Jarak ini sebetulnya ringan saja, tak terlalu, dan masih terkejar waktu, namun keinginan yang tertinggal di belakang dan pertentangan yang membuatnya selalu terdorong ke belakang, menjadikannya terasa terlalu. Ia yang ragu, atau sesuatu di belakangnya yang membelenggu?
Apa yang kira-kira bisa mengubah manusia dan kemanusiaannya? Tempat? Kekuasaan-kekuasaan kecil? Atau waktu dan keadaan? Apa yang bisa mengubah keterhubungan, kebersamaan, pertemanan, atau kebersaudaraan katakanlah justru berakhir dengan persaingan, keretakan bahkan permusuhan? Eksistensi-eksistensi kecil yang sebetulnya bahkan tak ada seukuran debu sekali pun? Dominasi-dominasi kecil yang bahkan tak jelas faedah dan kebermanfaatannya?
Jadi teringat salah satu episode dari serial Game of Thrones, sewaktu Jon Snow, bertemu Ygritte. Jon, si pemuda yang diperkenalkan sebagai anak haram Lord Stark, dengan kenaifannya yang menjadi ciri khas kalangan the southern, versus Ygritte, perempuan dari golongan the wildlings, kelompok-kelompok dibalik tembok yang membatasi the southern dengan the north.
You know nothing Jon Snow! Kata, Ygritte, dalam perdebatan mereka diantara dinginnya pegunungan bersalju yang membekukan, dan Jon yang merasa seolah khatam dengan manusia-manusia yang dianggap liar itu. Bagi kalangan the southern, mereka yang berada dibalik tembok tak lebih dari manusia-manusia tak beradab, barbar, kaum perampok, penuh kekerasan, yang suatu ketika mengintip celah untuk menyerbu ke wilayahnya.
Jon yang naif, Jon yang malang. Jon si pemuda belasan tahun itu harus berhadapan dengan golongan the wildlings yang mengepungnya, tapi justru kemudian mengajarkannya banyak hal. Dia tak hanya belajar melihat sesuatu dengan lebih jelas, membaca lebih jeli situasi, tidak tertipu permukaan, belajar menjalani hidup di alam yang sebenarnya dan tidak terburu mengambil tindakan, sekaligus berpikir jauh lebih panjang. Bersama mereka, Jon belajar taktik, juga belajar seni kepemimpinan, termasuk kemudian terpaksa mengkhianati mereka demi mengamankan Black Castle, tempatnya mengabdi sebagai Night’s Watch, si pasukan pengintai.
Dibalik tembok itu, the wildlings sejatinya tak lebih dari manusia-manusia biasa, sebagaimana mereka yang tinggal di selatan tembok. Mereka tak lebih dari manusia-manusia yang ingin bertahan hidup, mempertahankan diri, yang juga bertarung dan berebut antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain, dibalik satu ancaman besar lainnya: berupa kebangkitan dunia lain, pasukan kematian, the white walkers.
Jon yang merupakan salah satu dari anggota kelompok pengintai itu, berhasil berkompromi kembali dengan the wildlings, bahkan menjadi pemimpin pasukan yang kemudian sama-sama menghadapi ancaman the white walkers. Jon seperti lolos dari masa inisasinya, untuk mekar menjadi pribadi yang tangguh dan teruji dalam menghadapi berbagai situasi. Termasuk menjadi figur penting dalam menghentikan pasukan kematian The Night King.
Seberapa banyakkah manusia-manusia heroik macam Jon Snow dalam kenyataan? Ada banyak yang belajar, ada banyak yang berhasil, tapi tak terhitung juga jumlah mereka yang tumbang atau ditumbangkan dan kalah atau dikalahkan. Hanyut sebagai pribadi-pribadi yang tidak hanya ikut-ikutan barbar, tapi juga telengas dan berebut entah untuk eksistensi macam apa, yang sekali lagi, kecil sekali untuk kemanusiaan itu sendiri.
Ada banyak yang berkembang, melewati rintangan, belajar mengungkap ketidaktahuannya dan mengasah dirinya, muncul seolah sebagai pemenang, tapi tak terhitung juga jumlah mereka yang tenggelam dihantam kesulitan. Apakah yang mengubah manusia dan kemanusiannya kemudian? Kesulitan-kesulitan itukah? Persaingan-persaingan itukah? Kekuasaan-kekuasaan kecil atas manusia lainnya itukah?
You know nothing Jon Snow. Diucapkan Ygritte berkali-kali. Karena sejatinya, Jon Snow sejak awal juga bukan manusia biasa. Dia bukan anak haram Ned Stark. Darahnya, bukan darah manusia biasa. Dia keturunan Targaryen. Pewaris tahta kekuasaan utama Iron Throne. Darah penguasa sudah ada dalam dirinya.
Mengingat Jon Snow, mungkin lebih enak juga mengingat Tyrion. Putra klan Lannister yang bertubuh pendek dan kecil, namun paling pandai dan cerdik. Jika saudarinya Cersei punya ambisi membabi buta, Tyrion punya otak. Bahkan bisa selamat dalam situasi paling terjepit dan paling genting sekali pun, lalu menjadi sosok pemenang yang kemudian tampil dengan tawanya yang pahit dan getir di setiap akhir kejadian.
Death is so final, yet life is full of possibilities. Aha, Tyrion mengucapkannya dengan sangat enteng sekaligus penuh ironi. Bukankah atas bisikannya juga Jon kemudian menikam Daenerys Targaryen dalam pelukannya yang romantis, berlatar tahta Iron Throne yang sudah lapang untuk diduduki dan Kings Landing yang berhasil dibumihanguskan, demi menghindarkan perempuan sekaligus pemimpin yang dicintainya itu dari kekuasaan yang memabukkan? [T]
Banyuning, 8 Mei 2021