Pura Agung Besakih akan direnovasi dengan anggaran yang sangat besar, hampir mencapai Rp 1 triliun. Anggaran ini disumbangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dan Pemerintah Provinsi Bali.
Renovasi dilakukan secara menyeluruh, meliputi suci mandala Soring Ambal-Ambal hingga Luhuring Ambal-Ambal (memperbaiki pelinggih dan sarana dan prasarana pura yang dinilai tidak memadai lagi). Renovasi fisik akan dilaksanakan pada tahun 2021 hingga 2022. Pelaksanaannya sudah ditandai dengan peletakan batu pertama oleh Gubernur Bali Wayan Koster dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, Rabu (18/8).
Dana renovasi bersumber dari Kementerian PUPR sebesar Rp 500 miliar dan APBD Bali sebesar Rp 400 miliar.
Renovasi Pura Agung Besakih di tengah masa gering agung Covid-19, menarik disimak dari perspektif hubungannya pura terbesar di Bali dengan kekuasaan. Bagaimana sejarah hubungan Pura Agung Besakih dengan kerajaan di Bali dan pemerintah kolonial serta dan bagaimana para penguasa memposisikan Pura Besakih dalam kekuasannya.
Mitos Gunung Agung
Pura Agung Besakih berdiri agung di punggung Gunung Agung. Mitos tentang asal-usul gunung, puncak gunung diyakini sebagai Kawasan suci dan bersemayamnya para dewata para penjaga kehidupan, bumi, dan roh para leluhur yang menganugerahkan kesejahteraan bagi umat manusia. Atau mengambilnya kembali dengan kemurkaannya membawa kematian dan kehancuran bagi dunia.
Dalam mitologi, Gunung Agung merupakan pecahan dari Gunung Mahameru, di mana dalam metafora genekologis, dewa Gunung Agung merupakan putra dari dewa Gunung Mahameru, yakni Dewa Pasupati.
Mitos yang terkenal tentang Gunung Agung sebagaimana ditulis dalam Babad pasek pada awal ke-13 menyebutkan pada masa lampau Pulau Bali dan Lombok dalam kondisi tidak stabil laksana perahu di atas permukaan laut. Terombang-ambing. Pada saat itu, di Bali hanya terdapat Gunung Lempuyang (timur), Andakasa (selatan), Watukaru (barat), Mangu atau Beratan (utara). Sangat mudah bagi Hyang Harimbhawana untuk mengguncang Pulau Bali.
Bhatara Pasupati perihatin dengan kondisi Bali. Ia mengijinkan kepada para dewa untuk mengambil bagian puncak Gunung Mahameru kemudian membawanya ke Bali dan Lombok. Si Badawangnala (penyu dewata) menopang dasar potongan, Sang Anantaboga dan Naga Basuki (naga dewata) menjadi tali pengikat yang memegang gunung sementara Naga Tatsaka membawanya melalui udara. Satu belahan gunung Mahameru di tempatkan di Pulau bali pada hari Wrespati Kliwon Wuku Merakih, yakni hari pertama bulan kesepuluh (sasih kedasa) tahun Saka 11.
Gunung Agung dalam naskah lontar dan prasasti lama juga menyebutnya dengan nama Bukit Tohlangkir atau Tulangkir hingga kini. Dewa penguasa gunung yang bersemayam disebut Hyang Tolangkir atau Mahadewa.
Kemarahan Dewata
Beberapa tahun berikutnya, tahun Saka 27, Bali diserang musibah bertubi-tubi. Angin rebut dan petir tak henti, hingga akhirnya terjadi gempa bumi diiringi suara gemuruh berupa ledakan. Setelah bencana berbulan-bulan, Gunung Agung meletus.
Gunung Agung telah berulang kali meletus sepanjang milenium. Letusan terjadi pada tahun 1543, 1615-1616, 1665, 1683-1684, dan 1710-1711. Pada tahun 1808 meletus lagi. Setelah lama tertidur Gunung Agung meletus kembali tahun 1963 secara dahsyat. Dan terakhir meletus kembali pada 13 Agustus 2017.
Ledakan Gunung Agung mahadahsyat yang paling bersejarah adalah ketika meletus hebat pada tanggal 17 Maret 1963, bertepatan dengan karya Ekadasa Rudra, upacara terbesar dalam sejarah Hindu Bali, sedang berlangsung di Pura Besakih, untuk pertama kali selama beberapa abad. Bagi orang Bali, kejadian ini bukan suatu kebetulan, diyakini kepercayaan bahwa letusan tersebut menandai kemarahan dewa di Gunung Agung.
Ledakan ini menyebabkan kerusakan berat Pura Besakih serta ditutupi oleh abu. Namun, pura ini tidak tersentuh oleh aliran lahar. Pura Besakih terlindungi dari terjangan batu dan aliran lahar walaupun jaraknya hanya 7,5 kilometer dari kawah letusan.
Perbaikan Pura Besakih
Berdasarkan catatan David J Stuart dalam buku Pura Besakih, Pura, Agama dan Masyarakat Bali (2010), pura terbesar di Bali pernah mengalami kerusakan dan perbaikan berulang kali.
Pura Agung Besakih mengalami kerusakan berulang akibat bencana gunung meletus, gempa bumi, dan terabaikan dalam kurun waktu sekian lama. Kerusakan pura paling parah akibat gempa bumi dahsyat pada hari Minggu-Umanis wuku Ukir pada hari ketigabelas tepatnya 21 Januari 1917.
Perbaikan Pura Besakih mendapatkan sokongan dana dari para raja yang berkuasa, seperti Raja Buleleng, Badung, Karangasem, Klungkung, Gianyar, dan Tabanan. Mendapatkan pendanaan dari Pemerintah Kolonial, urunan dari pihak swasta, dan donasi dari rakyat Bali. Di bawah kendali Pemerintah Kolonial, perbaikan dilakukan di bawah kendali arsitek J.A.P Moojen dari Batavia, dibantu oleh Gusti Made Gede dari Badung sebagai seorang ahli bangunan Bali dan Raden Mas Soetatmo, seorang Jawa menempati posisi sebagai pengawas.
Usaha perbaikan oleh Pemerintah Hindia-Belanda dengan memberikan bantuan jumlah uang cukup besar dan terlibat secara langsung dalam pengerjaan. Dari catatan ketika itu, Pemerintah Kolonial menyumbangkan f 25.000, Ratu Wilhelmina secara pribadi menyumbang f 1.000, biaya dari urunan masyarakat Bali sekitar f 14.000 dari biaya total yang ditaksir mencapai minimal sebesar f 100.000.
Perbaikan itu tak berjalan mulus. Perbaikan dan keterlibatan pemerintah kolonial memunculkan perdebatan sengit.
Perbaikan dan pemeliharaan Pura Besakih berlangsung bertahun-tahun. Untuk tahap selanjutnya dilaksanakan lembaga resmi, yang disebut Paroeman Kerta Negara pada tahun 1931. Lembaga ini mengurusi masalah ritual dan perbaikan dan perawatan fisik bangunan pura. Lembaga ini mengatur proyek pembangunan jalan dari Pringalot sampai ke pura, yang mungkin bisa dilalui mobil, dengan mengajukan proposal bantuan kepada Pemerintah Belanda pada tahun 1932. Serta mengurus penyelenggaraan upacara Panca Walikrama tahun 1933.
Pura Besakih dan Kekuasaan
Gunung diyakini sebagai sebuah lokus dewata sejak jaman prasejarah. Gunung Agung sebagai tempat bermayamnya para dewata dan leluhur. Pura Besakih juga memiliki hubungan dengan penguasa. Pura Besakih berada di lokasi Gunung Agung, sangat berhubungan pentingnya dengan kultur Penguasa Gunung.
Kepercayaan terhadap hubungan antara penguasa (negara) dan Dewa Gunung dan dukungan yang diberikan oleh penguasa bagi pemeliharaan Pura Besakih memunculkan pertanyaan mengenai apakah Pura Besakih merupakan salah satu sumber kekuasaan telah terjadi sejak Dinasti Gelgel.
Hubungan Pura Besakih, Gunung Agung, dan Penguasa Gelgel tercatat dalam beberapa teks seperti Babad Dalem. Kebanyakan mengacu pada hubungan antara penguasa Gelgel, yaitu Ida Dalem dengan Penguasa Gunung (Hyang Tolangkir atau Mahadewa.
Seirama perubahan keadaan negara di Bali, hubungan antara pura dan negara (penguasa) mengalami perubahan. Dari sebuah kerajaan pada zaman sebelum masuknya Majapahit ke Bali, menjadi wilayah pemerintahan istana tradisional Gelgel dan Klungkung, bersatu ke dalam pemerintahan kolonial Belanda, yaitu Hindia Belanda, kemudian bergabung sebagai bagian NKRI.
Penguasa memiliki tanggungjawab memelihara Pura Besakih serta menyokong pendanaan untuk melaksanakan upakaranya. Pemerliharaan dan pendanaan upacara memiliki hubungan erat dengan penguasa (negara).
Dukungan dinasti terhadap Pura Besakih, walaupun kedengarannya didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan politik dan keagamaan, bukan merupakan dasar dari kekuasaannya, hubungan mistis antara Dewa Gunung dan penguasa menuntut kehadiran penguasa pada upacara-upacara agama utama di Besakih, terutama Bhatara Turun Kabeh, dan dukungan material terhadap penyelengaraannya.
Hal ini merupakan bagian dari dharma seorang penguasa untuk pemeliharaan dan kemakmuran dunia. Tampaknya hal ini akan menambah rasa hormat dan pengormatan masyarakat kepadanya, dan dari sudut pandang ini, maka Pura Besakih telah berkontribusi terhadap peningkatan otoritas sang penguasa. Dengan kata lain, kurangnya dukungan yang memadai untuk Pura Besakih akan mengurangi otoritas sang penguasa. Bagaimana pun juga Pura Besakih menjadi kepentingan yang utama bagi legitimasi seorang penguasa.
Hal itulah yang terjadi pada periode Gelgel berkuasa. Di saat Bali berada di bawah hegemoni kekuasaan pemerintahan kerajaan tunggal yang sangat berkuasa, hubungan antara istana dan pura dibungkus rapi dalam satu ungkapan bahwa Besakih adalah (pang)ulun ing Gelgel, ‘kepala’ atau ‘bagian teratas/bagian tertinggi’ dari Gelgel. Hal tersebut menjadi hubungan hierarkis di mana Besakih sebagai kepala, berada pada posisi paling atas. Hal ini mengungkapkan struktur khusus di mana lokus kekuatan suci dan lokus dari kekuatan politik. Gelgel menjadi stana kekuatan politis, sedangkan Besakih adalah stana kekuatan suci.
Renovasi di Masa Gering Agung
Sejarah mencatat bahwa Pura Besakih memiliki hubungan erat dengan kekuasaan, dari masa Majapahit, Gelgel, Kolonial Belanda, Pemerintah Provinsi Bali, hingga NKRI. Tampak dari Pura Besakih mendapat sokongan dana untuk pemeliharaan dan membiayai upakara dari penguasa.
Berdasarkan catatan sejarah itu, tentu sah untuk berharap pembangunan penataan Pura Besakih saat ini dilaksanakan dengan tulus dan ikhlas. Tidak ada motivasi untuk mencari orotitas kekuasaan, menambah rasa hormat rakyat kepada penguasa, atau mencari keuntungan finansial untuk kepentingan perhelatan politik tahun 2024.
Biaya besar hampir mencapai Rp 1 trilun, jika dihubungkan dengan skala prioritas berdasarkan kontekstual Bali saat ini sedang menghadapi masa gering agung Covid-19, tampaknya dana yang melimpah itu akan lebih bermanfaat digunakan untuk memulihkan kesehatan dan menyejahtrekan rakyat Bali. Penguasa lebih fokus pada pembangunan kesehatan dan kesejahteraan ekonomi manusia Bali daripada melakukan pembangunan fisik, yang dibungkus rapi dalam satu narasi penataan Pura Agung Besakih untuk mewujudkan visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali menuju Bali era baru secara sakala dan niskala.
Rakyat Bali yang sehat dan sejahtera akan bisa melewati masa gering agung Covid-19 dengan selamat, bisa tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan Pura Agung Besakih. Senantiasa memikul tanggungjawab memelihara dan melaksanakan upakara di Pura Besakih. Berduyun-duyun tangkil memohon kesejahteraan dan kemakmuran serta terhindar dari kemurkaan dewata.
*disarikan dari berbagai sumber