“…tak ada yang perlu ditakuti soal pedalaman Kalimantan, justru pergilah ke sana jika kau ingin menjadi manusia tangguh. Alam dan orang-orangnya adalah guru dan pelajaran terhebat.” (Merayakan Ingatan, Mahima 2019)
Membaca ulasan sebuah kolom pada satu surat kabar nasional hari ini, saya mendapati lagi kenyataan jumlah tenaga kesehatan (nakes), terutama dokter yang masih jauh dari memadai. Jika rasio standar dokter umum dengan jumlah penduduk adalah 1:1.000, maka rasio di Indonesia masih 1:2.500. Di negara-negara Skandinavia, bahkan seorang dokter keluarga hanya perlu melayani 300 orang penduduk. Hanya di ibukota Jakarta rasionya 1:600. Itu baru bicara dokter umum. Jika bicara dokter ahli, jurang kesenjangannya tentu semakin curam. Masalah yang kita alami rupanya bukan hanya rasio yang belum proporsional, situasi ini telah diperparah oleh distribusi dokter umum dan dokter ahli yang tidak merata. Saat ini, persebaran kedua nakes tersebut terpusat di Jawa, Bali, Lombok sebagian Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Perawat dan bidan pun, meski terasa berlebihan di Jawa, Bali dan Lombok, namun faktanya masih sangat langka di wilayah-wilayah pedalaman Nusantara.
Keadaan kontradiktif saya rasakan saat kemudian sebagai direktur rumah sakit daerah dan pemilik satu klinik rawat jalan di kota Singaraja, adalah menerima begitu banyak lamaran pekerjaan dari nakes-nakes yang masih menganggur. Terutama bidan, perawat, dokter umum bahkan ada juga satu dua dokter ahli. Tentu saja tidak lagi bisa diterima, sebab jumlah nakes yang sudah ada bukan saja sudah mencukupi, namun sebagian besar sudah berlebihan. Jika bicara wilayah Bali saja, masih ada daerah yang belum tercukupi kebutuhan nakesnya, seperti Kintamani misalnya. Untuk wilayah Nusantara, lima provinsi yang masih sangat kekurangan tenaga kesehatan di puskemas dan rumah sakit yakni Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Maluku, Sulawesi Barat dan Papua. Di wilayah-wilayah ini, masyarakat tak dapat berharap banyak pelayanan kesehatan untuk mereka bisa optimal dan keselamatan mereka lebih banyak kemudian diserahkan pada nasib.
Hal-hal apa saja yang menyebabkan ini terjadi? Secara garis besar, ada dua elemen yang memegang peranan penting. Pertama tentu saja sistem pelayanan kesehatan yang sepenuhnya dikelola pemerintah. Kedua, terkait etos kerja dan mentalitas para nakes itu sendiri. Bicara sistem, ini akan menjadi sedemikian kompleks dan saling terkait antar berbagai faktor. Paling mendasar adalah ada tidaknya komitmen yang kuat dari pemerintah dalam menyepakati anggaran yang memadai. Hal ini sangat penting terutama untuk wilayah-wilayah kategori sangat terpencil, baik pada sisi infrastruktur berikut sarana medisnya dan tentu saja penghasilan yang sesuai untuk nakes di sana. Merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah dalam mengelola negara kepulauan seperti Indonesia ini. Pengalaman saya saat bertugas di pedalaman Kalimantan Utara, rata-rata saya perlu waktu tiga hari dua malam dari kota kabupaten untuk mencapai puskesmas tempat saya bertugas menggunakan transportasi sungai. Dan tentu saja, minimal semalam, kami harus menginap entah di mana di pinggir sungai, saat malam telah turun.
Inilah salah satu sisi menarik, yang saya sebut sebagai elemen kedua yang mencakup mentalitas dan etos kerja nakes. Siap dan bersediakah setiap nakes menjalani perjalanan menuju tempat tugasnya seperti itu? Itu pun baru sekelumit cerita. Belum lagi jika kami mesti berjalan kaki semenjak pagi hingga menjelang sore ke satu desa untuk pelayanan imunisasi. Dan masih banyak lagi romantika bekerja di wilayah sangat terpencil yang menuntut panggilan jiwa dan modal nyali yang gede. Namun jika dibandingkan dengan rekan-rekan kita yang bertugas sebagai TNI misalnya, jelas nakes masih lebih beruntung. Meski tugas nakes di daerah pedalaman tergolong berat, namun nyawa seorang prajurit sudah pasti dimiliki negara, bukan lagi dirinya sendiri atau keluarganya. Demi negeri, mereka harus siap dijemput maut di medan operasi.
Mengamati pola kehidupan sosial, anak sekolah dari tingkat SD hingga bangku kuliah saat ini, tak berlebihan rasanya kita sebut mulai lekangnya nilai-nilai humanisme dan bela negara. Teknologi yang semakin canggih, kian memisahkan anak-anak dan remaja dari alam dan sesama. Bagaimana mungkin kemudian para lulusan dokter atau nakes lain untuk tertarik mengabdi ke wilayah pedalaman kalau sudah demikian kondisi psikologisnya? Tanpa regulasi yang memaksa, mereka akan cenderung memilih kehidupan nyaman di kota-kota besar yang serba mudah ditopang teknologi meski potensi mereka akhirnya tak betul-betul termanfaatkan. Maka, kembali pada sistem, pemerintah sebaiknya tetap menerapkan pola penugasan untuk dokter, dokter ahli atau nakes lain untuk harus bekerja di daerah terpencil dan sangat terpencil ketika mereka baru lulus pendidikan. Hanya dengan kebijakan seperti itu, puskesmas dan rumah sakit di wilayah-wilayah demikian bisa terpenuhi kebutuhan tenaganya. Tentu saja komitmen pemerintah pada sisi infrastruktur dan sarana medis serta insentif nakes di sana harus proporsional yang selalu dapat menjaga semangat kerja dan pengabdian mereka.
Saya termasuk salah seorang dokter yang beruntung sempat mengabdi di wilayah pedalaman Nusantara. Saya pun meyakini, cinta tanah air dan bangsa tak cukup ditunjukkan dengan mengibarkan sang Merah Putih dan memberi hormat secara khidmat di setiap hari kemerdekaan RI. Cinta tanah air dan bangsa mesti diwujudkan dengan cara-cara nyata melayani sesama yang tak berdaya dan menikmati alamnya yang memesona, hingga menghadirkan rasa haru dalam sukma sanubari kita. [T]