Di Singaraja saya punya seorang teman (atau adik karena saya lebih tua), yang jago bernyanyi dangdut. Dandi Rahman, namanya. Mahasiswa Universitas Pendidikan Ganesha, pemuda kelahiran Kampung Rajatama, Dusun Yehanakan, Desa Banjarasem, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali. Di tongkrongan kami, dia selalu menjadi juaranya.
Tahun lalu, di sekretariat HMI Cabang Singaraja⸺Dandi ini juga kader HMI⸺, dia cerita kepada saya bahwa karena kurang persiapan, dia gagal mengikuti kompetisi Liga Dangdut (LIDA) Indosiar. Padahal, menurut penilaian awam kami sebagai temannya, suara Dandi ini sudah top. Tak ada tandingan.
Bulan kemarin dia kembali bercerita kalau dia lolos dan menjadi Duta Liga Dangdut (LIDA) Indosiar 2021 perwakilan Provinsi Bali. Gila. Seharusnya pemerintah Bali, Buleleng, dan kampus, bangga atas prestasinya. Mungkin bisa membantu mempromosikannya kepada seluruh rakyat Bali.
Dandi, pemuda kelahiran 2 Januari 1999 ini mengaku kepada saya menyukai dangdut sejak kecil.
“Awal suka dangdut sih dari aku kecil, Bang, karena hampir semua keluargaku suka dangdut. Musik dangdut seperti menjadi asupan setiap harinya,” katanya.
Awalnya ia hanya sebagai vokalis grup hadrah. Tapi semenjak lulus SMA ia mulai masuk dunia dangdut. “Karena dangdut itu asyik, Bang, dan bisa diterima di segala keadaan, suasana apa pun,” ungkapnya bahagia.
Dandi mulai bernyanyi dangdut di acara-acara pernikahan, ikut lomba-lomba di tingkat universitas, hingga berani mengikuti kompetisi Liga Dangdut (LIDA) 2021 yang diselenggarakan Indosiar. Ia masih tak percaya bisa lolos dan tampil di televisi⸺dan ditonton seluruh masyarakat Indonesia. Dandi ingin mempertahankan dangdut pada akarnya, yakni sebagai musik rakyat.
Dangdut di Indonesia memang seperti sudah membudaya. Musik picisan yang lahir dan berakar dari musik Melayu ini masih populer hingga saat ini. Musik yang dekat sekali dengan rakyat Indonesia ini muncul pada dekade 1940-an. Kala itu belum lahir istilah dangdut, memang, orang-orang menyebutnya dengan nama musik Melayu-Deli (Balai Bahasa Yogyakarta, Dari Tradisi ke Modernisasi, 2009).
Musik Melayu-Deli itu sebetulnya mirip dengan keroncong. Dalam Roma Irama and the Dangdut Style: Aspects of Contemporary Indonesian Popular Culture, William H. Frederick (1982), bahkan menyebut musik keroncong di era itu dikatakan sebagai orkes melayu.
Orkes melayu atau yang biasa disingkat O.M. inilah yang nantinya menjadi istilah untuk menamakan grup atau kelompok musik ber-genre dangdut, bahkan sampai saat ini. Para penggemar dangdut⸺khususnya di Jawa Timur⸺tentunya akrab dengan grup-grup macam O.M. Monata, O.M. Sera, O.M. Palapa, dan sejenisnya.
Dulu, mungkin sampai sekarang, bagi sebagian orang dangdut mendapat sigma kacangan, seperti yang pernah disandang keroncong. Di era kolonial, keroncong⸺yang notabene pendahulu dangdut⸺dipandang oleh masyarakat kelas atas, yakni bangsa Eropa/Belanda, secara hina sebagai produk kehidupan kelas kampung (Pesan-pesan Budaya Lagu-lagu Pop Dangdut dan Pengaruhnya, 1995). Kendati begitu, dangdut tak pernah mati. Bahkan sejak dalam wujud embrio, dangdut secara elastis mampu beradaptasi dengan perkembangan musik global dan akhirnya sebagai musik sendiri.
Di masa awalnya, dangdut⸺yang berangkat dari musik Melayu dan keroncong⸺berbaur pula dengan jenis musik lainnya, semisal musik dari India, Timur Tengah, bahkan Latin (Max Richter, Musical Worlds in Yogyakarta, 2012). Dari rezim ke rezim, dangdut berkembang mengiringi zaman. Saat industry musik Indonesia dijejali lagu-lagu pop cengeng ala Rinto Harahap pada dasawarsa 1980-an, dangdut juga ikut menceburkan diri kendati dengan format yang berbeda.
Masyarakat Indonesia tidak sedikit yang menyukai dangdut gaya baru, format baru yang ditawarkan Inul Daratista, misalnya. Inul dengan goyang ngebor-nya di awal era 2000-an membawa musik dangdut kembali melejit. Hal ini lantas disusul dengan membanjirnya ragam jenis goyangan lainnya oleh para biduan wanita baru. Dangdut dinilai telah berubah.
Meskipun dicerca, bahkan sempat dicekal oleh sang raja dangdut Rhoma Irama, Inul tetap bertahan. Bahkan tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menyukai dangdut gaya baru yang ditawarkan Inul. Dangdut terus melaju dan menggulung jenis music apapun yang menghadapnya. Maka tidak heran jika kini dikenal banyak varian dangdut, sebutlah dangdut Jawa (campursari), dangdut house, dangdut disko, dangdut koplo, dangdut metal, rock dangdut, hingga dangdut dakwah seperti Nasida Ria versi kekinian alias Qasima.
Dangdut tidak hanya mampu menyihir kalangan orang tua saja, tapi juga kalangan muda. Apalagi semenjak populernya dangdut Jawa (campursari)⸺yang banyak mengusung lagu-lagu patah hati⸺belakangan ini dalam industri musik tanah air⸺dan didukung dengan kompetisi-kompetisi yang diselenggarakan televisi.
Barangkali dangdut memang tetap saja dianggap musik picisan. Namun, keandalannya sudah terbukti dan sekali lagi, ia tak pernah mati melintasi berbagai zaman. Seperti Dandi, misalnya, ia lebih memilih musik dangdut daripada pop, rock, atau aliran musik lain yang mungkin lebih banyak digemari anak-anak muda. Sukses, Dandi. [T]