapa “anasir dalam” yang membuat Hindu Bali tertatih-tatih selama proses perkembangnnya, terutama yang bisa kita amati apa yang terjadi setelah kemerdekaan NKRI.
“Anasir luar” memang ada, tampak mengancam (?), tetapi pengeroposan dari dalam yang punya potensi memberikan “anasir luar” leluasa masuk. Ibarat rumah, engsel pintu pagar yang rapuh berkarat mengundang pelaku masuk dengan leluasa. Terlebih jika penghuninya sibuk terkotak-kotak mengurung diri, atau tidak peduli.
Ada hasil analisis peneliti senior dan profesor mumpuni menulis bahwa “Bali adalah benteng terbuka”. Buku ini berjudul ‘Bali : on open fortress, 1995-2005 regional autonomy, electoral democracy, and entrenched identities’ ditulis oleh Prof Henk Schulte Nordholt, terbit di Leiden : KITLV Press , 2007. Buku ini bercerita banyak tentang bagaimana Bali “babak belur” dalam proses pemilu era 1995 dan seterusnya, yang mana isu identitas di Bali digerakkan dan tercabik. Terlebih jika disandingkan dengan ‘The spell of power : a history of Balinese polities 1650-1940’ yang juga ditulis oleh penulis yang sama, terbit di Leiden : KITLV, 1996. Kedua buku ini tidak melulu soal “Agama Bali” tetapi bisa dibaca sebagai yang paling terdampak dari proses mobilisasi simpul-simpul kerajaan, klan, atau posko-posko tradisional yang digerakkan dulunya oleh kerajaan, telah diambil alih oleh partai dan politisi, membuat Bali tersengal-sengal dalam membereskan dirinya dari anasir “politik identitas” yang dimanfaatkan politisi dan partai. Luka-luka dan memarnya menghantui tindak sadar dan bawah sadar masyarakat Bali.
Seandainya ada pemurnian Hindu Bali, apa saja yang perlu ditimbang?
Berikut beberapa hal-hal dasar yang bisa ditambahkan, atau dikurangi, sebagai “koridor pemurnian” — dalam tanda kutip, karena kemungkinan apa yang sebenarnya menjadi slogan “pemurnian” (?) yang dimaksud adalah usaha mencari “koridor jalan harmoni” di tengah perasaan terancam, ataukah perasaan di ujung kebuntuan?
1. ANASIR KEMUNCULAN AJARAN ATAU PAHAM PALING BENAR.
Munculnya ide atau penyebaran ajaran yang menganggap diri paling benar dalam beragama apapun adalah potensi besar merusak dan mencederai pihak-pihak yang dianggap tidak benar. Jika ada kelompok, keluarga, atau individu yang mengaku diri bahwa “jalan yang ditempuhnya” dalam beragama paling benar, pasti akan mencederai dan melukai perasaan pihak lain.
Jika sampai kelompok atau ada oknum secara massif dan punya agenda jangka panjang mengubah atau menggoyang, atau melakukan “konversi” untuk masuk ke ajaran yang disebarkannya, maka BENTURAN tidak akan bisa dihindari.
EKAM EWAM ADWITYAM BRAHMAN — ‘hanya satu (Ekam Eva) tidak ada duanya (Adwityam) Hyang Widhi (Brahman) itu’ — ini menjadi pondasi yang diterima bersama di Bali, dan tambahannya EKAM SAT WIPRA BAHUDA WADANTI, AGNIM YAMAM MATARISWANAM — ‘Satu adanya, oleh para Rsi atau Sang Bijaksana disebutkan dengan berbagai nama seperti: AGNI, YAMA, MATARISWAN, dstnya’. Ini menjadi acuan bahwa Bali menerima perbedaan penyebutan yang beragam, tidak ada pengkultusan nama yang paling benar, bahkan IDA SANG HYANG WIDHI WASA sendiri adalah gelar yang berupa konsesus atau kesepakatan untuk tidak memunculkan kesan bahwa salah satu Dewa atau nama tertentu adalah “yang paling tinggi” di atas nama-nama lainnya.
Kesepakatan mengusulkan gelar Ida Sang Hyang Widhi Wasa harus kembali diingatkan kembai ke pemeluk Hindu di Indonesia, bahwa di baliknya ada konsesus atau permusyawarahan bahwa apapun penyebutan atau gelar Tuhan Yang Maha Esa yang dipakai di kalangan penganut Hindu di Nusantara adalah untuk mencari TITIK TENGAH, untuk menjamin bahwa gelar lain di berbagai suku-suku dan daerah yang telah ada merujuk ke gelar ini juga. Ida Sang Hyang Widhi Wasa disepakati untuk Ketuhanan Yang Maha Esa itu untuk menghapuskan atau tidak memunculkan kesan bahwa salah satu nama tertentu adalah “yang paling tinggi” di atas nama-nama lainnya. Tidak ada nama yang superior dalam urusan berketuhan dalam Hinduisme di seluruh dunia, semua itu adalah EKAM SAT WIPRA BAHUDA WADANTI….
Jika ada anasir-anasir gerakan atau pergerakan mencederai hasil permusyawaratan di balik gelar Sang Hyang Widhi Wasa sebagai titik temu perbedaan nama untuk YANG MAHA ESA itu, gerakan atau kelompok inilah yang bisa mewabahkan kekisruhan beragama dalam tubuh Hindu di Indonesia yang didasari permupakatan dan telah diakui sebagai agama sah di NKRI sebagai Hindu Dharma.
Secara teologi di balik gelar Sang Hyang Widhi didasari oleh pedoman berketuhanan yang menganut paham ADVAITA, bukan VISHISTADVAITA, apalagi DVAITA. Jika berkembang paham-paham baru yang dikembangkan dengan sokongan teologi Vishistadvaita, apalagi Dvaita, sudah bisa dibayangkan benturan atau percekcokan yang timbul di kalangan penganut Hindu di Indonesia.
2. ANASIR MARAKNYA “POLITIK SEGREGASI IDENTITAS”.
Adakah anasir “politik identitas” dalam umat Hindu Bali? Yang mana krama Bali dibenturkan dengan non-Bali? Atau, klan satu dibenturkan atau merasa lebih unggul dari yang lain? Atau ada pihak yang merasa paling tinggi dan paling memiliki otoritas dalam memeluk Hindu? Anasir ini bisa dijawab oleh umat Hindu Bali sendiri.
Belakangan berdesir anasir yang berpotensi mencederai umat Hindu di pulau-pulau atau suku-suku lain, dengan diletikkannya cara pikir “segregasi Hindu Bali dan non-Bali”. Ini tidak elok dan menjadi boomerang, terutama kalau sampai berkembang pemikiran bahwa Hindu Bali lebih superior dibandingkan Hindu di kalangan suku-suku lain di pangkuan Nusantara.
Pilkada dan bahkan pemilihan kepala desa, di beberapa desa memakai dadia atau soroh dalam memilih kandidatnya, adalah salah satu praktek “politik segregasi identitas” yang menjadi anasir pengeroposan panyamabrayan di Bali. Arah pilkada atau pemilihan pimpinan daerah di Bali, yang lalu dan yang akan tiba, tidak steril dari praktek seperti ini, yang berdampak jangka pendek dan jangka panjang membuat “umat keblinger”.
3. ANASIR “KOMODIFIKASI RITUAL” & “DRAMATURGI RITUAL”.
Praktek bisnis banten jelas sangat ada, tetapi sering ditutupi, mungkin ditabukan jika dibahas? Dalam istilah akademis praktek seperti ini sering disebut sebagai “komodifikasi ritual”. Artinya ada proses jual-beli ritual, ada tukang paket atau tukang kemas ritual dalam praktek ini. Dalam situasi ini pihak umat umumnya menjadi bulan-bulanan pihak “penjual banten”. Relasi umat menjadi “relasi pasar” — ada penjual dan pembeli. Ada pemegang kuasa ritual sebagai penentu harga, sementara umat umum sebagai “pembeli” yang tunduk pada kuasa pemegang ritual.
Praktek keagamaan di tengah “komodifikasi ritual” telah menjadi pasar. Celakanya, dalam berbagai kasus, yang menjadi rahasia umum dan bisik-bisik di kalangan bawah; umat mengeluhkan besaran ritual dan tidak berkuasa dalam penentuan tarif. Ini memunculkan kompetisi di kalangan “penentu ritual”. Anasir ini menjadi obrolan dan beban beragama di Bali secara finansial, tetapi sering dihindari untuk dibicarakan secara terbuka.
Apa kunci untuk meredam “komodifikasi ritual” yang berlawanan dengan Hindu Bali yang murni?
Kesesatan menterjemahkan NISTA-MADYA-UTAMA salah satu biang keroknya. Sepatutnya istilah ini diganti menjadi ALIT-MADYA-AGUNG agar tidak memunculkan dan menggiring kesalahan berpikir.
Dalam konteks bahasa Kawi (Jawa Kuno) istilah Nista bukan berarti nista dalam bahasa Indonesia. Nista bukan lacur atau (ter)hina. Esensi semua ritual sama. Hanya besaran tamu dan undangan, serta besaran pesta makan dan bagaimana merayakannya yang membedakan. Sami mawasta jangkep — semua yadnya baik ALIT-MADYA-AGUNG adalah lengkap adanya. Yang membedakan perayaannya. Yang ada adalah banten alit, banten madya, banten agung.
Secara esensi pokok sraddha adalah sama. Secara liturgi dan pesta (undangan, makan-makan, siapa yang muput dan sesaji komplementer) yang menjadikannya disebut “Upakara Agung”. Hanya pihak yang terkait dengan kerajaan, atau diampu oleh kerajaan, dalam praktek Hindu Bali di masa lalu yang melakukan praktek Upakara Agung (yang dilabeli Utama). Jika bersifat personal, tidak berafiliasi dengan kegiatan kerajaan, maka dari keluarga manapun trahnya maka sudah jangkep dengan melakukan Upakara Alit.
Mereka yang mengkait-kaitkan diri atau benar terkait dengan keluarga pihak kerajaan di masa lalu yang berprilaku atau berpraktek UPAKARA AGUNG, sebab hal ini merupakan bagian dari proses “melegitimasi kekuasaan” kerajaan, tidak berhubungan dengan esensi ritualnya.
Katakanlah menikah dengan MEJOLI (ditandu kedua mempelai). Tidak ada hubungan dengan esensi banten atau UPAKARA PAWIWAHAN, tetapi lebih menunjukkan atau pameran kekuasaan — tetapi yang seperti ini yang mewabah sekarang. Semua PREWEDDING di Bali jadi jamak memakai PAYAS AGUNG, yang lebih mahal biaya salonnya dibandingkan biaya BIYAKALA atau BIYAKAON.
Sebagai kilas balik, era 1930-an setelah kerajaan Bali jatuh, terjadi kompetisi jro-jro (simpul-simpul kebangsawanan tradisional) melakukan PELEBON. Karena Klungkung dan pusat-pusat di 9 kadipaten (kerajaan pecahan) rontok, terjadi perebutan “hak paling utama” dari semua jro-jro (sekarang disebut puri yang dulunya bernama jro) untuk melegitimasi posisinya. Mulai terjadi penjualan sawah dan warisan, terlebih setelah Belanda melakukan land-reform atau sertifikatisasi sehingga dengan mudah tanah waris dijual untuk KOMPETISI PELEBON. Sekali lagi ini marak semenjak jatuhnya kerajaan-kerajaan Bali. Sebelumnya dilarang rakyat atau jro-jro kecil melakukan ritual besar — ini dikenal dengan istilah MAMADA-MADA. Semenjak LARANG MEMADA-MADA lenyap, banyak orang Bali ikut “menjual waris” untuk KOMPETISI PALEBON.
Jika dulu PAYAS AGUNG hanya dipakai oleh para agung (keluarga kerajaan), setelah era modern hilangnya LARANGAN MAMADA-MADA (menyama-nyamai) di-copy-paste oleh salon menjadi PREWEDDING PAYAS AGUNG, maka itu pula terjadi semua masyarakat ikut melakukan PELEBON sekalipun secara historis sulit dicari-carikan relasinya dengan garis raja.
Yang paling perlu dicermati, bahkan mawabah PELEBON yang menjadi tradisi para raja ini pun dilakukan kalangan garis kependetaan yang secara SASANA tidak punya tradisi seperti ini. Sebagai catatan, kita hampir tidak bisa menemui catatan bahwa tabik DANGHYANG NIRARTHA atau para MPU besar di masa lalu diupakarai dengan PELEBON AGUNG. Bahkan, bisa dipastikan kalaupun ada upakara penghormatan pada para MPU di masa lalu tidak dilakukan dalam UPAKARA AGUNG, tetapi cenderung sepi catatan, sebagaimana SUNYA yang menjadi tujuan pencapaian para Dang, Rsi dan Mpu.
Anasir praktek komodifikasi ritual (ritual yang diperjual-belikan) bertemu dengan aspek “dramaturgi ritual” (ritual sebagai pementasan kekuasaan atau kekayaan), menjadi penting ditimbang untuk “dimurnikan”, dikembalikan ke SASANA. Biarlah, jika memang ada yang merasa dirinya berhak atas PELEBON AGUNG, cukup mereka saja yang dibebani kewajiban itu. Rakyat biasa, atau mereka yang telah menjadi rakyat biasa (walaupun bertrah apapun kalau tidak berkuasa, tidak berkantong tebal, dan telah status sama dengan kebanyakan), sudah sepatutnya melakukan praktek UPAKARA ALIT yang penuh makna dibandingkan KELIPUT UTANG di usai PAYAS AGUNG atau usai PELEBON AGUNG — UPAKARA PUPUT KELIPUT UTANG.
DHARMANING KAWIKON atau DHARMANING DUSUN menjadi penting dikedepankan. Bahwa tradisi Wiku (Sulinggih/Pandita) yang mumpuni bukan terletak bagaimana sukses melakukan upakara dengan sarana banyak, bukan kebesaran dan penuh kemewahan, tetapi kemuliaan para wiku muncul ada ketika ritus kesucian bisa dilakukan dengan ageman-agemaning mpu dusun — bersandar pada kesucian dan kesahajaan hidup yang paling esensial secara spiritual.
4. ISTILAH SOROH SEBAIKNYA “DIREVISI” MENJADI GOTRA (?)
Ini bersifat usulan, kalau memang perlu “dimurnikan” ke arah KESULINGIHAN.
Dalam bahasa Bali, baik hewan dan tumbuhan disebut SOROH. Dalam dunia flora dan fauna di Bali istilah SOROH adalah pengelompokan yang bersifat anatomis. Disebut soroh suku empat (binatang berkaki empat), soroh suku kalih (binatang kaki dua), soroh padang (rumput-rumputan), soroh buluh (bambu-bambuan), dst-nya. Sedang, perkumpulan yang bersifat kekeluargaan di Bali yang dipertemukan oleh KULA-WARGA atau WARGA-KULA, adalah bersifat KULA. Tidak bisa disederhanakan sebagai ‘PER-SOROH-AN’. Juga tidak sepenuhnya DNA atau kemurnian darah. Tetapi KULA, yaitu sebuah perkumpulan dalam satu ikatan untuk menghormati ketokohan atau kesucian tokoh tertentu.
Sebagai contoh: Arya-Arya dari Majapahit atau Kediri membawa keluarganya ke Bali dengan rombongan satu keluarga besar, dan ratusan pengawal setia. Bahkan dalam ekspedisinya bahkan disebutkan membawa puluhan ribu. Katakanlah Arya Damar-Kenceng, dikisahkan membawa 20.000 pasukan, maka ketika berpulang sang tokoh, semua keluarga dan pasukannya memuliakan sang tokoh. Semua masuk dalam KULA dari tokoh tersebut. Dipersatukan antara pasukan, keluarga trah langsungnya, semua dalam kewargaan KULA. Para Arya dan pengikutnya yang menetap di Bali menjadi satu perikatan KULAWARGA, entah Arya Kenceng, Sentong, Kaba-kaba, Gajahpara, dst-nya. Hanya yang kebetulan beruntung menjabat berlanjut yang memakai gelar dalam keturunannnya, sementara yang tidak bergelar masih satu KULAWARGA, sembahyang ke pusat yang sama, mengingat secara historis mereka punya perjalanan bersama yang saling mengikat lahir batin.
Para PREBALI, yaitu para satria dan para trah pandita sebelum kedatangan Majapahit, berkumpul dalam berbagai KULAWARGA yang disebut sebagai Pasek, Bendesa, dan juga Prebali lainnya yang merupakan trah para mpu, pangeran, prebekel, para tuan tanah, mangku desa, balian desa, kubayan, dst-nya. Inilah PREBALI, yang tidak bisa disederhanakan dengan identifikasi soroh karena bercampur baur antara yang bersifat geneologis, mitologis, dan ikatan mitos-historis yang tidak sederhana. Kewangsaan yang bercampur-baur ini selanjutnya mengadakan perikatan kekeluargaan bersama demi bisa duduk damai belajar bersama, saling bisa menjaga dan saling bantu dalam ritual — SIDIKARA, SALING TEGEN-SALING DWENANG — yang menjadi motivasi atau dorongan tulus yang sejatinya mendasari pembentukan perikatan ini.
Kenapa di sini perlu “direvisi” menjadi GOTRA?
Karena telah lahir DIKSA KULAWARGA yang menyambungkan atau mengikat tersebut. Pasek dengan kulawarganya, Bendesa dengan kulawarganya, Arya dengan kulawarganya, Dukuh dengan kulawarganya, dan yang lain-lainnya, sekarang telah melahirkan GARIS KEPANDITAAN MASING-MASING yang dilahirkan dalam proses DIKSA GOTRA.
Ketika KULAWARGA PASEK GELGEL berkesadaran bahwa mereka perlu dipersatukan dalam silsilah diksa, disebut paguyubannya sebagai GOTRA. Yang mana Gotra punya esensi garis silsilah diksa dalam kulawarga sendiri. GOTRA secara sederhana adalah “garis klan yang menjaga tradisi diksa di dalamnya, umumnya berbasis garis anak laki”.
Sebelum munculnya kebangkitan kembali kesadaran DIKSA dalam GOTRA PASEK di era modern, pasca Majapahit datang ke Bali, Kerajaan Gelgel yang tidak lain kerajaan pasal atau kerajaan bentukan Majapahit ini ketatanegaraan kerajaan mengadopsi setidaknya hanya tiga trah yang diksanya dipakai sebagai bagian dari upakara kenegaraan Kerajaan Gelgel, yaitu DIKSA GOTRA DH NIRARTHA, DIKSA GOTRA DH ASTAPAKA-BUDDHAKELING, dan DIKSA RSI-BHUJANGGA — yang ketiga komposisi ini telah dipakai di era Raja Jayapangus di Bali sebagai “mpuku sewa, sogata, rsi-mahabrahmana”, salah satunya dalam Prasasti Kayubihi, yang bertahun 1103 Śaka atau 1181 Masehi.
Situasi kenegaraan kerajaan yang terpecah, dan akhirnya tutup buku ketika datang Belanda, selanjutnya era kemerdekaan NKRI, telah memupus peran kerajaan sebagai PENATA-GAMA, kemunculan PAIKATAN KULAWARGA yang berkembang tahun 1920-an dan selanjutnya menjadi “perikatan kekeluargaan resmi” era kemerdekaan, menjadi peluang baru penataan keberagaamaan di Bali.
Kebangkitan DIKSA dalam beberapa GOTRA atau KULAWARGA ini penting disambut sebagai “formasi baru” dalam penataan beragama di Bali. Ciri khas GOTRA adalah bahwa DIKSA dilakukan di kalangan garis KULAWARGA, disupport dan diampu oleh keluarga besar, dengan sistem seleksi internal yang bersifat selektif kekeluargaan, telah menjadi pilihan bersama dalam proses perkembangan Hindu Bali. Kebangkitan DIKSA dalam GOTRA (berbasis kulawarga) menjadi fenomena Hindu Bali pasca kemerdekaan NKRI. Hampir merata di setiap keluarga muncul atau bangkit kembali PADIKSA berbasis KULAWARGA.
Dari PAIKETAN KULAWARGA — atau jamak disebut awam sebagai SOROH — kenyataannya sangat jauh berkembang, di atasnya itu mengandung semangat dan cita-cita spiritual tinggi, yaitu membangkitkan DIKSA GOTRA (diksa dalam garis keluarga). Bisa disebut di sini pasca kemerdekaan kembali secara publik Mpu dari Pande, Mpu dari Pasek, Rsi dan Bhawagan dari satria, Mpu Dukuh dari kulawarga Dukuh, dst-nya, untuk terlibat mengambil peran sangat signifikan dalam penataan kembali keagamaan di Bali.
DIKSA GOTRA dalam perkembangannya menjadi pengikat KULAWARGA di Bali. Semangat mulia ini sebaiknya tidak dilabeli secara sederhana dengan label SOROH, tetapi kemuliaan tradisi diksa ini yang perlu dikawal.
DENGAN CARA MEMBERESKAN DAN MERAPIKAN DIKSA GOTRA (atau padiksan yang disekapati oleh keluarga, desa dan komunitas lokal yang membumi) AKAN MENJADI BENTENG DAN FILTER MUNCULNYA DIKSA-DIKSA GADUNGAN YANG TIDAK MEMILIKI DRESTA ATAU ANUTAN SILSILAH KEPENDETAAN YANG DITERIMA SECARA SAH MENCERAHKAN UMAT.
Semangat SOROH yang awalnya merupakan semangat klan, telah naik kelas menjadi GOTRA yang berpusat pada DIKSA. Soroh yang secara semantik di dalamnya lebih ke ciri genetis-anatomis, berbaur dengan sosiologis, historis, ketika semangatnya difokuskan pada yang lebih tinggi yaitu SEMANGAT KEPENDETAAN yang berbasis tradisi keluarga besar, lebih tepat disebut sebagai GOTRA.
5. MENGEMBALIKAN PURA PUSEH-DESA SEBAGAI PUSAT PRAYASCITA.
Apakah fenomena melukat di berbagai tempat di Bali adalah salah satu dampak dari hilangnya pemahaman bahwa PURA PUSEH-DESA adalah PUSAT PRAYASCITA KRAMA & BHUWANA AGUNG?
Masyarakat yang melakukan ritual besar KARYA PUJAWALI atau ODALAN setiap 6 bulan (210 hari) atau setahun sekali (12 sasih) seakan masih merasa “leteh”, padahal sudah melakukan PRAYASCITA atau BAYUH atau PALUKATAN bersama setiap PUJAWALI & KARYA — tetapi tidak disadari karena ritual PUJAWALI ADALAH PALUKATAN MASSAL KRAMA DESA.
Di tengah banyaknya tarik menarik aliran, banyak masyarakat TIDAK PERCAYA DIRI alias minderwaardigheids, seakan-akan kalau tidak melakukan pelukatan atau inisiasi dari “guru-guru” yang tidak juga jelas kapasitas keguruannya, banyak kalangan merasa belum “teg-teg”. Padahal, Pura Puseh-Desa ADALAH pusat dari krama desa untuk PRAYASCITA masing-masing krama.
Pura Puseh Desa bukan sekedar tempat sembahyang biasa. Ketika mengikuti Puja-Wali yang disiapkan adalah PESUCIAN KRAMA, dan paling penting di dalamnya, tirta-tirta yang ditunas di PURA PUSEH-DESA adalah umumnya kumpulan TIRTA PANGLUKATAN. Pura Puseh-Desa adalah “kanal gaib” TIRTA PANGLUKATAN dan PRAYASCITA bagi krama desa. Itulah yang membedakan SANGGAH/MRAJAN DADYA atau PAIBON, dengan PURA PUSEH-DESA.
PUSEH-DESA adalah sumber PALUKATAN AGUNG, termasuk ketika DIKSA yang wajib dipuja adalah PUSEH oleh sang calon diksita. PUSEH BERPERAN SEBAGAI SALAH SATU POROS DIKSA.
Dalam Griya-Griya di masa lalu ada sanggar atau pemujaan Puseh yang menjadi sanggar ketika DIKSA. Bagi krama kebanyakan maka Pura Puseh sebagai pusatnya Palukatan (Tirta Pembersihan). Dalam garis-kependetaan tradisional keluarga pandita mendirikan “sanggar puseh” yang menjadi orientasi puja pagi dan “nedun tirta”. Karena ada puja harian SURYA-SEWANA di griya-griya yang ada pendetanya, dan dengan pendirian “sanggar Puseh” di masing-masing griya, maka tiap griya bisa “membuat tirta palukatan”.
PUSEH yang sesungguhnya, atau sumber PELUKATAN AGUNG, adalah PURA PUSEH-DESA, bukan sanggar atau sanggah pemujaan perorangan. Jika umat Hindu Bali dimanapun berada, jauh dari pusat kependetaan, atau di kalangan BALI AGA-MUA, dan tidak bisa ke griya meminta tirta, maka selesai semua ritual dengan ke Pura Puseh dengan Mangku Puseh-Desa atau BALIAN DESA masing-masing. Karena Pura Puseh Desa tidak buka tiap hari, inilah sebabnya penting kehadiran griya-griya berperan “menggantikan peran harian” Pura Puseh-Desa. Karena Pura Puseh cukup terbatas hanya menghasilkan PALUKATAN ketika PUJA WALI atau KARYA, atau piuning khusus yang diminta oleh krama ke Mangku Desa ketika upakara Ngaben, Manusia Yadnya, dll., peran griya menjadi sangat signifikan. Peran ini dipertahankan oleh Balian Desa, Kubayan, Bahu, di kalangan Hindu Bali di pegunungan atau Bali Aga-Mula dengan teguh berporos palukatan dan patirtannya di Bale-Agung dan atau Puseh-Desa.
Dengan melemahkanya kesadaran bahwa PURA PUSEH-DESA, atau tabik BHATARA PUSEH sebagai SUMBER PELUKATAN, merembet kemana-mana. Masyarakat bingung melukat ke leke-leke (umah tonya-umah gamang dll?) yang disebut sebagai “pesucian” atau “pelukatan”, padahal banyak tempat serupa itu bukanlah “tempat suci” tergolong bisa dianggap suci, atau kalaupun memang tempat suci, traffic manusia yang datang tidak bisa diawasi sebagaimana ketatnya siapa-siapa saja yang masuk Pura Puseh-Desa, dalam hal menjaga kesuciannya.
Tempat suci seperti PURA TIRTA EMPUL adalah pengecualian. Pura Tirta Empul adalah “Puseh Jagat” di masa kerajaan Bali Kuno dan sampai kini adalah memang tetap Pura Panglukatan dan “PETIRTAN JAGAT”.
Secara tradisi Hindu-Bali pusat palukatan adalah Pura Puseh Desa. Baik tirta pengentas, panglukatan 3 bulan (telung bulan), 6 bulan (oton), pawiwahan, DIKSA, dst-nya, semua berpusat pada PURA PUSEH. Jika ini tidak dikembalikan kepemahaman yang mendasar, krama Bali yang berporos pada PAKRAMAN dan PURA PUSEH berpotensi terjangkiti minderwaardigheidscomplex — ANE PAAK ALIH JOH — minimal kecintaan dan kehormatan pada PUSEH-DESA akan makin menguap, tidak mantap lagi.
Masyarakat Bali perlu kembali ke ESENSI AJARAN MPU KUTURAN YANG BERPOROS PADA PUSEH-DESA sebagai PUSAT TRADISI PRAYASCITA & PANGLUKATAN BHUANA-ALIT (krama) DAN BHUANA AGUNG (desa-grama). Ini yang akan merapuhkan PERAN DESA PAKRAMAN jika ditinggalkan atau diabaikan akibat kelalaian memahami esensi dan eksistensi PALUKATAN AGUNG dari BHATARA PUSEH.
Jika pun harus menambahkan tempat palukatan di desa-desa masing-masing, maka PURA SEGARA dan merawat pesisir adalah caranya. PURA BEJI dan PATOYAN yang umumnya sumber mata air di masing-masing desa DIJAGA & TIDAK DICEMARI DENGAN SAMPAH DAN LIMBAH.
Masyarakat Hindu Bali yang berporos pada PRAYASCITA & PANGLUKATAN PUSEH DESA, mendesak dikembalikan ke jalurnya. Ini berpotensi bukannya hanya ancaman GABENG-MEGAMA (kegamangan beragama) tapi juga akan menjadi ancaman ekologis. Pelukatan, petoyan, patirtan, dan semua sumber air yang secara tradisi menjadi sumber TIRTA PANGLUKATAN di PUSEH DESA telah diganti air mineral botolan. Tirta di Pura Puseh bukan lagi dari sumber alami yang sepantasnya dirawat. Dengan hilangnya kesadaran PUSEH SEBAGAI POROS PALUKATAN, akan berdampak tidak akan ada lagi yang mengawal dan urati menjaga secara ekologis dan spiritual sumber air di desa, yaitu: BULAKAN, PELUKATAN, BEJI, PATIRTAN, EMPUL, dan semua sumber air.
6. KEMBALIKAN DANG KAHYANGAN SEBAGAI PUSAT PEMBELAJARAN AGAMA ATAU RSI YADNYA
Telah terjadi kekaburan dalam memahami SADH-KAHYANGAN & DANG KAHYANGAN dalam pengajaran agama di sekolah dan juga di kalangan masyarakat awam. Pura-pura di Bali cenderung dirangking. Bahkan pemilahan dan rangking Pura di Bali ini mempengaruhi budgeting atau gelontoran anggaran Pemda ke Pura yang berstatus SADH & DANG KAHYANGAN. Banyak kalangan berusaha menjadikan puranya masuk dalam kategori ini dengan harapan jika masuk kategori ranking pura yang ada dalam budgeting pemda, maka dengan status pura yang ditingkatkan akan diterima gelontoran dana.
Padahal DANG KAHYANGAN adalah PURA RSI.
Pura Rsi, Dang Kahyangan, Katyagan, dan Pucak Manik, adalah Pura-pura atau kahyangan yang cikal-bakalnya di masa Bali Kuno adalah situs PASRAMANA RSI atau MANDALA KADEWAGURU atau pusat pembelajaran spiritual.
Sepatutnya “pemurnian” bercermin dari “permurnian” yang dilakukan oleh Dang Hyang NIRARTHA. Gerakannya adalah keliling Bali atau napak tilas menghidupkan kembali semua titik-titik MANDALA SUCI PUSAT PEMBELAJARAN AGAMA. Inilah sebabnya semua PURA RSI atau DANG KAYANGAN dikunjungi oleh DANGHYANG NIRARTHA. Rute perjalanan Sang Dang Hyang tercatat sebagai PUSAT PEMBELAJARAN BALI KUNO yang sudah eksis sebelum kedatangannya, seperti PURA PAKENDUNGAN (Tanah Lot), PURA RSI & WISESA (di Mundeh-Nyambu, Tabanan), lalu terakhir di PURA ULUWATU, adalah titik-titik mandala suci yang punya peran spiritual di masa Bali kuno, beratus tahun sebelum kedatangan Dang Hyang Nirartha.
PURA DANG KAHYANGAN kuno adalah KATYAGAN di masa Bali kuno. Kemudian disebut sebagai PURA RSI dan PURA DANG. Titik-titik ini menjadi poros pembelajaran agama atau spiritualnya Bali Kuno. Sebagai contoh Kompleks Candi Gunung Kawi. Situs arkeologis ini adalah kompleks pembelajaran atau pertapaan dan pasraman di aliran sungai Pakerisan. Prasasti Batuan (berangka tahun 944 Śaka atau 1022 Masehi) dan Prasasti Tengkulak A (berangka tahun 945 Śaka atau 1023 Masehi), yang keduanya dikeluarkan oleh Raja Marakata, menyebutkan “… manganwaya ri sanghyang katyāgan ing pakrisan mangaran ring amarāwatī…”yang berarti ‘… memelihara bangunan suci pertapaan di Pakerisan bernama Amarawati…’ (Goris 1954, 98; Ginarsa 1961, 4).
Para raja dan rsi di era Bali Kuno dan Jawa Kuno secara pokok ajarannya minimal membuat pusat-pusat mandala kerajaan bawahannya dengan empat pertapaan utama (katyāgan). Tempat-tempat yang sama ini (meskipun dalam urutan yang berbeda) disebutkan dalam bagian 78: 7 dari DEŚAWARṆANA (Kakawin Negarakrtagama), di kerajaan atau pusat-pusat mandala pembelajaran di masing-masing daerah digambarkan sebagai KATYĀGAN CATURĀŚRAMA Jaringan maṇḍala atau pusat pembelajaran Bali Kuno dan Jawa Kuno dibagi dalam CATURBHASMA demikian pula katyāgan, yang juga bermakna “tempat pertapa”, ditata dalam empat komunitas induk yang men-support pusat kerajaan dengan berbagai pembelajaran yang menjadikan masyarakat teguh memegang prinsip-prinsip dharma.
KATYĀGAN yang tersebar di Bali seiring waktu disebut sebagai Pura Rsi ketika dikunjungi oleh Dang Hyang Nirartha berperan sebagai tempat suci mengenang jejak para rsi, sebagai PUSAT RSI YADNYA dengan kegiatan belajar dan pembelajaran.
DANG = RSI. PURA RSI = PURA DANG. Dang Hyang menjadi gelar para suci di masa lalu, seperti Dang Hyang Nirartha, Dang Hyang Astapaka, Dang Hyang Dwijendra, dst-nya. Dang sama dengan Rsi. Maka harus dipahami kembali bahwa DANG KAHYANGAN adalah PUSAT PEMUJAAN PARA RSI — POROS RSI YADNYA — dan paling penting adalah DIKEMBALIKAN SEBAGAI PUSAT PEMBELAJARAN DHARMA.
Tidakkah akibat lemahnya kesadaran RSI YADNYA yang komprehensif di Bali, yang berporos di DANG KAHYANGAN, membuat muncul banyak oknum bersibuk mengimpor kultus guru-guru baru yang harus disembah dan diarak kemana-mana?
Pura Dang Kahyangan harus dikembalikan sebagai POROS PEMBELAJARAN & PUSAT RSI YADNYA, jika ingin kembali Panca Yadnya tidak timpang dengan “ketidakhadiran” Rsi Yadnya di Bali. Jejak Dang Kahyangan dan Pura Rsi di Bali tidak sebatas dibaca sebagai kultus pada, tabik, Bhatara Lelangit Danghyang Nirartha, tetapi juga melampaui, pada PARA SUCI yang beradab-abad dimuliakan di sana. Para PUROHITO BALI KUNO yang dimuliakan atau disucikan beratus-ratus tahun sebelum NAPAK TILAS DANG HYANG NIRARTHA.
Sudah waktunya NAPAK TILAS DANG HYANG NIRARTHA dalam menjejaki katyāgan Bali kuno dibaca secara lebih mendalam: Apa pesan-pesan di balik jejak perjalanan Dang Hyang Nirartha sehingga dengan sangat rapi merestorasi berbagai PURA RSI dan DANG KAHYANGAN?
Jasa tiada terhingga dari DH Nirartha adalah pada restorasi Hindu Bali di titik-titik pusat pembelajaran Bali kuno, yang kini kita kenal jejaknya sebagai PURA DANG dan PURA RSI. SUDAH WAKTUNYA taksu para Dang dan para Rsi di berbagai pusat pembelajaran Bali kuno itu dikembalikan dimaknai sebagai PUSAT RSI YADNYA. Kembali memuliakan para Mpu yang disucikan di Gunung Bhujangga (nama sastra atau penyebutan dalam lontar bagi Gunung Lempuyang) kita jadikan pusat pemuliaan ajaran para rsi, dengan tradisi baca dan kesastraan yang ditinggalkan para Suci yang dimuliakan di sana. TAKSU para MPU SEWA-SOGATA-RSI, dan para suci yang dahulunya bertapa dan menurunkan ajarannya di Dang Kayangan tersebut yang “ditunas” oleh anak-anak Bali, sebagai bekal memberi akar pada tradisi pewarisan silsilah ajaran yang mengakar.
Tradisi memuliakan ajaran para rsi bisa dimulai dengan mengaktivasi kembali Pura Dang Kayangan, Pura Rsi, Pura Katyagan, Pura Pucak Manik (tempat rsi atau pertapa mendapat visi suci atau melepas raga), Pura Bhujangga dan Gunung Bhujangga (Gunung Lempuyang), dan semua simpul-simpul peninggalan para suci Bali kuno.
Pura Dang bukan pura biasa, tapi pusat pembelajaran pokok-pokok keagamaan, pertapaan, dan pemuliaan para rsi dan ajaran-ajaran sucinya. Mesti diletakkan kembali secara proporsional bahwa PURA SADH-KAHYANGAN adalah pemujaan DEWA YADNYA, dan PURA DANG KAHYANGAN adalah poros RSI YADNYA dan pembelajaran ajaran-ajaran suci para Rsi.
7. KEMBALIKAN PARISADA SEBAGAI RUMAH KEPENDETAAN RESMI HINDU DHARMA INDONESIA.
PHDI adalah payung Hindu Dharma yang diakui secara resmi oleh NKRI. Oleh karena itu, sepatutnyalah Parisada menjadi rumah semua pandita dan pinandita yang secara resmi telah mengikuti tahapan/proses diksa atau penyuciannya sesuai koridor hukum hasil Mahasabha dan Kesatuan Tafsir PHDI yang sudah disahkan. Yang tidak melalui jalan sah tidak sepantasnya merasa sah duduk di jalur sah.
Dari sini kemudian diikuti KESADARAN SADAR untuk mengembalikan kembali parisada sebagai tempat duduknya para agamawan yang paham kitab. Sebab, Parisada bukan tempat transit atau duduk bagi yang tidak punya pemahaman keagamaan yang komprehensif. Parisada merupakan lembaga “keulamaan” bukan EO keagamaan atau ormas sempalan, bukan ruang konstestasi kepentingan menuju jabatan politik selanjutnya.
Pihak-pihak yang telah salah kamar, atau salah duduk dalam Parisada sepatutnya undur diri, dan atau kedepannya siapapun ingin mengabdi atau “ngayah” di Parisada, bersiaplah sedari muda membekali pemahaman keagamaan secara mendalam, jangan kaleng-kaleng. Parisada bukan tempat bagi pemula yang baru mulai belajar agama, tetapi lembaga para rohaniawan, para agamawan, para pembimbing agama agar masyarakat menjadi tercerahkan.
Hindu Bali mengenal tata-titi dan anggah-ungguh. Kerja TAPINI tidak bisa diserahkan kepada tukang abas abian.Urusan tapini tidak bisa dikerjakan oleh tukang arit, sekalipun ahli ngarit dan punya peralatan potong.Metebas, metuwas, tidak bisa dengan blakas, kandik. Dipakailah lemat tapini. Dengan segala penuh hormat kepada tukang arit, tukang abas, yang memang ahli ngabas dan ngarit: Urusan metuwasan, mejejahitan, dan mengreresik tetandingan, tidak bisa diserahkan kepada tukang abas dan tukang arit — sekalipun telah meraih pencapaian tertinggi di bidangnya masing-masing kalau tidak nyambung, golok dan badik bukan alat metuasan. Fungsinya untuk membuat pepagan dan pagehan.
Bagi yang para pemuda Hindu-Bali yang bercita-cita ngayah di Parisada di masa depan, minimal bersiaplah dengan mulai membaca sejarah Parisada dan hasil kesatuan tafsirnya. Agar kalian tidak seperti anggota dewan yang setelah duduk di kursi dewan baru belajar tatib. Agar tidak menjadi KEBO MEBALIH GONG. Pahami mana DIKSA RESMI, DIKSA NON-RESMI, dan mana DIKSA-GADUNGAN. Para pemuda Hindu Bali sebaiknya hadir atau setidaknya mengintip pelaksanaan upakara Bali dan daerah lain —bagi yang berasal dari daerah lain, ikuti dengan baik kegiatan di daerah masing-masing — bagi Hindu Bali agar paham minimal bebantenan Hindu suku lain memang berbeda, dan secara mendasar paham minimal isi PEJATI, SUCI ALIT, PECARUAN ALIT, supaya kedepannya tidak menjadi sosok yang menggampangkan bahwa semua ritual bisa disederhanakan dan digantikan dengan simbol.Jika tidak paham hal-hal dasar seperti ini, apalagi tidak peduli, sebaiknya tidak cawe-cawe berpikir ngayah di Parisada. Banyak tempat mulia lainnya bisa menjadi tempat NGAYAH.
Penting sekali bersepakat semua umat Hindu Bali bahwa: Dari tingkat desa sampai tingkat pusat, Parisada bukan tempat bagi pemula yang belajar agama, tetapi sebuah lembaga para rohaniawan, para agamawan, para insan tulus yang telah membekali dirinya sedari muda untuk menjadi pembimbing dan pendamping umat menuju umat yang jujur tercerahkan.
CATATAN INI TIDAK DIPERPANJANG. Jika memang ada pemurnian, ‘prayascita jaba-jero sami kabuatang’, PEMURNIAN KELUAR & KEDALAM SAMA PENTINGNYA.
____
KLIK UNTUK BACA CATATAN HARIAN SUGI LANUS YANG LAIN