Seorang rekan membagi ulasan tentang dashyatnya kekuatan uang mempengaruhi totalitas relung-relung kehidupan manusia. Di tingkat makro disampaikan, ambisi menguasai uang bisa meluluh-lantakkan patriotisme dan nasionalisme seorang warga negara. Nyaris secara total mengubah kerangka pikir, “code of conduct” dari kekuatan kerja “power of money”. Teman bisa jadi lawan, lawan bisa jadi teman, runtuhnya persahabatan dan bahkan sendi-sendi kehidupan keluarga. Ada ” dasa muka ” dari kekuatan uang, dalam masyarakat dengan ukuran serba benda, yang memerosotkan: etika, moralitas, solidaritas dan bahkan peradaban serta kebudayaan.
Dampaknya komersialisasi kehidupan terjadi di mana-mana, tanpa rasa bersalah dan tanpa rasa malu, dan dianggap oleh sebagian orang sebagai sebuah ” kenormalan”. Termasuk, di ruang-ruang kebijakan publik, yang semestinya tabu untuk dilakukan.
Dalam lanskap politik, kekuatan modal baca uang begitu berkuasa, sehingga kita teringat ucapan pemimpin ternama China Mao Tse Tung: kekuasaan berasal dari ujung laras senapan dan juga kekuatan dari uang, the power of money.
Dalam fenomena kehidupan seperti ini, kita dapat diingatkan oleh pemikiran tercerahkan dari negarawan, bapak pendiri India Mahatma Gandhi, kehidupan yang serba benda adalah kehidupan yang tidak bermoral, karena mengingkari sisi moralitas dan spiritualitas manusia. Akan melahirkan perbudaan (slavery) yang berasal dari keinginan yang tanpa batas, limitless wants. Perbudakan yang distimulasi oleh keinginan kebendaan ini, oleh insan-insan manusia yang pada dasarnya utama, adalah sebuah kehinaan kehidupan. Insan-insan manusia dalam menjalankan kewajibannya semestinya tidak terikat, vairagya, justru mengikatkan dirinya pada keinginan kebendaan yang tanpa batas itu. Kondisi ini dalam pandangan Mahatma Gandhi, melahirkan penderitaan (misery) bagi insan-insan manusia.
Penderitaan yang lahir dari keterikatan kehidupan yang serba benda, uang, kekuasaan dan bentuk “dasa muka” lainnya. Penderitaan yang anehnya “dinikmati”, “dirayakan” bahkan dengan simbol dan wacana agama. “Penderitaan” yang dirayakan ini, merujuk pendapat Romo Mangunwijaya, rohaniwan cum sastrawan, insan-insan manusia yang dimaksud adalah pengikut atheis praktis, secara teori percaya pada Tuhan, tetapi dalam prakteknya mengabaikan secara total rujukan agama yang dianutnya. Tantangan kemanusiaan yang tidak ringan, dalam pengembangan karakter bangsa, pembangunan insan-insan manusia berbudi pekerti luhur dan kuat secara spiritual, stitha prajna.
Dalam fenomena di atas, sejarah “mengetuk” pintu kita, apakah kekuatan uang di atas akan memerosotkan peradaban, atau ancang-ancang melakukan perlawanan bersama, menyongsong era baru kebangkitan. [T]