EPISODE
Bagi seorang pemurung sepertiku
jagat ini seluas rasa sedihku.
Mimpi-mimpi bertumpukan
mengarah ke satu peti mati:
Aku akan mati.
Dari celah kakiku kini menyelip
putih bulir pasir
pasir beribu, kering, dan sedikit
berbatu.
Muramlah cakrawala senja hari
muramlah si jelita
di bawah cerlang cahaya:
habis terbakar matahari
yang selalu terbit di awal hari
Matahari, kuntum luna yang jingga,
sulaman nyawa
nyanyian fana
di kegelapan
Dari sipit mataku
tercermin kebekuan malam
kerak masalalu menetas
menyerupai lentera perak
mengubah hati menjadi riak
Akan kutunggu engkau menjemputku
Engkau yang menaburkan emas di rerumputan,
Engkau yang beringas memberi titik sebelum
kata terakhir,
Engkau yang bersembunyi di semak berimbun,
di penghabisan jiwa yang tertegun,
di mana setiap raga menemukan pemukiman
paling kuat.
Dan begitulah
pagi akan mulai kembali
daun-daun mengatup berjatuhan
bara abu seluas lautan
gentar pada tiang-tiang
mimpi dan pengharapan
bertumpukan di peti mati
O, alangkah sunyi mati.
MELINGKAR
1/
Lengkung yang berada di punggung bukit lesung
Adalah naga;
Kau tak akan pernah melihatnya
Kau cuma bisa menerka, sedikit meraba
Dan bertanya: adakah yang lebih gaib
Dari perut bumi?
2/
Sebuah mitos, barangkali, telah
Diselipkan pada tembok batu,
Pada halaman baru,
Pada ruas kuku,
Dan kini kau temukan pada sebilah buku
3/
Cerita ini telah sampai juga padaku
Seekor naga melingkar di perut bumi
Berdiam lama dan tak ingin kembali
Tapi rindu ini juga membangkitkan
Kenangan lama akan
Janji setia
Seorang saudara
4/
Bumi bergoncang renyai
Sebab kita terkadang abai
Pada mimpi yang kian muskil
Saat kita sedang berbabil
5/
“Saudaraku, saudaraku
Di dalam perut bumi ini
Kukenang engkau,
Kukenang nyalamu
Di dalamku”
DING
-Bagi Wayan Gde Yudane
I
Setelah perang terakhir yang gagal dimenangkan
Dan para korban dan pahlawan telah dikekalkan,
Kita beringsut kembali ke sawah dan sanggah,
Kembali ke balik gamelan dan mencoba meredam resah.
Tabuh. Tabuh. Tabuh.
Hanya gong dan kebyar yang mengerti
Peluh dan keluh
Yang kini bermukim dalam diri.
Tetapi hidup terus membukakan pintu-pintu
Menuju tahun-tahun yang tersenyum.
Dan penabuh gamelan itu mengajakmu
Menyambut apa pun yang terangkum
Dalam kejutan-kejutan irama kendang
Dan nyaring ceng ceng yang berkumandang.
II
Malam paling sejati di Bali
Adalah ketika kau tak lagi dapat
Menyimak suara orang mekidung
Karena semua penjuru telah diduduki
Senyap yang menekan
Seperti tangan raksasa Yama.
Dan Rangda terbang di atas rumah-rumah,
Sibuk membentangkan padang setra
Hingga ke tepi-tepi Pulau Bali:
Setra yang tetap membentang
Dari pagi ke pagi berikutnya.
Dan orang-orang berjalan
Sambil membayangkan: sejengkal di depan
Adalah jurang.
Dan seekor cicak yang terjatuh tiba-tiba
Terasa seperti peluru buta yang ditembakkan
Untuk siapa saja.
III
Timur dan Barat bersatu dalam diriku.
Tetapi yang manakah Timur sebenarnya
Dan yang manakah Barat sebenarnya?
Segalanya membaur dan mengabur.
Satu kakiku menapak bilah-bilah pelog
Dan kakiku yang lain bertumpu
Pada biola, piano, dan cello.
Tetapi ketika penabuh gamelan dalam diriku
Mulai mengayunkan tangannya, yang kudengar
Tetap juga kemeriahan kebyar.
Barangkali seluruh nada dan irama dunia
Kelak akan hadir seluruhnya
Di bale-bale bengong
Sebagai sunyi semata-mata.
_____