Sastrawan Goenawan Mohamad menggelar pameran tunggal lukisan di Museum OHD di kota Magelang, Jawa Tengah, di museum pribadi kolektor lukisan kenamaan Indonesia yaitu dr. Oei Hong Djien. Pameran ini berlangsung dari tanggal tanggal 24 Oktober 2021 sampai tanggal 28 Februari 2022.
Pameran itu mengambil tema Potret yang dikuratori oleh Wahyudin. Pameran menampilkan sebanyak 215 lukisan di atas kanvas, maupun kertas, dengan berbagai ukuran dengan bahan cat minyak dan cat akrilik, 1 video rekaman pertunjukan, 1 video wawancara.
Ada juga buah satu karya seni instalasi yang berjudul “Kematian Subali” dan 8 buah objek art mirip dengan wayang golek. Karya ini yang pernah dipakai dalam pertunjukan karya Onie dalam pertunjukan Den Kisot di Galeri Salihara pada tanggal 14 Juli 2019. Naskahnya ditulis oleh Goenawan Mohamad. Semua karya yang dipamerkan dikerjakan dari tahun 2018 hingga 2021.
Pembukaan Pameran dihadiri Wali Kota Magelang Muchammad Nur Aziz, tokoh tokoh penting sastrawan,budayawan, seniman, kurator dan dosen seni rupa ISI Yogyakarta seperti Romo Mudji Sutrisno, Romo Sindhunata, Mahdi Abdulah, Sutanto Mendut, Joko Pekik, Dr. Suwarno Wisetrotomo.
Tentang 80 Tahun dan Lain-lain
Pameran ini diselanggarakan sebagai perayaan hari ulang tahun Goenawan Mohamad yang ke-80. Bagi Oei Hong Djien dalam pengantar katalognya menulis, pencapaian umur 80 tahun adalah manusia yang diberkati, maka harus dirayakan bukan seperti pelari marathon yang berhasil mencapai garis finis.
Goenawan Mohamad yang di akrab dipanggil GM sangat luar biasa. Dan masih aktif dalam berkarya. Kita mengenal seniman-seniman yang mencapai puncak di usia tua seperti pelukis terkemuka dari China, Qi Bashi, Claude Monet, yang melukis ratusan Water Lilies yang berukuran raksasa, yang dia buat ketika berusia 80 tahun juga di Indonesia, maestro Widayat merayakan ulang tahunya yang ke 83 dengan pameran tunggal.
Dalam pembukaan pameran tersebut Oei Hong Djien nampak bergembira dan semangat menyambut pameran tunggal Goenawan Mohamad. Di pembukaan acara pameran tersebut, Oei Hong Djien memberikan hadiah kado kejutan ulang tahun dengan memainkan musik biola alunan lagu “Salut d’Amour”. Lagu salam cinta yang digubah oleh Edward Elgar pada tahun 1888. Lagu cinta ungkapan rasa sayang kepada teman.
Banyak tamu undangan yang menghadiri pameran tersebut, terkesima, dengan alunan nada biola yang mendayu-dayu yang dimainkanya, karena yang seperti banyak orang ketahui seniman dan pecinta seni Oei Hong Djien hanyalah seorang kolektor seni yang dikagumi banyak seniman, dan belum pernah menyaksikan beliau memainkan alat musik.
Dalam pidato pembukaan pameran itu, Oei Hong Djien menyatakan cinta pertamanya adalah biola, yang ditinggalkan sudah 60 tahun, setelah jatuh lenganya terkilir, dengan momen ini, seperti memberikan energy baru kedalam dirinya.
Di dalam pembukaan pameran tersebut juga diadakan launching buku “Hong Djien, Delapan Puluh Nan Ampuh”, yang ditulis oleh Wahyudin. Buku itu berangkat dari peristiwa pameran dari perayaan ulang tahun 80 tahun Oei Hong Djien pada tahun 2019 di Yogja dan Magelang. Pameran itu melibatkan 16 ruang pameran, yang 15 ruang pameran di Yogjakarta, 1 di Magelang di museum OHD yang melibatkan 400 seniman. Dan buku itu resmi diluncurkan pertama secara seremonial oleh Goenawan Mohamad.
Kurator Pameran Tunggal Goenawan Mohamad, Wahyudin, mengatakan selama lima tahun belakangan ini Goenawan Mohamad telah melakukan pameran sebanyak 10 kali di 11 ruang pameran.
Pameran ini jadi unik, perupanya Goenawan Mohamad berumur 80 tahun di museum seorang kolektor yang berusia 82 tahun dan dibuka oleh seniman Djoko Pekik yang umurnya 84 tahun, dan kuratornya Wahyudin umurnya separuh dari seniman yang berpameran.
Wahyudin juga mengatakan pameran ini seperti dejavu yang mana sebelumnya lima tahun yang lalu pameran Goenawan Mohamad di laksanakan di plataran seniman Djoko Pekik, dan di buka oleh Oei Hong Djien, dan akhirnya bertemu lagi di pameran yang sama di Museum Oei Hong Djien.
Wahyudin sebagai kurator pameran juga mengungkapkan kekagumannya terhadap orang-orang berusia 80, karena orang itu adalah orang-orang yang ampuh, apa lagi yang masih produktif berkarya, berseni rupa, menulis puisi, menulis esai, masih membuat pameran, dan suka hal-hal yang berbau tantangan, aktif dalam kegiatan kesenian dan mengapresiasi karya seni secara serius, seperti Goenawan Mohamad, Oei Hong Djien dan Joko Pekik.
Bagaimana kita yang usianya jauh lebih muda dengan mereka yang merasa mapan tidak ada tantangan yang sangat inspiratif. Kita yang separuh umurnya belum tentu produktif, kita belum apa apa, kita harus lebih semangat.
Pameran GM kali ini adalah pameran yang ke-10 kali. Goenawan Mohamad telah menciptakan sekitar 500 karya yang di atas kertas, 100-an lukisan berbahan cat akrilik dan cat minyak yang dibuatnya di atas kanvas maupun kertas. Dan 99 persen dari 600 karyanya berupa potret, “Potret ini adalah karya penting dari Goenawan Mohamad 5 tahun terakhir, ujar Wahyudin.
Citra Kelabu
Dr. Suwarno Wisetrotomo, dosen di Fakultas Seni Rupa dan Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta dan Kurator Seni Rupa, berkomentar GM adalah mata air yang mengalirkan nilai-nilai kedalaman, kemanusiaan, kebangsaan, dengan kritisisme yang dibalut dengan bahasa, kalimat-kalimat yang kuat dan lembut, sesekali menyihir. Secara mengejutkan nilai-nilai itu dihadirkan melalui gambar-gambar dan lukisan.
Dalam pandangan Dr. Suwarno Wisetrotomo, lukisan-lukisan yang dibingkai dengan tema “Potret” oleh Wahyudin selaku kurator, di OHD Museum, memang terasa lebih personal. Jika kehendak menghadirkan potret – dalam hal ini ‘potret’ dalam pengertian representasi dari wajah seseorang – adalah untuk menangkap karakter yang dikenali secara intim, maka hampir semua wajah itu (sebutlah Slamet Rahardjo, Djokopekik, Ayu Utami, Melati Suryodarmo, Slamet Gundono, Avianti Armand, dan lainnya) dihadirkan GM dengan citra kelabu.
Apakah memang kemuraman itulah yang ditangkap GM? Jika demikian, maka “karakter” yang dimaksud GM adalah tangkapannya (tentu saja) secara berjarak, bukan “karakter sebenarnya” yang dimiliki sang pemilik wajah. Mungkin pula, kesan ini tertangkap akibat dari pigmen warna yang digunakan GM yang hampir sama untuk seluruh karya.
Namun demikian, kata Dr. Suwarno Wisetrotomo, ia merasakan dengan takjub kekuatan garis, sapuan, dan bentuk yang dicapai GM. Artistik dan kena. Gambar-gambar GM terasa lebih “hidup” karena lebih eksploratif terhadap garis, bentuk, dan sesekali pigmen lain (warna) yang digunakan sebagai aksentuasi.
“Selebihnya saya merasakan pula, karya-karya seni rupa ini menunjukkan bahwa GM memang seorang yang sudah melampaui dirinya sendiri. Tak ada lagi pamrih apa-apa, kecuali ‘bersenang-senang’ dengan banyak cara,” kata Dr. Suwarno Wisetrotomo..
Hikayat Sri Rama
Dalam karya seni tersebut ada juga tokoh pewayangan yang dijadikan karya seni instalasi salah satunya yang berjudul “Kematian Subali”. karya ini juga mencuri perhatian. Ada apa sebenarrnya? Kenapa tokoh ini dibuat dua versi, satu berbentuk seni instalasi, yang satunya berbentuk lukisan yang judulnya Subali.
Juga lukisan Sugriwa, juga lukisan Rsi (mungkin yang dimaksud disini Rsi Gotama) dan lukisan Cupu (mungkin terinsfirasi dari kisah Cupu Manik Astagina ) dan lukisan yang berjudul prajurit Kiskenda, semua tokoh dan hal tersebut berkaitan dengan kisah Subali dan Sugriwa di kerajaan Kiskenda.
Di lukisan Sugriwa, Goenawan Mohamad menempelkan puisi Sugriwa yang dibuatnya pada tahun 2011dan menjadi jukstaposisi yang berbunyi :
‘Aku telah berkhianat,’ kata kera merah itu.
‘Apa yang terjadi?’ tanya sang petapa.
‘Aku tak mengerti: telah datang dua orang asing dari ayodya
Yang membunuh saudara kandungku, dan aku memeluk mereka
sebelum aku memeluk tubuh saudaraku, dan mereka berkata
Dengan suara yang tentram, “ada keadilan.
‘Aku takut,’ sambung kera merah itu pula.
‘kita tak perlu takut kepada yang ada dan bisa jelas.’
Empat malam sebelumnya, dari sebelah tenggara hutan
Petapa itu mendengar jerit: ‘Namaku Subali!’
Ia pun berjalan mendekat. Bulan hanya sebelah.
Dalam terang yang terbatas, ditemukanya genangan darah
dan sehelai daun tal yang tergeletak. Seekor burung pungguk
memandangi dari gelap-merasa lebih mengerti tentang malam dan jejak yang terhapus.
Keadilan dan kematian begitu sederhana di semak kosong ini.
Juga sesal dan suara sedih. ‘Aku memang angin
Ia tak ada,’ kata kera merah itu pula
‘tapi aku tak ingin membunuh Subali.’
‘Kau tak membunuhnya, Sugriwa.
Ada perang dan keinginan yang selalu bukan milik kita.
Goenawan Mohamad, Hikayat Sri Rama
(Kompas, 18 Desember 2011
Ide puisi itu muncul ketika Goenawan Mohamad menghayati lebih dalam mengenai cerita Ramayana tentang perkelahian saudara kandung antara Subali dan Sugriwa, akhirnya dalam peperangan tersebut Subali dibunuh oleh Sri Rama dengan busur panahnya.
Puisi yang ditulis oleh Goenawan Mohamad itu ingin menunjukkan simpati dia kepada Subali dalam cerita Ramayana sebagai tokoh penting tapi dikorbankan, atas kesewenang-wenangan Sri Rama menggunakan Sugriwa, mengorbankan Subali saudara kandung Sugriwa. Demi kepentingan kekuasaan pribadinya. Seolah olah bukan dia yang membunuh padahal aktor intelektualnya adalah Sri Rama yang luput dari pembacaan kritis.
Karya seni instalasi dan Subali yang dibuatnya bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada orang yang dianggap sia sia. kalau kita tarik di masa modern, itu adalah jendela kebudayaan bagi kita untuk menghayati satu sosok dan satu pristiwa.
Peristiwa Subali ini dikontekstualisasikan ke jaman politikus modern, menjadi jendela bagi kita melihat peristiwa, membuka tafsir dan ruang kontekstual.
Selain Ramayana ada karya seni GM, yang terinspirasi oleh kisah Mahabarata dalam lukisan yang judulnya “ Bima dan Tengkorak, terinspirasi oleh kisah kekerasan yang terjadi di dalam cerita Mahabarata, ketika Drupadi istri Pandawa di telanjangi di depan umum, dan Pandawa tidak bisa berkutik karena kekalahanya bermain dadu melawan Korawa, dan di sana Drupadi bersumpah akan mencuci rambutnya dengan darah Duryodana ( keluarga korawa ) sumpahnya tersebut seperti mengkritik kelemahan kelamhan pandawa, yang tidak bisa berbuat apa apa waktu kejadian tersebut. Nampak dalam lukisan tersebut Bima di buat menunduk seperti malu terhadap Drupadi tidak menggunakan jubah layaknya kesatria, hanya menggunakan celan kolor berwarna merah.
Melukis potret, bagi GM merasa ditantang. Ternyata melukis potret itu, memberi penghormatan kepada wajah, ini berhubungan dengan jam terbang, bukan sekedar tantangan melukis potret, jadi semangat itu ditopang oleh kebijaksanaan tapi dengan tidak ada jam tertentu tidak didapatkan.
GM bilang mengapa beri hormat wajah, wajah itu tidak pernah menjadi sesuatu menjadi total dan selesai, memanggil dia untuk terus menerus melukis potret, kalau tidak di jam terbang tertentu, enigmanya tidak akan selsesai. Yang tak terduga-duga ini menyangkut kebijaksanaan atau hikmat atau filosofi,
Bahkan lukisan yang sempat dipamerkan di Bienale Jatim yang judulnya Moon Over Bourbon Street yang dibuat di tahun 2018 diubah lagi di tahun 2021 dan dipamerkan lagi pada pameran sekarang ini di Museum OHD, dari cara dia melukis yang diubah lagi sudah kelihatan rasa ketidak puasan, dan selalu mencari tantangan baru, dan tentu hasilnya lebih menarik dengan menambahkan warna Burnt Sienna di bagian topi objek lukisan tersebut dan jubah objek tikus itu dibuat lebih gelap dan bulan dibuat lebih terang.
Ada juga lukisanya melukiskan tokoh politik di Birma Myanmar, Aung San Suu Kyi, dilukisannya dengan menggunakan masker, GM ingin mengabadikan peristiwa politik penting yang melanda Birma di masa pandemi ini.
Selain melukiskan tokoh penting di Birma, GM juga melukis rakyat biasa dengan lukisan yang judulnya Seri Birma: Rakyat Desa, dengan menggambarkan sosok perempuan paruh baya yang kelihatan payudaranya dengan pakaian seadanya, dan di depannya ada gambar mangkok dan nasi dan ada garis kuning yang dibuat buat segi empat. Ada juga menggambarkan kaum borjuis Birma dengan lukisan yang judulnya Seri Birma: Saudagar dengan melukiskan manusia seperti wayang, yang di depanya ada piring dengan telur.
Lukisan itu isa dilihat seperti pelukisan puisi dengan bahasa gambar, yang mana rakyat jelata hanya bisa makan nasi saja, sedangkan kaum kaya sudah bisa makan lauk pauk contohnya penggambaran telur dan piring.
Tentu lukisan tersebut terlahir dengan peristiwa politik yang penting dan menjadi pemberitaan di seluruh dunia di masa pandemi ini. Goenawan Mohamad-lah seniman Indonesia pertama kali yang mengangkat Birma, dalam karya seninya. Yang sebelumnya belum ada seniman Indonesia yang mengangkat karya seni mengenai histori dan legenda Birma.
Di lukisan King Jim adalah lukisan sahabatnya tokoh seniman teater Jim Adhi Limas, adalah seniman Indonesia, yang setelah 50 tahun baru bisa pulang ke Indonesia. semenjak pemerintahan Presiden Soekarno. Selama ini beliau menetap di perancis menjadi aktor teater dan aktor film, di usianya yang sekarang 83 tahun.
Judul lukisan King Jim sendiri diambil dari kisah King Lear William Shakespeare, yang mana Jim Adhi Limas pernah memerankan menjadi sosok King Lear William Shakespeare, akhirnya dalam lukisan tersebut Jim Adhi Limas di lukis lengkap dengan jubah raja dan pakai mahkota seperti di dalam kisah King Lear William Shakespeare. dan menjadi judul lukisn King Jim.
Estetika GM memancing kita memasuki pengetahuan di luar gambar, mengajak kita menelusiri perkara estetik, dan mencari pengetahuan baru dari judul lukisan yang direpresentasikan Goenawan Mohamad.
Karena bukan ilustrasi, terkurung pada kisah Ramayana, maupun mahabarata semata, begitu juga puisi yang ditampilkan, dengan ruang baca dan ruang tapsir terbuka, mampu mengjak kita ke peristiwa aktual, tentu kepada pembaca awam.
Begitu juga generasi milenial yang masih belum akrab dengan tokoh-tokoh di atas seperti Sugriwa dan Subali. Dan mendapatkan perspektif baru.
Bagi Goenawan Mohamad paling prinsip dalam spirit berkaryanya dalam pameran tersebut adalah berbagi kesenangan atau kegembiraan. Yang penting bagi dia prosesnya asik dan hasilnya menyenangkan. Didalam berpameran pun penonton bisa menemukan yang hal hal yang asyik dan menyenangkan. [T]