Sastra Panji telah mendapatkan pengakuan UNESCO sebagai warisan Dunia (Memory of the World/MoW) pada tanggal 13 Maret 2017. Pengakuan lembaga yang bergerak dalam dunia pendidikan Internasional terhadap sastra Panji tersebut dapat dipastikan berkaitan erat dengan keaslian dan persebaran sastra Panji ke berbagai belahan dunia. Seperti yang dinyatakan Vickers (2009: vii) sastra Panji merupakan unsur budaya Asia Tenggara (Indonesia) asli yang menyebar sampai wilayah Muang Thai dengan sebutan Inau. Di wilayah Muang Tai sendiri cerita Inau (Panji) secara umum masih dikenal, tetapi yang ironis pengetahuan tentang sastra Panji di pulau asalnya yaitu Jawa sangat terbatas (Vickers, 2009: viii).
Cerita Panji yang tumbuh subur di Jawa dalam perkembangannya sampai ke Bali seiring kemenangan ekspansi Majapahit. Meskipun belum dapat dipastikan figur yang membawa cerita Panji ke Bali, tetapi terdapat dugaan kuat bahwa cerita Panji berkembang di Bali pada masa kerajaan Gelgel (Bagus, 1983:14). Masa tersebut juga seringkali disebut sebagai puncak perkembangan kesusastraan Bali (Suastika, 1997: 2) karena terlahir berbagai jenis karya sastra yang dimotori oleh Dang Hyang Nirartha dan Ki Gusti Dauh Bale Agung. Pada masa tersebutlah karya-karya sastra Panji diduga berkembang di Bali.
Melintasi berbagai dinamika zaman yang panjang, eksistensi sastra Panji di Bali tampaknya semakin meredup. Bagus (1996: 2) dengan nada yang pesimistis menyatakan bahwa generasi muda Bali sudah tidak lagi mengetahui tokoh Panji, apalagi unsur-unsur yang melihat berupa perilaku yang patut dilakukan (dan tidak dapat dilakukan), saat ini dapat dikatakan tidak ada lagi. Lebih lanjut dikatakannya bahwa tokoh pribumi yang menjadi panutan sebagian wilayah Nusantara telah terdesak, apalagi pada millennium kedua ini sudah punah dan habis riwayatnya (1996: 2). Bertitik tolak dari pandangan Bagus (1996: 2) tersebutlah penelitian mengenai kearifan lokal Bali dalam merawat vitalitas hidup sastra Panji menjadi penting dilakukan.
Kearifan lokal diartikan sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan asli suatu masyarakat yang berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat (Sibarani: 2012: 114). Kearifan lokal Bali dalam konteks ini dimaknai sebagai pengetahuan asli masyarakat Bali untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat terutama dalam menjaga vitalitas peradaban Panji di Bali, meminjam istilah Vickers (2009: viii). Kearifan lokal Bali agaknya mempunyai kebijaksanaan tersendiri untuk merawat spirit sastra Panji dengan mentransformasikannya ke dunia seni. Seni yang dimaksud dalam konteks ini adalah seni sastra, seni rupa, dan seni pertunjukan. Melalui media seni tersebutlah sastra Panji hidup bersama perubahan sebagai fitrah hidup yang paling kekal.
Pengertian Cerita Panji
Pengertian mengenai cerita Panji yang disebut oleh Vickers sebagai Peradaban Pesisir tidaklah seragam. Para penekun cerita Panji memberikan pandangan yang tidak sama tentang pengertian cerita Panji. C.C. Berg (1954), dan S.O. Robson (1971) adalah dua orang sarjana asing yang telah mengemukakan pendapat mereka yang berbeda. Pengertian yang berbeda disebabkan oleh sudut pandang yang berbeda. C.C. Berg dan Poerbatjaraka terutama melihat dari pendekatan sejarah, sedangkan S.O. Robson melihat pengertian cerita Panji dari sudut pandang yang lebih luas, baik dari sudut sejarah, karya sastra maupun seni drama (Sancaya, 2015: 1).
Peneliti yang banyak meneliti aspek historis di Indonesia yaitu Berg mengatakan cerita Panji didasarkan pada gambaran tentang kisah yang berlatar belakang kerajaan Majapahit dengan tokoh utamanya Raja Hayam Wuruk. Sementara itu, dalam amatan Poerbatjaraka cerita Panji justru berlatar belakang sejarah Kediri di mana Raja Kameswara merupakan tokoh sentralnya. Di sisi lain, menurut S.O. Robson, yang dimaksud cerita Panji adalah cerita yang bertema Panji. Robson tidak sependapat dengan pengertian cerita Panji sebagai suatu siklus, karena setiap cerita Panji adalah berdiri sendiri, meskipun sama-sama mengandung tema Panji.
Senanda dengan pandangan Berg di atas, Zoetmulder berpendapat bahwa antara jenis sastra kidung, kisah Panji dan bahasa Jawa Pertengahan (middle Javanese) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Ciri umum sastra kidung menurut Zoetmulder adalah bahannya diambil dari tradisi historis mengenai kerajaan Majapahit (1985: 512). Pandangan Zoetmulder tersebut sesuai dengan pendapat Berg. Karya-karya sastra kidung seperti Kidung Harsawijaya, Kidung Rangga Lawe (di Bali kidung ini juga disebut dengan Kidung Lawe atau Kidung Panji Wijayakrama), Kidung Sorandaka, Kidung Sunda, dan kidung tentang cerita-cerita Panji seperti Wangbang Wideya, Malat, semuanya terkait dengan tradisi historis Majapahit. Ras (2014:223) mengatakan bahwa tema dasar semua cerita Panji adalah petualangan dan penderitaan yang harus dilalui oleh Raden Panji, putra Koripan sebelum ia kawin dengan saudara sepupunya, Putri Candra Kirana dari Daha. Tema ini dalam semua cerita Panji adalah sama, tapi dalam setiap cerita selalu digarap dengan cara berbeda.
Dalam teks-teks kidung bertema Panji yang ditulis dengan menggunakan bahasa Jawa Tengahan dan juga matra tengahan tersebut tokoh Panji senantiasa dicitrakan sebagai pahlawan (hero), setidak-tidaknya menurut pandangan para peneliti “Panji, Citra Pahlawan Nusantara” (1982). Akan tetapi dalam teks-teks Panji yang tidak disusun dengan bahasa Jawa Tengahan dan bukan dalam bentuk kidung, citra Panji justru tidak begitu menonjol (Darma Putra, 1996: 17). Terhadap fenomena ini Darma Putra berasumsi bahwa: semakin tua cerita Panji itu ditulis, semakin positif sosok Panji dilukiskan, dan semakin muda cerita Panji ditulis sosok Panji dideskripsikan kurang arif bijaksana. Penyebabnya kemungkinan adalah bahwa dalam penyaduran cerita-cerita Panji berikutnya cenderung terjadi pergeseran persepsi sesuai dengan situasi yang ada (idem). Atau bisa juga seperti yang disebutkan oleh Adrian Vickers dalam penelitiannya tentang Kidung Malat bahwa para penulis berikutnya kemungkinan tidak pernah membaca teks sumbernya, yaitu Kidung Malat (Vickers, 2005: 75), atau teks-teks Panji lainnya.
Perkembangan Sastra Panji di Bali
Sekilas telah dipaparkan dalam pendahuluan bahwa cerita Panji kemungkinan sudah masuk ke Bali pada abad XVI, yaitu pada zaman kerajaan Gelgel. Pada zaman Gelgel, di bawah pemerintahan Raja Waturenggong dunia kesusastraan berkembang dengan pesat di Bali (Berg, 1985: 144).
Keberadaan cerita Panji dalam masyarakat dan kebudayaan Bali tersimpan dalam berbagai ranah, baik dalam ranah teks-teks cerita rakyat, ranah sastra kidung dan geguritan (macapat), maupun dalam ranah berbagai bentuk seni pertunjukan tradisional, bahkan dalam bidang seni rupa. Dilihat dari sejarah perkembangan sastra Bali, cerita Panji (khususnya Kidung Malat) di Bali bahkan menjadi salah satu sumber, model dan inspirasi bagi penciptaan karya-karya sastra Bali klasik berikutnya, baik cerita-cerita yang memiliki motif dan tema Panji maupun cerita-cerita yang tidak memiliki kaitan sama sekali dengan cerita Panji.Gejala seperti itu rupanya juga terjadi dalam sastra lain, seperti dalam sastra Jawa klasik maupun sastra Jawa modern (lihat Baribin, 1995; Cokrowinoto dkk., 1990). Mungkin karena itu pengertian cerita Panji didefinisikan sebagai: (1) kisah tentang Panji Inu Kertapati, dan juga sebagai (2) salah sebuah struktur cerita rekaan (Baribin, 1985: 193).
Windhu Sancaya (2015: 3) berpendapat bahwa hingga tahun 1990-an kisah tentang Panji masih populer dalam masyarakat Bali, walaupun dalam kalangan terbatas. Cerita Panji atau kisah tentang Panji ini dikenal dan berkembang luas dalam masyarakat Bali terutama melalui berbagai bentuk seni pertunjukan seperti Gambuh, Arja, Topeng, Drama Gong, Prembon maupun Wayang. Peranan seni pertunjukan ini sangat besar, tidak saja karena ia menjadi media penyebaran cerita Panji, bahkan seni pertunjukan telah melahirkan berbagai versi cerita Panji yang sangat berbeda dengan pakem cerita Panji. Cerita-cerita Panji versi seni pertunjukan inilah yang banyak mempengaruhi penulisan-penulisan karya sastra dengan motif dan tema Panji ini selanjutnya.
Bertitik tolak dari berbagai berbagai fakta mengenai kehidupan sastra Panji dalam seni pertunjukan, Windhu Sancaya (2015: 4) menyatakan bahwa cerita Panji di Bali berkembang melalui beberapa tahapan. Pertama melalui cerita Panji Malat (Kidung Malat), kedua melalui seni pertunjukan, ketiga melalui cerita-cerita rakyat (dongeng), keempat melalui versi cerita Panji dari luar Bali, dan kelima melalui penggabungan dari seni sastra dan seni pertunjukan. Kidung Malat jelas merupakan sumber pertama yang dikenal tentang kisah Panji di Bali, meskipun Poerbatjaraka (1968: 290) mengatakan bahwa Malat merupakan sumber yang paling muda dari sumber-sumber cerita Panji sebagaimana disebutkan dalam bukunya berjudul “Tjerita Pandji dalam Perbandingan” (1968). Dari Kidung Malat ini kemudian lahirlah sejumlah karya sastra dengan motif dan tema Panji, baik dalam sastra tulis ataupun lisan; serta seni pertunjukan yang menggunakan lakon Panji, seperti Gambuh, Arja, Drama Gong dan Wayang.
Meskipun berasal dari teks Kidung Malat, kisah Panji dalam seni pertunjukan telah mengalami penyesuaian-penyesuaian mengikuti struktur dramatik seni pertunjukan. Demikian pula dengan jumlah tokoh yang dihadirkan di dalamnya, juga mengalami penyesuaian dan bahkan kadang berubah nama. Tidak berbeda halnya dengan karya-karya sastra yang menggunakan motif dan tema Panji yang muncul kemudian. Cerita-cerita yang memiliki motif Panji dalam sastra Bali ditandai oleh beberapa hal, di antaranya adalah melalui penyebutan judul secara eksplisit seperti Panji Marga, Panji Malat Rasmi, dan penyebutan nama-nama tokoh secara implisit, misalnya nama Raden Mantri dan Raden Galuh, Mantri Alit, dan sebagainya. Jenis yang kedua ini ditemukan baik dalam teks-teks cerita rakyat maupun dalam teks-teks kidung maupun macapat. Selain itu ada juga sejumlah teks yang tidak terlalu jelas mengindikasikannnya sebagai cerita Panji, namun apabila dibaca isinya jelas-jelas memiliki motif cerita Panji, seperti Bagus Umbara, Megantaka, dan sebagainya.
Di antara cerita-cerita Panji yang terdapat di Bali, cerita Panji Malatlah yang paling panjang. Naskah Malat berupa lontar (±371 lempir), tersimpan di Gedong Kirtya, Singaraja, dengan nomor kode 404 dan 405. Bagi masyarakat Bali, kidung Malat dianggap paling tua di antara cerita-cerita Panji Bali. Selain itu Panji Malat dianggap menjadi sumber cerita Panji lainnya. Cerita Malat itu termasuk golongan sastra kidung yang seringkali dibaca dengan dinyanyikan pada uparaca-upacara adat. Bahasanya adalah bahasa Jawa-Tengahan, tembangnya dinamaikan tembang Madya. Dalam cerita Malat, putera mahkota kerajaan Kahuripan (Wano Keling, Janggala) disebut dengan nama Anusapati, Anusanata, Wasengsmara alias Panji Malat dan Raja putri Kediri bernama Anrangkesari atau Rangkesari alias Ratnadwita atau Ratnajwita.
Malat dapat dijadikan contoh ideal dalam menelusuri jejak-jejak perkembangan sastra Panji di Bali. Benang merah yang menghubungkan antara cerita Panji yang satu dengan cerita Panji yang lain telah pula dirumuskan oleh Robson seperti: a) adanya unsur dua kerajaan di tanah Jawa, yaitu Daha dan Koripan (terdapat variasi nama, namun maksudnya tetap menunjukkan dua kerajaan tersebut); b) Kerajaan Koripan lebih tua dari kerajaan Daha; c) dalam hal ini Pangeran dari Koripan bertunangan dengan putri Daha; d) namun sebelum mereka berdua menikah, terjadi berbagai peristiwa yang menghalangi perkawinan mereka; e) baru setelah sang pangeran berhasil mengatasi semua permasalahan (misalnya dengan cara menyamar) mereka dapat menikah dan berakhirlah cerita itu dengan bahagia (Bagus, 1986a: 3). Bersandar pada rumusan Robson (Bagus, 1986a: 3) tersebutlah berbagai kearifan lokal Bali dalam mentransformasikan sastra Panji di berbagai ranah kehidupan masyarakat Bali digali dan dimaknai terutama dalam karya sastra geguritan, seni pertunjukan, dan seni rupa.
Spirit Panji dalam Karya-Karya Sastra Bali
Rona panji dalam karya sastra Bali dapat dilihat dalam karya-karya sastra geguritan yang sebagian besar menggunakan bahasa Kawi-Bali. Ada tiga karya sastra geguritan yang dijadikan bukti pengaruh sastra Panji dalam khazanah karya sastra Bali. Ketiga geguritan itu adalah Bagus Umbara, Megantaka, dan Jajar Pikatan. Ketiga karya sastra geguritan tersebut dipandang merepresentasikan pengaruh Panji dalam kesusastraan Bali.
Geguritan Bagus Umbara
Karya sastra ini mengisahkan seorang raja di Jongbiru memimpikan putra raja Koripan. Untuk memenuhi keinginannya maka putri itu mohon kehadapan ayahnya agar dibuatkan patung/ menyerupai mantri Koripan. Karena ayahnya sangat sayang kepada anaknya maka dipenuhilah permintan anaknya dan dibuatkanlah patung/ togong yang dikehendaki. Patung/ togog itu ditaruh di taman, tiap hari dikunjunginya dengan tekun oleh putri Jongbiru itu.
Putra raja Koripan sangat gemar mengembara yang selalu disertai oleh Semar. Setelah tujuh bulan perjalanan lalu sampai di kerajaan Metaum dan ia berganti nama menjadi Bagus Umbara. Di kerajaan itu ia menjadi hamba sahaya. Setelah lma di sana ia menjadi orang terpercaya sehingga ia disuruh melamar raja putri Daha oleh Raja Metaum. Atas perintah raja akhirnya ia berangkat ke Daha untuk melamar raja putri. Pada mulanya lamaran Bagus Umbara ditolak karena menurut pengakuan ayah putri Daha bahwa anaknya telah dijodohkan dengan Mantri Koripan, tetapi atas desakan Bagus Umbara akhirnya Raja Daha menerima lamaran itu, tetapi ia memberi sarat Bagus Umbara disuruh mencari gunung segara madu.
Di dalam perjalanannya untuk mencari Gunu+ng Menyan Segara Madu itu berteu dengan Dukuh yang memberitahukan bahwa letak benda itu adalah di Jongbiru dan kebetulan tuan putri sedang merindukan Bagus Umbara erangkat ke tempat yang ditunjukkan oleh tung/ togog. Bagus umbara berangkat ke tempat yang ditunjukkan oleh Dedukuh yaitu ke taman Jongbiru. Sampai di situ langsung patung itu dibuang dan Bagus Umbara sebagai penggantnya. Sebelum sampai di Jongbiru terlebih dulu ia pernah dipungut oleh raja Jamintara. Di Istana Jamintara ia dapat diobati oleh putri Trenggana karena ia pura-pura sakit. Raja Jamintara sangat mengharapkan Bagus Umbara sebagai menantunya.
Bagus Umbar bertemu dengan tuan putri Jongbiru lalu ia minta segara madu gunung menyan dengan cara menipu ayahnya. Berkat bantuan garuda akhirnya segara gunung menyan itu dapat diterbangkan dan Sang Yaksa (Raja Jongbiru) akhirnya terbunuh. Setelah benda itu diperoleh lalu Bagus Umbara meninggalkan negeri Jongbiru beserta Raden Galuh Jongbiru menuju ke tempat Dedukuh yaitu untuk menitipkan Raden Galuh sementara Raden Mantri (Bagus Umbara) langsung membawa benda itu ke Metaum untuk dintar ke Daha. Sampai di Daha saat benda itu dibuka keluarlah bermacam-macam binatang buas. Pada saat itu orang Metaum lari tunggang langgang kembali ke negerinya. Ketika itu pula Bagus Umbara mengaku dengan sebenarnya bahwa dirinya adalah putra Raja Koripan. Akhirnya terjadilah perkawinan antara Raden mantra Koripan. Akhirnya terjadilah perkawinan antara Raden mantra Koripan (Bagus Umbara) dengan Raden Galuh Daha.
Setelah perkawinan antara Mantri Koripan dengan Raden Galuh Daha lalu Mantri Koripan mengambil Raden Galuh Jongbiru di tempat Dedukuh. Hal ini pun diceritakan kepada Raja Daha bahwa Putri Jongbiru itu berjasa sehingga didapat Gunung Menyan Segara Madu hingga ia mengorbankan ayahnya (Yaksa). Akhirnya ia dimadu oleh Mantri Koripan.
Putri Jamintara sangat rindu karena lama ditinggal (Mantri Koripan). Tatkala itu Raja Windu Tinggal melamar putri Jamintara. Pertama-tama utusan itu ditolak karena putri itu dijodohkan dengan Bagus Umbara (Mantri Koripan), tetapi atas informasi Mantri Koripan telah membawa istri dari Jongbiru lalu lamaran itu diterima oleh raja.
Bagus Umbara masih teringat akan Putri Nawang Trenggana sehingga ia kelihatan selalu bersedih. Hal itu diketahui oleh kedua istrinya, penyebab kesedihannya adalah karena masih teringat terhadap Putri Nawang tzrenggana (anak raja Jomintara). Melihat keadaan yang demikian itu kedua orang istrinya berkenan memberikan Raden Mantri (Bagus Umbara) mencari orang yang dirindukan itu.
Kepergian (Bagus Umbara) dibekali oleh Putri Jongbiru Manik Segara Madu dan Manit Atma supaya selamat di jalan. Tujuan Raden Mantri (Bagus Umbara) yang pertama adalah mencari tempat De Bakung karena ia sangat gampang menemui Raden Galuh Nawang Trenggana (anak raja Jamintara). Kebetulan ketika itu di istana Jamintara sedang diadakan tontonan gambuh. Untuk memudahkan pertemuan dengan Raden Galuh Nawang Trenggana maka Raden Mantri (Bagus Umbara) ikut menjadi penari Gambuh, tetapi sebelumnya ia menyampaikan pesan melalui De Bekung bahwa nanti setelah habis tontonan Gambuh itu mereka akan berjanji melarikan diri dari istana Jamintara. Hal itu dapat terlaksana walaupun melalui jalan yang sulit. Dengan hilangnya Raden Galuh dari istana Jamintara maka kerajaan menjadi riuh. Namun, setelah diketahui Raden Galuh dilarikan oleh Raden Mantri Koripan akhirnya merestui hal itu.
Geguritan Megantaka
Nusambara adalah sebuah kerajaan yang rajanya memiliki putra kembar (buncing). Bayi yang perempuan lahir lebih dulu. Sejak kelahiran kedua putra raja itu, terjadi tanda yang tidak baik yaitu hujan terus-menerus disertai petir. Pada suatu malam Ki Patih Nusambara mendengar sabda (suara suci) dari langit bahwa untuk memulihkan keamanan negara dari malapetaka hendkanya salah seorang putra baginda raja harus dibuang. Hal itu dilaporkan kepada raja. Demi terhindarnya negara dai malapetaka akhirnya raja setuju untuk membuang anaknya yang peremouan yang bernama Dewi Ambarasari eke Pulo Mas.
Setelah beberapa tahun masa pembuangan itu lalu diceritankan kerajaan Ambara Madya mempunyi putera bernama Amabarapati berlayar ke Pulo Mas. Disitulah terjadi pertemuan anatara Raden Dewi Ambarasari dengan Ambarapati. Akhir dari pertemuan itu melahirkan kebulatan tekad untuk pergi bersama ke Istana Ambara Madya. Namun, sial sampai di tengah laut perahu yang ditumpangi pecah sehingga kedua calon mempelai terpisah. Raden Dewi terdampar di Malaka dipungut oleh Balu Kawanan.
Pada suatu saat putra Raja Malaka bernama Megantaka berburu lalu sampai di tempat Raden Dewi Ambarasari dipungut. Di situlah Megantaka jatuh cinta melihat kecantikan Ambarasari dan berkehendak membawa pulang ke Istana Malaka. Karena takutnya terpaksa Raden Dewi mengikuti kehendak Megantaka. Bagaikan kehendak Tuhan, setiap Raden Dewi mau dijamah seketika itu pula ia sakit sehingga Megantaka tidak dapat menodai Raden Ambarasari. Setelah lama Raden Ambarapati tinggal di Malaka lalu berhasil bertemu kembali dengan Raden Dewi Ambarasari di Istana Malaka. Atas persetujuan bersama lalu Ambarapati di Istana Malaka. Atas persetujuan bersama lalu Ambarapati dan Ambarasari melarikan diri dari isatana Malaka menuju Ambara Madya.
Sesampai di Ambara madya kedua orang tuanya menyambut Ambarapati dengan rasa gembira dan berkaul akan mengawinkan anaknya dengan Limbur anak patih di Ambara Madya. Berkat guna-guna I Limbur akhirnya Ambarapti mau kawin dengan I Limbur, Di saat sedang ampuh guna-guna I Limbur, ia mempergunakan kesempatan untuk memusnahkan Raden Dewi Ambarasari yaitu dengan jalan mengutus I Langlang duta untuk membunuh Ambarasari. Hal itu pun dapat terlaksana dengan baik. Lama-kelamaan habislah guna-guna I Limbur lalu Raden Mantri Ambarapati mencari Raden Dewi Ambarasari yang telah mati. Hal itu pun sangat disesalkan oleh kedua orang tuanya karena mereka tidak mengetahui bahwa putranya datang dari berlayar membawa seorang gadis.
Di Nusambara adik Raden Dewi Ambarasari yang bernama Tilarnagantun dangat rindu akan kakaknya lalu ia pergi ke Pulo Mas hendak mengajak kakaknya pulang ke Istana Nusambara.. Di dalam perjalanan Tilarnagantun bertemu dengan Dewi Sekar Kencana putri raja Jim. Orang itulah memberitahukan bahwa kakaknya telah berada di ambara Madya, dalam keadaan menjadi mayat. Dewi Sekar Kencana lalu pergilah mereka berdua ke Ambara Madya.
Setelah di Ambara Madya diketahui negara sedang dalam keadaan kesedihan karena diserang oleh Megantaka Raja Malaka dan Ambarapti sedang dalam keadaan diikat di sebuah ladang. Melihat hal itu lalu Tilarnagantun minta bantuan Dewi Aupraba berkenan memberi bantuan dengan jalan memberi bunga pudak, gadung dan melati sebagai senjata ampuh untuk mengalahkan Megantaka. Dengan jalan bantuan itu maka Megantaka dapat ditaklukkan dan ia berjanji tunduk kepada kerajaan Ambara Madya.
Akhirnya cerita terjadilah pertempuran antara Tilarnagantun dengan Ambarasari yang dihidupkan kembali oleh Dewi Supraba atas restu dewa-dewa di Surga. Di saat itu pula diadakan keramaian di Istana atas kemenangan berperang melawan Megantaka.
Geguritan Jajarpikatan
Karya sastra Geguritan Jajar Pikatan mengisahkan mengenai seorang raja di Jajarpikatan (Koripan). Putranya sangat senang berburu. Pada suatu malam raja putra mimpi menyangga bulan dan impian itu ditafsirkan oleh panakawannya akan membawa keberuntungan di dalam pemburuan nanti. Hal itu pun dipercayakan oleh raja putra akhirnya mereka berangkat dengan beberapa panakwannya. Setibanya di hutan semua pengiringnya haus begitu pula raja putra karena perjalanan terlalu jauh. Tatkala itu dilihatlah pohon kelapa dan dipanjatlah oleh seorang panakawan. Namun, ajaib saat pohon kelapa itu dipanjat semakin meninggi sehingga sukar memetik buahnya. Akhirnya raja putralah yang memanjatnya. Dari pohon kelapa itu terlihatlah seorang gadis cantik yang sedang mandi di sebuah taman yang kelihatannya samar-samar. Tempat itu pun dicari oleh raja putra sehingga ia berpisah dengan semua panakwannya. Setibanya di tempat itu lalu raja putra mengambil pakaian gadis yang sedang mandi itu. Seusai gadis itu mandi baru diketahui bahwa pakaiannya telah tiada di tempat semula sehingga ia berjanji kepada siapa pun yang menemukan pakaiannya itu kepadanya ia bersedia menjadi istrinya. lalu terjadilah pertemuan yang diakhiri dengan perpisahan raja putra dengan gadis itu (Dewi Supraba), tetapi Dewi Supraba akan berjanji kembali dari Surga akan menemui raja putra di tempatnya yang sama. Tatkala perpisahan itu raja putra diberikan sebuah cincin sebagai tanda mata.
Setiba di istana beliau sangat sedih karena berpisah dengan Dewi Supraba. Kesedihannya ini diketahui oleh ayah baginda tetapi tidak diketahui penyebbabnya. Dicarilah seorang dukun untuk mengobatinya. Atas perintah seorang pendeta akhirnya raja putra dibawa ke tengah laut dengan maksud menghilangkan kotoran (mala). Namun, sial tatkala perahu yang mengangkut raja putra ke tengah laut pecah semua pengiringnya tenggelam ke dasar laut. Berkat rahmat Tuhan raja putra bisa terdampar di pantai dekat sebuah hutan.
Di tengah hutan ia dipungut oleh Dukuh sakti. Dukuh sakti menunjukkan jalan mencari Dewi Supraba ke surga yaitu dengan meniti benang kuning sehingga ia sampai di Surga. Setibanya di Surga Raja Putra ditanyai oleh Bhatara Guru mengenai kedatangannya. Raja Putra menceritakan bahwa tujuannya mencari Dewi Supraba dan mengaku telah pernah berjanji akan melakukan perkawinan. Hal itu pun direstui oleh Bhatara Guru dnegan syarat Raja Putra harus memungut gabah yang ditaburkan. Atas pertolongan burung gelatik pekerjaan itu dapat dilaksanakan dan akhirnya ia jadi kawin dengan Dewi Supraba. Setelah raja putra dapat mengawini Dewi Supraba mereka kembali ke Istana Koripan yang di Jajarpikatan. Sesampai di istana kedua orang tua raja putra menyambut kedatangan anaknya dengan rasa bahagia karena memperoleh menantu sorang bidadari. Akhirnya dibuatkanlah upacara perkawinan dengan cara besar-besaran. Tatkala upacara itu berlangsung banyaklah berdatangan sanak pamilinya seperti Raja Singasari, Daha, dan Gegelang.
Ketiga karya sastra geguritan yang disajikan sinopsisnya di atas sampai saat ini masih dinyanyikan oleh masyarakat Bali dalam berbagai aktivitas upacara yadnya di Bali. Tradisi mabebasan sebagai salah satu aktivitas mengapresiasi sastra Bali memberikan ruang hidup bagi sastra Panji di Bali. Tradisi mabebasan yang fungsional mengiringi berbagai upacara yadnya di Bali menyebabkan cerita Panji masih diapresiasi di Bali.
Transformasi Sastra Panji dalam Seni Pertunjukan Tari Gambuh
Dalam kurun waktu tertentu teks cerita Panji yang tersimpan dalam bentuk naskah dihidupkan dalam bentuk-bentuk seni pertunjukan, terutama seni pertunjukan Gambuh. Windhu Sancaya, (2015:6) menyatakan bahwa seni pertunjukan Gambuh adalah satu bentuk jalan pintas untuk mempopulerkan dan melipatgandakan pengenalan cerita Panji di tengah-tengah masyarakat. Lebih lanjut dinyatakannya, dari bentuk seni pertunjukan Gambuh ini cerita Panji kemudian berkembang menjadi cerita-cerita rakyat hingga ke pelosok-pelosok, mempengaruhi lakon-lakon yang dipentaskan dalam seni-seni pertunjukan lain seperti arja dan topeng, dalam berbagai versi dan interpretasi. Banyak naskah-naskah yang bertemakan cerita Panji yang muncul kemudian diciptakan berdasarkan atas lakon dan tema Panji dari seni pertunjukan ini. Perkembangan dan popularitas cerita Panji di Bali sangat dipengaruhi oleh seni pertunjukan. Terjadilah rangkaian proses penciptaan dari teks tertulis ke seni pertunjukan, dari seni pertunjukan ke teks tertulis, dan dari teks tertulis ke seni pertunjukan, dan seterusnya.
Tidaklah mengherankan bila Adrian Vickers mengatakan, “finally, Panji narratives cannot be understood very well if they are only seen as written text. All the written versions make reference to type of performance, and many explicitly state that they are poetic forms of wayang or other type of performances”. Selanjutnya Adrian Vickers juga mengatakan, most importantly, Balinese stories and performances give us a glimpse of the way Panji stories can merge into other traditions” (1996: 43).
Gambuh biasanya dipentaskan dalam upacara-upacara Dewa Yadnya seperti odalan, upacara Manusa Yadnya seperti perkawinan keluarga bangsawan, upacara Pitra Yadnya (ngaben) dan lain sebagainya. Tari ini juga diiringi dengan gamelan Penggambuhan yang berlaras pelog Saih Pitu. Sementara itu, tokoh-tokoh yang biasa ditampilkan dalam Gambuh adalah Condong, Kakan-kakan, Putri, Arya/Kadean-kadean, Panji (Patih Manis), Prabangsa (Patih Keras), Demang, Temenggung, Turas, Panasar, dan Prabu. Dalam memainkan tokoh-tokoh tersebut semua penari berdialog umumnya menggunakan bahasa Kawi, kecuali tokoh Turas, Panasar dan Condong yang berbahasa Bali, baik halus, madya, atau kasar. Sejumlah desa seperti Kedisan (Tegallalang, Gianyar), Batuan (Gianyar), Padang Aji dan Budakeling (Karangasem), Tumbak Bayuh (Badung), Pedungan (Denpasar), Apit Yeh (Tabanan) dan Anturan dan Naga Sepeha (Buleleng) yang masih melestarikan gambuh saat ini menyebabkan eksistensi cerita Panji dapat bertahan.
Tari Legong Keraton
Tari Legong Keraton juga dikenal dengan sebutan Tari Legong Lasem. Penamaan Legong keraton disebabkan oleh areal pementasan yang sebagian besar di masa lampau dilakukan di wilayah keraton. Sementara itu, nama Tari Legong Lasem disebabkan oleh cerita yang menarasikan Prabu Lasem. Dibandingkan dengan Tari Legong Lasem, secara umum masyarakat lebih mengenal tarian ini disebutan Tari Legong Keraton. Tari Legong Keraton secara historis diyakini muncul pertama kali pada abad ke-19 di keraton-keraton di Bali. Secara mitologis, perkembangan tari Legong Keraton ini konon berawal dari sakitnya seorang pangeran yang berasal dari Sukawati. Diceritakan dalam keadaan sakit pangeran bermimpi melihat dua orang gadis menari dengan lemah gemulai dengan diiringi seperangkat gamelan yang indah. Ketika sang pangeran pulih dari sakitnya, mimpi tersebut dituangkan dalam tarian penyajiannya lengkap dengan seperangkat gamelan. Tarian itu ditarikan di halaman keraton di bawah sinar bulan purnama oleh dua orang gadis yang belum menstruasi memakai alat bantu kipas penarinya ini dikenal sebagai penari Legong, kemudian penari pelengkapnya dinamakan penari condong tidak dilengkapi dengan kipas.
Tari Legong Keraton, mengambil cerita Panji, mengisahkan tentang perjalanan prabu (adipati) Lasem yang ingin meminang putri dari kerajaan Daha (Kediri) yaitu putri Rangkesari yang sudah terikat jalinan dengan Raden Panji dari Kahuripan. Karena sudah terikat janji dengan Raden Panji, maka sang puteri menolak pinangan Prabu Lasem. Penolakan tersebut memicu Prabu Lasem melakukan penculikam terhadap Rangkesari. Mengetahui hal tersebut raja Daha (Kediri) menyatakan perang terhadap Prabu Lasem. Prabu Lasem juga diserang oleh burung garuda pembawa maut, walaupun berhasil meloloskan diri dari serangan garuda, namun akhirnya tewas saat peperangan melawan raja Daha. Sama dengan Tari Gambuh yang masih tetap dilestarikan sampai saat ini. Tari Legong Keraton yang diyakini sebagai agem-ageman dasar tari perempuan di Bali sejatinya menjadikan sastra Panji masih hidup di tengah-tengah masyarakat Bali.
Tari Panji Semirang
Pengaruh sastra panji dalam seni pertunjukan ini terlihat terang dari penggunaan kata panji dalam judulnya yaitu Panji Semirang. Tari Panji Semirang dilihat dari sejarah penciptaannya, memang termasuk baru karena diciptakan oleh seorang seniman bernama I Ketut Kaler yang berasal dari Pemogan, Denpasar. Berbeda dengan tari Gambuh dan Legong Keraton yang melibatkan sejumlah penari, tari ini bisa dipentasnya secara tunggal, berdua, bahkan berkelompok dengan gaya yang bersifat bebancihan (penari cewek yang memerankan gerakan cowok).
Sebagai seni pertunjukan yang ditransformasikan dari sastra Panji, tarian ini mengisahkan seorang tokoh bernama Panji Semirang yang merupakan nama lain dari Galuh Candrakirana ketika sedang menyamar untuk mencari Raden Panji. Karena menggambarkan Raden Galuh yang tengah menyamar itulah busana dan gerak yang ditampilkan dalam tarian ini disebut bebancihan. Dalam penyamarannya itu, tanpa sengaja mereka berdua bertemu di jalan karena Raden Panji juga bermaksud mencari Raden Galuh. Raden Panji mengira pasukan yang dipimpin oleh Panji Semirang akan menyerangnya, tetapi ternyata tidak.
Sejak pertemuan itu, Raden Panji sudah merasa memiliki kedekatan dengan Panji Semirang yang tidak diketahuinya sebagai penyamaran Raden Galuh. Tiba di kerajaan Daha, Raden Panji disambut dengan meriah. Akan tetapi sayang, Raden Galuh tidak ditemuinya. Seorang anggota kerajaan bernama Dewi Liku menyatakan bahwa Raden Galuh lupa ingatan dan telah lama meninggalkan kerajaan. Dewi Liku ternyata punya niat yang jahat karena ingin menikahkan putrinya yang bernama Dewi Ajeng. Akan tetapi naas, menjelang pernikahan terjadi kebakaran hebat di istana. Raden Panji meninggalkan istana dan kembali sadar bahwa tujuan tunggalnya adalah mencari Raden Galuh. Pencarianpun dilanjutkan hingga Raden Panji sampai di Negeri Gegelang. Rupanya, Negeri Gegelang sedang menghadapi kesulitan karena sedang diganggu oleh gerombolan perampok yang dipimpin oleh Lasan dan Setegal. Akhirnya, Raden Inu Kertapati bersama-sama dengan pasukan dari Negeri Gegelang menghadapi para perampok. Raden Inu mengerahkan segenap kemampuannya menghadapi perampok tersebut, dan berhasil mengalahkannya hingga pimpinan perampok tersebut mati.
Pestapun diadakan sebagai bentuk perayaan kemenangan atas gangguan musuh. Pada malam terakhir pesta tersebut Raja memanggil seorang ahli pantun, seorang pemuda bertubuh gemulai. Pantun yang dibawakannya berisi cerita perjalanan hidup Dewi Candra Kirana dan Raden Inu Kertapati, hal yang membuat Raden Inu menjadi sangat penasaran sehingga akhirnya menyelediki siapa sebenarnya ahli pantun tersebut. Selidik punya selidik, rupanya rupanya ahli pantun tersebut memang adalah Panji Semirang alias Dewi Candra Kirana. Dewi Candra Kirana bercerita bahwa memang Dewi Liku yang membuatnya hilang ingatan hingga akhirnya keluar dari istana Daha. Dia disembuhkan oleh seorang pertapa yang memiliki kemampuan mengobati berbagai penyak itu. Setelah semua misteri terungkap jelas, akhirnya Raden Inu Kertapati kembali ke Negeri Jenggala untuk melangsungkan pernikahan meriah, dan mereka menjadi sepasang suami istri yang hidup berbahagia. Demikianlah penggambaran kisah tari Panji Semirang. Tari Panji Semirang yang seringkali dipentaskan oleh sanggar-sanggar tari di Bali untuk menguji ketangkasan para penari menjadi kearifan lokal tersendiri dalam usaha pemertahanan sastra panji saat ini.
Transformasi Sastra Panji dalam Seni Rupa
Di samping memengaruhi karya sastra dan seni pertunjukan, tokoh-tokoh panji juga muncul dalam kreativitas seni rupa di Bali. Penelitian ini menemukan tiga ranah seni rupa yang menggunakan tokoh-tokoh panji yaitu (1) patung, (2) relief, dan (3) seni arca pada dinding bangunan suatu pura.
Patung yang diidentifikasi Panji, tersebut terdapat di Desa Adat Laplapan, Pejeng, Gianyar. Tribun Bali memuat berita mengenai dua patung yang disebut oleh masyarakat setempat sebagai Patung Ratu Panji[1]. Situs purbakala yang terdapat di Pura Taman Sari tersebut konon berupa patung pria dan wanita setinggi 1,5 meter. Patung tersebut sampai saat ini sangat disakralkan oleh masyarakat setempat. Masyarakat mengklaim bahwa patung itu sama seperti di Pura Puncak Penulisan. Menurut warga, patung itu merupakan Ratu Panji, yakni dewa pemberi berkah pada para suami istri.
Kehadiran relief panji yang ditatah di dinding pura juga ditemukan Pura Taman Sari, Klungkung. Pura Taman Sari merupakan salah satu tempat penting dalam sejarah perkembangan kesusastraan Bali. Di pura tersebutlah konon Ida Anak Agung Istri Kanya, raja Klungkung yang juga melahirkan karya sastra Kakawin Basa Wawatekan tersebut melakukan pertemuan-pertemuan bersama para pengarang sastra klasik pada bulan-bulan tertentu. Bulan yang dipilih biasanya adalah bulan Oktober. Kuat dugaan, di tempat tersebut para pengarang bertemu untuk mendialogkan karya-karya sastra baik gubahan mereka sendiri atau membaca karya-karya sastra ciptaan pujangga yang lain.
Relief figur Panji yang sedang berhadap-hadapan satu sama lain. Figur Panji yang lelaki terletak di sebelah kanan, sedangkan figur perempuan terletak di sebelah kiri. Di bagian bawah relief panji tersebut ada ornamen berupa raksasa bertaring dengan mata satu yang biasa disebut dengan karang petulu. Sementara itu, di samping kiri dan kanan karang petulu tersebut ada ornamen yang berwujud karang gajah. Di atas karang gajah tersebut, tepatnya di samping kiri dan kanan ada ornament menyerupai gagak yang sering disebut karang guak. Di bagian celah-celah karang tersebut ada motif dedaunan. Di bagian atas figur panji ada ornamen yang berbentuk awan-awanan. Figur panji tersebut terlihat estetis menghiasi dinding pura di Taman Sari, Klungkung.
Di samping patung dan ornamen, penelitian ini juga menemukan arca berwujud panji. Arca merupakan patung yang dibuat dengan tujuan utama sebagai media keagamaan, yaitu sarana dalam memuja tuhan atau dewa-dewinya. Arca memiliki perberbedaan dengan patung pada umumnya yang merupakan hasil seni yang menitikberatkan pada keindahan. Dalam proses pembuatannya, arca dibuat dengan bahan dan waktu pengerjaan yang terpilih. Apabila arca dibuat menggunakan bahan kayu, pohon yang dijadikan sebagai bahan arca biasanya pohon-pohon yang diyakini bertuah seperti kayu pule, kayu cendana, kayu cempaka, kayu majagau, kayu jepun dan yang lainnya. Kayu-kayu yang dipilih tersebut berasal dari areal tempat suci seperti kawasan pura, mata air, dan kuburan. Waktu pengerjaan arca juga biasanya dipilih pada hari-hari baik tertentu seperti kajang kliwon. Ketika arca sudah selesai dibuat, pada tahap akhir biasanya dilakukan proses penyucian dan pemasupatian. Proses penyucian menggunakan sarana upacara tertentu dengan tujuan agar para dewa berkenan berstana pada arca tersebut. Demikian pula proses pemasupatian dilakukan dengan harapan agar arca tersebut memiliki tuah dan manfaat untuk keselamatan masyarakat.
Figur panji dalam arca ditemukan di Pura Desa, Poh Manis, Denpasar Barat. Pada arca tersebut terlihat figur seorang laki-laki bersanding dengan perempuan. Tubuh laki-laki itu tampak berkulit putih, menggunakan kain penutup berwarna jingga, berhias titik-titik dengan tepi emas pada bagian pinggir. Ia juga menggunakan berbagai hiasan tangan yang disebut dengan gelang kana dan hiasan pada leher yang disebut dengan badong. Pada bagian kepala, figur itu juga terlihat menggunakan mahkota yang melengkung menyerupai capit udang. Sementara itu, figur perempuan yang mendampingi lelaki tersebut juga tampak berkulit putih dengan mahkota di atas kepalanya. Sayangnya, bunga yang diikat di arca tersebut menghalangi tubuh perwujudan perempuan yang ada di samping laki-laki. Di sisi lain, kedua figur lelaki-perempuan itu terlihat mengendarai lembu berwarna hitam dengan tanduk berwarna emas.
Penggunaan mahkota menyerupai capit udang (sapit urang) tersebut diidentifikasi oleh Lydia Keiven [2014:5] sebagai salah satu penanda figur panji yang banyak dipahatkan pada relief-relief candi di Majapahit. Yang menarik adalah figur panji tersebut mewahanai lembu hitam. Lembu hitam pada umumnya diwahani oleh Siwa atau Parwati atau keduanya. Dalam karya sastra Adi Parwa, Dewa Siwa dan Parwatilah yang memiliki lembu bernama Nandini. Lembu Nandini konon dapat memberikan apapun keinginan manusia sehingga disebut dengan Kamadhuk.
Yang penting untuk dimaknai adalah penggantian perwujudan Siwa dan Parwati yang ada di atas lembu Nandini. Tidak mudah menelusuri penggantian perwujudan tersebut. Akan tetapi, berdasarkan keterangan karya sastra lain seperti Wrespati Kalpa, kehadiran Panji diidentikkan dengan perwujudan Dewa Cinta yaitu Smara, sedangkan figur putri pendampingnya diidentikkan dengan Ratih. Bertitik tolak dari pustaka tersebut, titik terang untuk mengetahui penggantian figur Siwa atau Parwati yang mewahanai lembu dapat dijelaskan. Pustaka Kakawin Smaradahana karya Mpu Dharmaja menarasikan bahwa Siwa dan Parwati sempat disusupi oleh Smara dan Ratih setelah mereka berdua terbakar oleh mata ketiga dari Siwa dan kehilangan tubuh. Karena tanpa tubuh, Dewa Smara menyusupi batin Siwa, sedangkan Dewi Ratih memasuki batin Parwati. Masuknya Smara dan Ratih dalam citta Siwa dan Parwati menyebabkan beliau berdua mengalami rindu yang hebat. Setelah itulah Siwa dan Parwati melakukan sanggama kosmis.
Arca Panji yang mewahanai lembu tersebut menunjukkan bahwa sastra Panji menembus ranah-ranah teologi masyarakat Bali. Ranah teologi yang berhasil ditembus oleh figur Panji inilah kearifan lokal tradisi Bali dalam menjaga vitalitas Panji dalam kehidupan masyarakat Bali.
Tiga Klasifikasi
Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, kearifan lokal masyarakat Bali dalam merawat vitalitas hidup sastra Panji dapat diklasifikasikan menjadi tiga. Pertama, transformasi cerita Panji pada karya sastra geguritan yang masih populer sampai saat ini menyebabkan vitalitas hidup sastra Panji masih bertahan dan fungsional dalam kehidupan masyarakat Bali. Tradisi mabebasan di Bali memberi ruang tumbuh bagi sastra Panji. Kedua, transformasi cerita Panji dalam seni pertunjukan yang termanifestasi dalam Tari Gambuh, Legong Keraton, dan Panji Semirang menyebabkan sastra panji dapat dinikmati sampai saat ini karena di beberapa Desa di Bali tari-tari tersebut dilestarikan dengan baik. Ketiga, transformasi cerita Panji dalam seni rupa yang meliputi patung, relief (pandil), dan arca (pratima) yang menyentuh sampai tingkat teologi masyarakat Bali menjadi kearifan lokal terpenting untuk menjaga vitalitas hidup sastra Panji. [T]
Daftar Pustaka
- Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1983. Perkembangan dan Pengaruh Cerita Panji di Bali. Laporan Penelitian. Jakarta: Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa dan Sastra.
- Bagus, I Gusti Ngurah, dkk. 1986 a. “Uraian Singkat tentang Kajian C.C. Berg dan S.O Robson tentang Sastra Panji”.
- Bagus, I Gusti Ngurah. 1996. “Panji, Masihkah sebagai Pahlawan yang Merupakan Panutan? makalah dalam Sarasehan Sastra dan Budaya “Cerita Panji dalam Kebudayaan Bangsa” Denpasar: Panitia PKB XVIII.
- Berg, C.C. 1985. Penulisan Sejarah Jawa. Jakarta: Bhratara.
- Kieven, Lydia. 2014. Menelusuri Figur Manusia Bertopi dalam Relief Majapahit. Jakarta: Kompas Gramedia
- Poerbatjaraka, R.M. 1986. Tjerita Panji dalam Perbandingan. Jakarta: Gunung Agung.
- Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Jakarta: FIB UI.
- Sancaya, IDG. 2015. “Geguritan Megantaka sebagai Sastra Panji”. Makalah disampaikan dalam Rembug Sastra Purnama Bhadrawada pada tanggal 1 Juni 2015.
- Sibarani, Robert. 2012. Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan. Jakarta Selatan: Asosiasi Tradisi Lisan.
- Suastika, I Made. 1997. Calonarang dalam Tradisi Bali. Jogjakarta: Duta Wacana University Press.
- Vickers, Adrian. 2009. Peradaban Pesisir: Menuju Sejarah Budaya Asia Tenggara. Denpasar: Udayana University Press.
[1] Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul Warga Banjar Laplapan Keramatkan Patung Ratu Panji, https://bali.tribunnews.com/2014/05/12/warga-banjar-laplapan-keramatkan-patung-ratu-panji.