Galungan adalah sebuah perayaan agama Hindu di Bali yang jatuh pada Rahina Buda Kliwon Wuku Dunggulan datang setiap 210 hari sekali. Galungan yang dimaknai sebagai perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma jika merujuk pada mitologi Mayadenawa yang dibinasakan oleh Dewa Indra.
Walaupun dalam “kaca mata” lain, Galungan sarat dengan elemen-elemen agraris yang tertuang dalam sara upakara seperti hasil bumi berupa flora (pala bungkah pala gantung) dan fauna (wewalungan). Sebagai contoh hiasan penjor terbuat dari hasil panen sawah dan ladang berupa padi, enau, janur, kelapa dan bambu.
Kemudian, dalam bentuk sarana upakara lain daging babi diolah menjadi sate khas Galungan seperti japit dan kuwung. Lawar sebagai bagian dari upakara dan makanan khas Galungan juga berbahan dasar dari babi, ayam dan bebek. Jika dilihat dari sarana upakara Galungan yang berbahan dari bentuk pertanian dan peternakan, rasanya tidak berlebihan jika Galungan juga sebagai perayaan masa panen atau agraris.
Hari Raya Galungan di Bali khususnya di Ubud selalu dirayakan dengan penuh kekhusyukan dan meriah sejalan dengan konsep perayaan kemenangan Dharma melawan Adharma dan juga sebagai perayaan syukur terhadap berkah pada hasil panen.
Ubud sebagai daerah kantong budaya di Bali tidak hanya merayakan Galungan dari sisi religius semata, namun juga menghasilkan bentuk-bentuk kesenian. Hal ini sejalan dengan prinsip Agama Hindu di Bali yang memadukan unsur religius dengan seni.
Ngelawang Barong adalah salah satu kesenian yang menjadi ikon dari Hari Raya Galungan. Ngelawang Barong adalah sebuah pertunjukan seni yang disajikan secara berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah (lawang) yang lain dengan menarikan barong dengan disertai dengan tabuhan gamelan. Pentas dari rumah kerumah atau lawang ke lawang yang lain kemudian disebut dengan “Ngelawang”.
Ngelawang Barong pada Hari Raya Galungan di Ubud menjadi sebuah tradisi. Sebagian besar pelaku dari Ngelawang Barong ini adalah dari kalangan anak-anak yang lebih dikenal dengan Sekehe Barong. Ubud sendiri memiliki puluhan Sekehe Barong yang terbentuk dari banjar-banjar ataupun sangar-sangar seni. Ngelawang Barong dalam sudut pandang religi diyakini sebagai sebuah media penolak bala juga dalam kaca mata seni menjadi sebuah pendidikan seni itu sendiri.
Ngelawang Barong juga sebagai pendidikan seni khususnya seni karawitan dan tari, anak-anak yang tergabung dalam sekehe barong mendapat pengenalan dasar mengenai seni tabuh (megamel), seni tari (ngigelin barong) dan manajemen seni (pengelolaan sekehe).
Sering kali dalam ngelawang barong, anak-anak belajar secara langsung mengenai tata cara memainkan gamelan secara menyeluruh, menarikan barong dengan bergantian dan secara tidak langsung semua sekehe memiliki peran untuk mengatur program sekehe seperti kemana akan pergi ngelawang?
Bagaimana mengelola hasil ngelawang dan bagaimana cara mengatur sekeha untuk memainkan gamelan dan menarikan barong secara bergantian. Sehingga melalui aktivitas ngelawang barong ini tidak saja untuk menyemarakkan perayaan Hari Raya Galungan namun juga sebagai media pendidikan dan pengenalan seni tabuh (gamelan), tari bahkan manajemen seni.
Hal ini menjadi sebuah tindakan pelestarian seni dan budaya dengan mengkaitkan kepada kegiatan-kegiatan spiritual keagamaan Hindu di Bali.
Ngelawang Barong di Ubud berlangsung dari Galungan hingga menjelang hari Pegatwakan yang merupakan akhir dari rangkaian Hari Raya Galungan. Jenis barong yang ditarikan oleh sekehe barong di Ubud sangat beragam yaitu dari Barong Bangkal (babi), Barong Macan (harimau), Barong Ket/Ketet dan Barong Landung.
Gamelan yang digunakan mulai dari Gamelan Bebatelan, Gong Suling hingga Baleganjur. Penyajiannya dapat disaksikan diseluruh pelosok Ubud dari jalan raya sampai ke pelosok-pelosok gang kecil. Kadang kala dalam satu ruas jalan dapat ditemukan dua sampai tiga sekehe barong dalam waktu yang sama. Hal ini menambah semarak Hari Raya Galungan di Ubud dan juga menjadi daya tarik bagi wisatawan mancanegara yang kebetulan sedang berlibur di Ubud.
Namun semenjak virus Covid-19 merebak dan juga melanda Ubud khususnya aktivitas ngelawang Barong sempat terhenti. Hal ini dikarenakan oleh peraturan protokol kesehatan untuk membatasi mobilitas manusia untuk menekan penyebaran virus Covid-19. Hal inilah yang menyebabkan ngelawang barong berhenti bergeliat dalam menyemarakkan Galungan, juga terhenti sebagai wadah pencetak potensi-potensi seni tabuh dan tari.
Sudah dua kali perayaan Galungan dilalui tanpa adanya ngelawang barong, terdapat kekhawatiran akan hilangnya tradisi ini akibat deraan pandemi yang tidak kunjung menampakkan waktu selesainya.
Mudah-mudahan Galungan kali ini ngelawang barong sedikit demi sedikit mulai dilakukan lagi seiring dengan penurunan level PPKM yang diberlakukan oleh pemerintah. Hal ini perlu dibangkitkan dengan menyiasati kondisi pandemi ini, agar Ngelawang Barong di Ubud yang sarat akan makna, gagasan dan dampak terhadap kehidupan agama dan seni dapat terus dilestarikan. [T]