Fenomena pelacuran secara historis seringkali dipandang sebagai bisnis yang usianya setua umur manusia. Kuncoro (2004) dalam Buku Tutur dari Sarang Pelacur merupakan referensi yang menawan untuk memahami posisi seorang pelacur di tengah masyarakat patriarkhi. Terkesannya lagi pelacuran diberi sebutan bisnis lendir. Istilah ini bisa diartikan ganda – bisa bias terhadap tubuh perempuan atau bisa juga penegasan atas eksplotatif terhadap tubuh perempuan.
Di ruang akademik isu tentang pelacuran menjadi kajian yang sangat mudah memancing emosi karena berurusan dengan dimensi kemanusiaan. Tetapi tidak demikian halnya tatkala isu ini masuk di ruang publik yang memiliki kondisi hiterogenitas yang tinggi. Pada saat gaung Hari Kartini digemakan di setiap bulan April banyak pihak dibangun kesadarannya tentang domain Kartini yang berwujud emansipasi perempuan. Dari sejak Hari Kartini ditetapkan sebagai kebijakan Nasional melalui Keppres No. 108 Tahun 1964 sampai sekarang domain tersebut tetap populer.
Setiap perayaan Kartini, masyarakat selalu digiring untuk sadar bahwa figur Kartini harus menjadi inspirasi untuk perempuan Indonesia dalam menggapai kebebasan. Terlepas dari polemik pengkultusan Kartini yang bermuatan diskriminatif terhadap kawasan luar Jawa, negara telah berhasil mengkonstruksi pengetahuan masyarakat Indonesia tentang kehebatan tokoh ini melalui ruang-ruang pendidikan.
Seharusnya, kehadiran tokoh-tokoh imajiner yang dibangun oleh negara dapat membebaskan masyarakat dari perilaku menyimpang. Kenyataannya, tidaklah demikian. Fenomena pelacuran menjadi potret yang selalu hadir di tengah masyarakat. Menarik untuk ditemukan jawabannya mengapa fenomena ini tidak pernah usai dalam kehidupan sosial? Kaji tindak semacam apa yang diperlukan dalam menyikapi fenomena pelacuran?
Pelacuran sebagai Akar Seksualitas dalam Tatapan Laki-laki (Male Gaze)
Di tengah eforia perayaan Kartini, fenomena pelacuran on line hadir belakangan ini yang menyeret sederetan artis yang kasusnya beberapa kali viral di medsos. Adakah pelacuran berakar pada cara konstruksi seksualitas terhadap perempuan dan laki-laki? Masyarakat kita adalah masyarakat yang masih menjujung tinggi nilai keperawanan dan kesucian sebagai kemuliaan yang utama.
Keperawanan dan kesucian adalah perkara seksualitas yang sangat kuat bermuatan bias gender. Perempuan dituntut perawan atau suci dan yang berhak menikmati adalah suami, tetapi anehnya keperjakaan laki-laki tidak pernah dipersoalkan sebagai tuntuntan wajib. Seksualitas manusia adalah hasil dari konstruksi sosial. Dalam hampir semua kebudayaan konstruksi atas seksualitas sangat dipengaruhi ideologi gender yang dominan. Oposisi biner senantiasa mewarnai ideologi gender. pola pikir biner merupakan negasi atas sesuatu yang baik, yang mulia dengan yang tidak baik dan tidak mulia.
Selama ini, seksualitas perempuan diletakkan pada kutub negatif sementara seksualitas laki-laki pada kutub positif. Dalam konteks seksualitas, umumnya perempuan Indonesia dari sejak kecil disosialisasikan agar bersikap pasif, lembut, penurut, setia dan ‘malu-malu’ secara seksual. Perempuan yang ‘baik’ adalah perempuan yang mengekpresikan hasrat seksualnya secara tertutup. Perempuan pun harus sopan, menutupi ‘aurat’, anggun dan feminin.
Sebaliknya, katagori perempuan yang tidak baik adalah penggoda laki-laki, pakaiannya mengumbar ‘aurat’, ‘sexy’ dan agresif. Sebutan yang diberikannya pun beragam: cabo, pelacur, sundal, perek, WTS, lonte sampai jablay.
Namun, hal ini tidak diberlakukan untuk laki-laki. Penyebutan laki-laki yang ‘tidak baik’ kata yang sering digunakan adalah ‘laki-laki bajingan’ atau ‘laki-laki brengsek’ yang jelas tidak berkonotasi seksual. Apa kaitannya konstruksi semacam ini dengan fenomena pelacuran? Perlulah dipahami bahwa konstruksi seksualitas terhadap perempuan dan laki-laki melahirkan apa yang disebut budaya seksual yang memihak pada jenis kelamin tertentu. Budaya seksual tampak pada pandangan bahwa perempuan adalah pelayan seksual, dan laki-laki memberi kepuasan pada pasangan seksualnya. Dalam kontek inilah perempuan menjadi objek seksual laki-laki.
Sebagai objek, tubuh perempuan dapat dipandang sebagai komuditas atau menjadi objek hasrat seksual laki-laki. Pelacuran adalah representasi dari wadah penyaluran hasrat seksual laki-laki yang berakar pada kontruksi seksualitas yang menghasilkan tatapan laki-laki tentang tubuh perempuan dan bersifat Phalusentris. Phallus menjadi pusat dan parameter dalam pendefinisian seksualitas baik laki-laki maupun perempuan. Dalam konsep ini, selain pemilik penis adalah “yang lain” (liyan). Dalam konstruksi itu, perempuan diletakkan sebagai warga kelas dua, dalam status liyan.
Fenomena pelacuran dari segi seksualitas merupakan hasil konstruksi gender yang timpang terhadap relasi perempuan dan laki-laki. Fenomena ini selalu hadir dalam realitas sosial karena tidak ada cara pandang yang berubah tentang seksualitas perempuan dan laki-laki. Bersandar pada pemikiran Michael Foucault (1990) aktivitas pelacuran sangat erat dengan relasi kekuasaan. Dalam konteks ini tubuh perempuan bisa dijadikan komuditas yang menguntungkan mereka yang perlu dan yang punya uang. Uang dapat menjadi alat kuasa untuk memperjualbelikan tubuh perempuan.
Jadi, pelacuran adalah bentuk keterperangkapan tubuh perempuan untuk penyaluran kebutuhan seks laki-laki. Secara historis pelacuran sebagai transaksi seks tidak pernah surut di negeri ini. Sederetan kasus traffiking di negeri ini akhirnya mampu membuat aktivitis perempuan – Gadis Harivia (2011:56) berandai :”Andaikata tubuh perempuan dapat dijadikan saham, saya anjurkan bermain saham agar cepat menjadi kaya sebab tubuh perempuan di seluruh dunia selalu laku untuk dijual”. Hadirnya para pelacur di negeri ini dengan berbagai modusnya merupakan cermin submisifnya perempuan terhadap keinginan hasrat birahi laki-laki. Akar persoalan dapat dirunut dari definisi dan pengetahuan tentang seksualitas. Peluang menafsirkan secara keliru tentang seks menjadikan aktivitas pelacuran dapat eksis sampai sekarang.
Menurut Jaya Suprana (2006:107) hakekatnya seks hanya merupakan salah satu alat sikap dan perilaku yang dianugerahkan Yang Maha Kuasa dan Maha Tahu kepada manusia ciptaanNya. Tugas utama seks sebenarnya hanya mengabdi kepada kepentingan reproduksi demi melestarikan kehadiran umat manusia di alam semesta ini, bukan sebaliknya malah manusia yang mengabdi tunduk serta memberhalakan seks. Pemberhalaan terhadap seks yang memposisikan perempuan sebagai komuditas mempertegas potret buram kemanusiaan.
Kaji Tindak Non Diskriminatif
Sudut pandang tentang pelacuran yang ada selama ini tendensius bias ke perempuan. Misalnya, dari segi sebutan pelacur, lonte, sundal, perek diperuntukkan kepada perempuan yang tidak benar. Sebaliknya, laki-laki terbebas dari julukan apa pun atas aktivitas yang sama. Belum lagi, tindakan aparat dalam menindak kasus pelacuran condong menangkapi perempuan yang selanjutnya dengan dalih moralitas – ditangkapi untuk dibina karena dianggap punya masalah moralitas yang rendah.
Pertanyaannya adalah, siapa yang memperkarakan moralitas laki-laki yang menggunakan jasa perempuan yang diberi label pelacur ? Hal lain juga, ekspose media terhadap kasus pelacuran tetap saja mengabaikan mereka yang menggunakan jasa pelacur, sementara perempuan pelacur “dihabisi” lewat pemberitaan sampai berhasil menjatuhkan martabatnya di titik nadir.
Atas cara pandang dan perlakuan yang diskriminatif terhadap kasus pelacuran sangat terbuka dilakukan kaji tindak di berbagai lini. Kita masih bisa optimis terhadap lembaga pendidikan sebagai pintu terdepan untuk mewujudkan karakter yang berkeadilan tentang relasi perempuan dan laki-laki. Melalui rancangan kurikulum yang adil gender ditindaklanjuti dengan pengajaran di ruang-ruang kelas melalui pengembangan materi yang berwawasan adil gender merupakan keniscayaan yang akan mengubah persoalan kultur maupun struktur tentang perkara pelacuran.
Optimalisasi kerjasama dunia sekolah dengan keluarga menjadi keharusan dalam pembangunan moralitas insan sekolah yang berkeadilan. Tidaklah mungkin urusan pembentukan moral hanya diserahkan kepada sekolah. Tanggung jawab keluarga dituntut lebih besar lagi dewasa ini, karena sumber belajar tentang nilai kepatutan bukan hanya diandalkan pada figur di tengah keluarga, tetapi di era digital sekarang ini anak memiliki tokoh-tokoh imajiner yang dipungut di dunia maya. Oleh karenanya, pengawasan orang tua menjadi mutlak adanya. Membangun sisi keadilan gender dengan berharap melalui keluarga memang tidak mudah karena orang tua yang terbentuk dari struktur yang tidak adil masih mendominasi negeri ini.
Namun, dalam kaitan membangun konstruksi pengetahuan seks dan seksualitas di tengah keluarga sesungguhnya bisa dilakukan dengan rasional bahwa setiap keluarga pasti akan menjungjung tinggi martabat keluarga. Perilaku menyimpang seksual bukan hal yang diidealkan, sehingga seks dan seksualitas harus didudukkan sebagai diskursus di mana pelurusan pemahaman, pengetahuan tentang seks menjadi harapan baru untuk mengubah keadaan.
Dalam konteks ini, anak perempuan bisa dilatih untuk mengerti tentang tubuhnya, dan berani berkata “tidak” ketika dihadapkan atas situasi yang merugikan tubuhnya. Sementara anak laki-laki bisa dibentuk untuk menghormati tubuh perempuan sehingga dapat melihat keindahannya bukan sebagai ajang untuk dikuasai tapi untuk dihargai. Inilah yang disebut upaya merebut kembali wacana pemberdayaan tubuh perempuan agar dapat terhindar dari pelecehan, kekerasan fisik maupun simbolik.
Instrument hukum yang tersedia selama ini tentang pelacuran harus dikaji ulang, agar unsur diskriminatif yang terkandung di dalamnya dapat dibenahi. Dua kabupaten di Bali yang telah memiliki Perda tentang tindak pelacuran adalah Kabupaten Badung dan Jembrana. Penyusunan tentang Perda harus diakui sebagai perekat yang kuat dalam menindak perilaku menyimpang. Hanya saja, diperlukan Perda yang berkeadilan tanpa bias jenis kelamin.
Pelaksana Perda, dalam hal ini aparat negara perlu juga punya wawasan yang adil dan berkesetaraan dalam menindak kasus pelacuran. Kehadiran media dalam meng-edukasi masyarakat atas kasus pelacuran perlu juga dibenahi. Pemberitaan yang berkeadilan dan tidak bias jenis kelamin sangat diperlukan, karena dewasa ini media bisa menjadi panglima dalam membangun pengetahuan masyarakat.
Setidaknya, media dapat mewujudkan keadilan dan kesetaraan dengan menyediakan “ruang tatapan” di mana perempuan tidak selalu ditempatkan dalam posisi yang “ditatap” sesuai standar moralitas yang menatap. Dan, laki-laki tidak selalu di posisikan sebagai pemilik absolut atas kontrol “menatap” tubuh perempuan. Pajangan terhadap tubuh perempuan yang di cap sebagai pelacur di media adalah salah satu konstruksi pengetahuan terhadap masyarakat tentang cara laki-laki mengontrol tubuh perempuan. Kita seharusnya menunggu media bisa memberi wacana tandingan yang menghadirkan sederetan gambar pemakai jasa tubuh perempuan dalam ajang bisnis lendir. [T]